ALICE, ROSY (2016) PENGARUH COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DALAM MENCEGAH RISIKOBUNUH DIRI PADA SISWA SMP N 2 BATU SANGKAR. Masters thesis, Universitas Andalas.
Text (Tesis Full Text)
1192.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (699kB) |
Abstract
Masa remaja merupakan masa peralihan dari fase anak-anak menuju dewasa, dan remaja adalah generasi penerus bangsa yang memegang kunci bagi masa depan suatu negara. Stuart (2013) menyatakan bahwa remaja adalah tahap yang unik dari perkembangan yang terjadi pada usia 11 sampai 20 tahun, dimana pada masa ini terjadi pergeseran pertumbuhan dan perkembangan, dan remaja juga harus mampu mengatasi masalah fisik, kognitif, dan perubahan emosionalnya. Menurut WHO ( 2007 ) yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak menuju dewasa dengan batasan usia yaitu 12 sampai 24 tahun, sedangkan menurut Departemen Kesehatan remaja adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Masa remaja ditandai dengan beberapa perubahan sikap dan perilaku pada remaja tersebut sehingga remaja memiliki cirinya tersendiri. Ciri ciri remaja menurut Surbakti (2009) yaitu sangat sensitif, mudah tersinggung, senang berkhayal dan berfantasi, mudah tertarik dengan lawan jenis, mudah jenuh atau bosan, senang melakukan penentangan, disiplin hidup rendah dan mudah konflik dengan orang lain. Sarwono (2002) menyatakan bahwa banyak remaja mengalami kesulitan dalam menggambarkan keadaan emosi dan suasana hati mereka. Stuart (2013) juga menyatakan biasanya pada masa remaja individu seringkali menunujukkan tingkah laku yang sulit diatur, mudah terangsang, mudah emosional, dan berada dalam masa storm and stress (badai dan tekanan). Istilah Storm and stress ini muncul karena pada masa remaja, biasanya individu banyak mengalami konflik dalam dirinya dan dalam lingkungannya, hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang 5 dimiliki remaja tersebut. Pola pikir yang dimiliki remaja menurut Hockenberry & Wilson, 2011 pada umumnya ada 2 yaitu imaginary audience dan personal fable. Imaginary audience adalah remaja yang merasa fokus seluruh orang tertuju padanya disebut juga narcistic egocentrism. Berdasarkan penelitian Aalsma, Lapsley dan Flannery (2006) jika pola ini dominan berkembang pada masa remaja awal maka akan membantu mekanisme perkembangan yang akan mengantarkan remaja memiliki kesehatan jiwa yang positif. Pola pikir yang kedua yaitu personal fable yaitu remaja percaya bahwa ia harus mengetahui segala sesuatu hal yang berhubungan dengan perasaan dan pengalamannya. Hal ini menyebabkan remaja sering mengambil keputusan yang beresiko seperti melakukan seks bebas, mengonsumsi alkohol dan obat – obatan terlarang, melakukan balapan di jalan raya atau mengemudi saat keadaan mabuk walaupun mereka tahu akibatnya. Remaja percaya bahwa masalah yang dihadapi orang lain karena perbuatan mereka tidak akan menimpa mereka. Aalsma, Lapsley dan Flannery (2006) menyimpulkan apabila remaja fokus pada anggapan bahwa dirinya memiliki kekebalan yang membuat remaja tersebut mengambil tindakan yang beresiko, maka individu tersebut beresiko mengalami cedera. Sedangkan remaja yang fokus utamanya pada keunikan perasaan dan pengalaman, individu tersebut beresiko tinggi mengalami depresi. Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang serius pada remaja yang jika tidak diintervensi dengan tepat dapat membuat remaja beresiko untuk melakukan bunuh diri, namum tidak hanya depresi yang membuat remaja beresiko untuk bunuh diri. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko bunuh diri pada kalangan remaja seperti : gangguan psikologisi, gangguan bipolar, penggunaan alkohol dan narkoba ; perasaan tertekan, mudah tersinggung atau agitasi ; perasaan putus asa dan tidak berharga sering menyertai depresi ( remaja yang berulang kali mengalami kegagalan disekolah, 6 mengalami tindakan kekerasan dirumah, atau merasa tidak punya teman / terisolasi ) ; ada riwayat usaha bunuh diri sebelumnya ; ada riwayat depresi dalam keluarga atau melakukan bunuh diri, mengalami pelecehan sexual, masalah homosexual, lingkungan keluarga yang tidak mendukung dan lingkungan sekolah yang bermusuhan (Nock, 2008 ) Penelitian yang dilakukan Bruffaerts, et al., (2010) pada 21 negara dilakukan pengujian pada 55.229 orang dengan menanyakan 9 faktor kesengsaraan yang terjadi pada masa kecil. Dengan 8 diantaranya berhubungan dengan ide dan percobaan bunuh diri, dan kekerasan fisik (phisical abuse) maupun pelecehan seksual (sexual abuse) menjadi faktor utama yang membuat