PENGARUH PENYUNTIKAN PGF2α DENGAN METODA YANG BERBEDA TERHADAP FERTILITAS SAPI BALI DAN PERANAKAN SIMMENTAL DI KECAMATAN KINALI DAN LUHAK NAN DUO

Deflaizar, Nasution (2016) PENGARUH PENYUNTIKAN PGF2α DENGAN METODA YANG BERBEDA TERHADAP FERTILITAS SAPI BALI DAN PERANAKAN SIMMENTAL DI KECAMATAN KINALI DAN LUHAK NAN DUO. Masters thesis, Universitas Andalas.

[img]
Preview
Text (abstrak)
abstrak.pdf - Published Version

Download (311kB) | Preview
[img]
Preview
Text (bab I)
BAB I.pdf - Published Version

Download (255kB) | Preview
[img]
Preview
Text (bab V)
bab v.pdf - Published Version

Download (204kB) | Preview
[img]
Preview
Text (daftar pustaka)
DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (252kB) | Preview
[img] Text (tesis full text)
Tesis keseluruhan.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Sapi Bali danPeranakanSimmental merupakan dua bangsa sapi yang banyak diminati peternak sapiIndonesia, kedua jenis sapi ini cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebaran yang luas di Indonesia. Tingginya pasokan impor daging dan ternak sapi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan daging nasional setiap tahun, mestinya menjadi pendorong bagi pihak-pihak terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan baik termasuk Sapi Bali dan Peranakan Simmental. Upaya peningkatan jumlah populasi sapi di Indonesia masih dihadapkan rendahnya produktifitas. Tingkat perkembangan ternak pertahun hanya berkisar 5%. Salah satufaktor yang mempengaruhi kinerja reproduksi dilapangan adalah lemahnya indentifikasi berahi yang berakibat pada menurunnya efisiensi reproduksi. Dalam upaya peningkatan populasi dan perbaikan kinerja reproduksi pada sapi dibutuhkan adanya aplikasi teknologi reproduksi terapan seperti program sinkronisasi berahi. Suatu penelitian telah dilakukan di Kecamatan Kinali dan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat pada tahun 2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penyuntikan hormon PGF2α terhadap tampilan reproduksi diantaranya respons berahi, intensitas berahi, waktu awal munculnya berahi dan tingkat kebuntingan (CR). Penelitian ini menggunakan 100 ekor indukan Sapi Bali dan 100 ekor indukan Sapi Peranakan Simmental. Semua ternak dalam status reproduksi normal dan berada pada fase luteal (CL). Indukan sapi yang digunakan minimal telah pernah beranak 1 kali. Bahan yang digunakan diantaranya hormon Prostaglandin (PGF2α, Lutalyse) 300 dosis (@ 10 ml), alkohol, antiseptikdan Nitrogen cair (N2 cair), semen beku 200 buah (sapi Simmental dan Bali masingmasing 100 buah) dan alat yang digunakanadalah : Gun IB 5 set, plastik glove sebanyak 600 buah. Container kapasitas 2 L sebanyak 5 buah, USG (Ultra Sonografi) 1 buah, danspuit 10 ml sebanyak 300 buah. Prosedur yang dilakukan yaitu : 1. Sapi Bali sebanyak 100 ekor yang berada pada fase luteal di lakukan penyuntikan hormon PGF2α (dosis tunggal) i.m. @5 ml. Sapi-sapi tersebut diamati berahinya dan apabila dari sapi tersebut ada yang menunjukkan tanda-tanda berahi, maka kemudian dilakukan IB satu kali. 2. Sapi Bali yang tidak menunjukkan tanda-tanda berahi maka penyuntikan hormone PGF2α diulangi pada hari ke-11 (dosis ganda) i.m. @5 ml. Sapi-sapi tersebut diamati berahinya. Rentang waktu 24-96 jam semua sapi tersebut akan di IB satu kali. 3. Sapi Peranakan Simmental sebanyak 100 ekor yang berada pada fase luteal di lakukan penyuntikan hormon PGF2α (dosis tunggal) i.m. @5 ml. Sapi-sapi tersebut diamati berahinya dan apabila dari sapi tersebut ada yang menunjukkan tanda-tanda berahi, maka kemudian dilakukan IB satu kali. 4. Sapi Peranakan Simmental yang tidak menunjukkan tanda-tanda berahi maka penyuntikan hormone PGF2α diulangi pada hari ke-11 (dosis ganda) i.m. @5 ml. Sapi-sapi tersebut diamati berahinya. Rentang waktu 24-96 jam semua sapi tersebut akan di IB satu kali. . Hasil penelitian menunjukkan bahwa yaitu respons berahi Sapi Bali setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis