RADIAN, ILMASKAL (2016) FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMATIAN BAYI DI KOTA PADANG TAHUN 2011. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text (Skripsi Fulltext)
2107.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (440kB) |
Abstract
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas hidup, kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini kemudian dituangkan dalam rumusan Millennium Development Goals (MDGs) yang merupakan komitmen global dan nasional untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan MDGs adalah mengurangi kematian anak dengan target menurunkan angka kematian anak di bawah lima tahun (balita) sebesar dua per tiga jumlahnya selama periode tahun 1990 sampai dengan tahun 2015 artinya menurunkan dari 97 per 1000 kelahiran hidup menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Balita terutama bayi merupakan kelompok populasi yang sangat rentan dengan infeksi dan serangan penyakit karena perkembangan organ dan sistem imunitas yang belum maksimal. Kondisi ini menyebabkan banyak bayi yang mati akibat serangan penyakit yang tidak tertangani dengan baik.1-3 Kematian bayi mengacu pada kematian anak di bawah usia satu tahun. Hal ini dilihat dari angka kematian bayi, yang merupakan jumlah total kematian anak di bawah usia satu tahun untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Tingkat kematian bayi terdiri dari dua komponen yang berkaitan dengan waktu kematian yaitu, neonatal dan post neonatal. Angka kematian neonatal mengacu pada jumlah kematian bayi dalam waktu 28 hari setelah lahir (per 1.000 kelahiran hidup). Angka kematian post neonatal melibatkan jumlah kematian bayi dari 29 hari sampai akhir tahun pertama per 1.000 kelahiran hidup. Kematian bayi juga dijadikan sebagai indikator penting dalam menggambarkan keadaan derajat kesehatan suatu masyarakat. Tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai dan belum menjangkau masyarakat banyak.4,5 Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Indonesia menduduki ranking ke-6 setelah Thailand (20 per 1.000 kelahiran hidup), Vietnam (18 per 1.000 kelahiran hidup), Malaysia (10 per 1.000 kelahiran hidup), Brunei Darussalam (8 per 1.000 kelahiran hidup), dan Singapura (3 per 1.000 kelahiran hidup).6 Pada tahun 1990 angka kematian bayi sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007. Dari 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat memperoleh ranking ke-9 dengan AKB 47 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup dan terendah Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.1 Pada tahun 2008 AKB di Sumatera Barat sebanyak 28,5 per kelahiran hidup mengalami penurunan menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2009.7 Tingginya angka kematian bayi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ibu, faktor bayi, dan pelayanan kesehatan. Faktor ibu mencakup sosial (pendidikan rendah dan tingkat ekonomi rendah), umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, paritas diatas 5, hamil tanpa pengawasan, hamil dengan penyakit dan komplikasi. Faktor bayi mencakup bayi risiko tinggi (hipertensi, Diabetes Melitus, preeklamsia/ eklamsia, berat badan kurang dari 2500 gr dan berat badan diatas 4000 gr), hamil kurang dari 37 minggu, kelainan kengenital dan lahir dengan asfiksia. Faktor pelayanan kesehatan berkaitan dengan cakupan persalinan / pelayanan Antenatal Care (ANC), sistem rujukan, penolong persalinan, dan fasilitas kesehatan / rumah sakit.8 Teori tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Kothari et.al (2010) di Michigan, US, terdapat hubungan antara obesitas, perilaku minum beralkohol dan anemia terhadap kematian bayi. Penelitian Desy di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kematian bayi adalah persentase wanita yang menikah di bawah usia 17 tahun, persentase pengeluaran perkapita penduduk yang kurang dari Rp. 150.000 dan persentase persalinan oleh tenaga non medis. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Endang di Kabupaten Bantul tahun 2005 menemukan hubungan yang bermakna antara usia ibu ketika melahirkan, jarak, pemberian ASI dini dan perawatan antenatal care dengan kematian bayi.9-11 Penelitian yang dilakukan Ummul (2010) di Kabupaten Batang menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kematian perinatal, antara lain pendidikan ibu, pengetahuan ibu, paritas, berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia, dan kelainan kongenital. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Roslidar (2005) di Kabupaten Padang Pariaman. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kematian neonatal adalah jarak kehamilan, ANC, pemberian makanan padat dini dan petugas perawat tali pusat.12,13 Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat angka kematian bayi di Kota Padang masih tinggi dibandingkan kabupaten / kota lainnya di Sumatera Barat. Pada tahun 2008 sebanyak 10 per 1000 kelahiran hidup dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 6,5 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 angka tersebut kembali mengalami penurunan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran hidup dan 4,9 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2011. Pada tahun 2011 Kota Padang menempati urutan ke 6 terbanyak setelah Kabupaten Agam (106 kematian bayi), Pesisir Selatan (104 kematian bayi), Sijunjung (99 kematian bayi), 50 Kota (90 kematian bayi), dan Tanah Datar (82 kematian bayi) dengan jumlah kematian bayi sebanyak 80 bayi. Secara administarasi Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat yang memiliki jumlah tenaga kesehatan dan saran pelayanan kesehatan di Kota Padang cukup banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.7 Pada tahun 2011 jumlah tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan di kota Padang sebanyak 757 orang di puskesmas dan 2007 orang di rumah sakit yang terdiri dari tenaga medis, perawat & bidan, farmasi, gizi, teknisi medis, sanitasi, dan kesehatan masyarakat. Begitu juga dengan fasilitas kesehatan, Kota Padang memiliki 20 unit Puskesmas, 58 buah puskesmas. Pada tahun 2007, satu puskesmas di kota Padang rata-rata melayani 41.000 orang. Angka ini lebih tinggi dari konsep ideal wilayah puskesmas yang hanya untuk melayani 30.000 orang saja, sehingga jika ditinjau dari penyebaran, sarana kesehatan sudah memadai. Kota Padang juga memiliki 1 unit Rumah Sakit Umum Daerah, 4 unit Rumah Sakit Pemerintah, 22 unit Rumah Sakit Swasta, dan fasilitas kesehatan lainnya. Jika dilihat dari tingkat pendidikan sebesar 6,13 % berada pada jenjang universitas dan 1,16 % tidak/belum pernah bersekolah, namun angka kematian bayi masih cukup tinggi.14 Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di Kota Padang Tahun 2011”
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | R Medicine > RA Public aspects of medicine |
Divisions: | Fakultas Kesehatan Masyarakat |
Depositing User: | mrs Rahmadeli rahmadeli |
Date Deposited: | 30 Apr 2016 03:26 |
Last Modified: | 30 Apr 2016 03:26 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/6046 |
Actions (login required)
View Item |