tunggal 67% dan dosis ganda 90% sedangkan pada Sapi Peranakan Simmental pada dosis tunggal 49% dan dosis ganda 88,23%. Hal ini menginformasikan bahwa Sapi Bali lebih responsif dibandingkan dengan Peranakan Simmental terhadap penyuntikan hormon PGF2α. Dari perbedaan metodapenyuntikan hormon yaitu respons berahi Sapi Bali dosis tunggal 67% danrespons berahi Peranakan Simmental dosis tunggal yaitu 49%, sedangkan respons berahi Sapi Bali dosis ganda 90,90% dan respons berahi Peranakan Simmental dosis ganda 88,23%. Hasil ini menginformasikan bahwa penyuntikan hormon PGF2α metoda dosis ganda lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan hormone metoda dosis tunggal. Terdapat perbedaan respons berahi antara kedua metoda penyuntikan (P<0,05). Tingkat intensitas berahi Sapi Bali memiliki intensitas berahi jelas 68,38%, sedang 27,06% dan tidak jelas 0,04%. Sedangkan PadaSapi Peranakan Simmental tingkat intensitas berahi jelas 57%, sedang 37,11% dan tidak jelas 0,05%. Terdapat perbedaan intensitas berahi antar kedua bangsa (P<0.05). Dari metoda penyuntikan, intensitas berahi pada Sapi Bali setelah penyuntikan hormonPGF2α dosis tunggal yaitu intensitas berahi jelas 73,13%, sedang 26,86%dan tidak jelas 0%. Pada Sapi Peranakan Simmental yaitu intensitas berahi jelas 57,14%, sedang 42,85% dan tidak jelas 0%. Sedangkan Sapi Bali setelah penyuntikan hormonPGF2α dosis ganda yaitu intensitas berahi jelas 63,63%, sedang 27,27% dan tidak jelas 0,09%. Pada Sapi Peranakan Simmental yaitu intensitas berahi jelas 56,86%, sedang 31,37% dan tidak jelas 0,11%. Terdapat perbedaan antar kedua metoda penyuntikan (P<0.05). Waktu awal timbulnya berahi, padaSapi Bali setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis tunggal 49,60 ± 9.65 jam dan ganda 51,42 ± 8.45 jam sedangkan pada Sapi Peranakan Simmental setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis tunggal 48,24 ± 9.50 jam dan ganda 53,94 ± 11.25 jam. Dari metoda penyuntikan, waktu awal timbulnya berahi pada Sapi Bali setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis tunggal 49,60 ± 9.65 jam dan Sapi Peranakan Simmental setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis tunggal 48,24 ± 9.50 jam sedangkan waktu awal timbulnya berahi pada Sapi Bali setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis ganda 51,42 ± 8.45 jam dan Sapi Peranakan Simmental dosis ganda 53,94 ± 11.25 jam dengan waktu pelaksanaan inseminasi buatan (IB) pada Sapi Bali berkisar 8,5 jam dan Peranakan Simmental 9 jam. Tidak terdapat perbedaan waktu awal munculnya berahi baik dibandingkan antar bangsa maupun metoda penuntikan (P>0,05). Persentase tingkat kebuntingan (CR) pada Sapi Bali setelah dilakukan penyuntikan hormon tunggal yaitu sebesar 58,20% dan setelah penyuntikan hormon ganda sebesar 78,00% sedangkan pada Sapi Peranakan Simmental setelah penyuntikan hormon dosis tunggal sebesar 53,06% dan setelah penyuntikan hormon dosis ganda sebesar 67%. Dari metode penyuntikan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan pada Sapi Bali setelah penyuntikan dengan menggunakan dosis tunggal sebesar 58,20% dan Peranakan Simmental 53,06% sedangkan Sapi Bali setelah penyuntikan dengan menggunakan dosis ganda sebesar 78,00% dan Peranakan Simmental 67%. Hasil ini menginformasikan bahwa tingkat kebuntingan Sapi Bali lebih besar dibandingkan dengan Peranakan Simmental dan tingkat kebuntingan setelah penyuntikan hormon PGF2α dosis ganda lebih besar daripada metoda dosis tunggal namun tidak terdapat perbedaan tingkat kebuntingan (CR) baik dibandingkan antar bangsa maupun metoda penyuntikan (P>0.05).

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: S Agriculture > SF Animal culture
Divisions: Pascasarjana (Tesis)
Depositing User: s2 ilmu ternak
Date Deposited: 04 May 2016 04:14
Last Modified: 04 May 2016 04:14
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/7284

Actions (login required)

View Item View Item