seseorang memiliki ide bunuh diri maupun respon melakukan percobaan bunuh diri. Selain itu masih dari penelitian yang sama kelompok remaja dengan rentang umur 13-19 tahun yang mengalami abuse menjadi kelompok umur terbanyak yang memiliki ide bunuh diri diantara semua kelompok umur . Perilaku bunuh diri terdiri dari tiga tingkatan berupa ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri , dan percobaan bunuh diri (Videbeck, 2011). Sedangkan menurut Stuart (2013) perilaku bunuh diri atau suicide behaviour biasanya dibagi menjadi tiga tahapan dimulai dari ancaman bunuh diri, upaya bunuh diri dan bunuh diri. Fortinash dan Worret (2012) mengklasifikasikan perilaku bunuh diri menjadi lima tahapan yaitu ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, isyarat bunuh diri, percobaan bunuh diri dan melakukan bunuh diri. Ancaman bunuh diri merupakan tanda yang secara langsung maupun tidak langsung, verbal ataupun nonverbal dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Percobaan bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan individu secara langsung, ditujukan pada diri sendiri yang dapat menyebabkan kematian jika tidak diatasi. 7 Lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya atau terdapat 1 orang yang melakukan bunuh diri tiap 40 detik. Bunuh diri sudah menjadi fenomena global di seluruh dunia, 75% dari bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bunuh diri menyumbang 1,4% dari seluruh kematian di seluruh dunia, dan merupakan penyebab utama kedua kematian pada usia 15-29 tahun secara global di tahun 2012 (WHO, 2014 ). Ketua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh diri (LKPBD) Adi (2012) mengatakan bahwa kasus bunuh diri menempati 1 dari 10 penyebab kematian di setiap negara. Sedangkan menurut Saxena (2014), direktur kesehatan mental WHO mengatakan bunuh diri adalah kasus kesehatan masyarakat yang luar biasa. Kasus bunuh diri membunuh lebih banyak orang dari pada konflik, perang dan bencana alam. Ada 1,5 juta kematian akibat kekerasan setiap tahun di dunia, 800.000 diantaranya adalah kasus bunuh diri. Menurut Farida ( 2010 ) bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 – 24 tahun. Bunuh diri pada remaja dan anak-anak terus meningkat selama dekade terakhir. Angka bunuh diri pada remaja mendekati 3 kali lipat selama 30 tahun terakhir dan pada tahun 1999 menjadi penyebab kedua kematian pada remaja di Amerika Utara (Evans, Owens, &Marsh, 2005). Kasus bunuh diri dari tahun ketahun banyak mengalami peningkatan dibeberapa negara dan hal ini juga banyak dilakukan oleh usia remaja. Menurut data statistik nasional tahun 2010 di Korea, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian pada usia remaja ( Chung, 2013 )Satu dari 12 mahasiswa punya rencana untuk bunuh diri, dan 1000 kasus bunuh diri terjadi di kampus-kampus setiap tahunnya. Kasus bunuh diri pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun mengalami peningkatan dari 5% menjadi 8 14%, hal ini menjadikan bunuh diri menempati penyebab utama ketiga kematian remaja di Amerika. Kasus bunuh diri di Amerika mencapai 30.000 orang pertahun. Angka ini menunjukkan jumlah orang yang mencoba bunuh diri jauh lebih besar lagi, diperkirakan 8-10 kali lebih besar dari jumlah tersebut (Mustikasari, 2008).Bunuh diri menyumbang 14 persen kematian pada remaja berusia 15 sampai 19 tahun, dan 8 persen kematian pada anak-anak berusia 10 sampai 14 tahun. Hampir setengah dari kejadian bunuh diri disebabkan pengalaman pribadi, penghinaan atau penolakan. Faktor yang paling umum penyebab bunuh diri pada remaja adalah kurangnya atau hilangnya hubungan yang bermakna. ( Stuart, 2013 )Upaya pencegahan bunuh diri di Amerika difokuskan pada program pendidikan disekolah, pusat krisis hotline, program skrining yang berusaha untuk mengidentifikasi remaja yang beresiko bunuh diri dan media panduan yang merupakan salah satu strategi yang melibatkan pendidik profesional dibidangnya serta pembatasan akses senjata api, karena metoda yang paling besar tingkat keberhasilannya dalam bunuh diri adalah dengan menggunakan senjata api. Kasus bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia nampaknya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Fenomena ini baru menjadi perhatian publik sejak 1998.Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) di dalam laporan paruh tahun 2012 ini menyebutkan bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, sudah terjadi peristiwa 20 kasus anak bunuh diri. Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua umum Komnas Perlindungan Anak, dari 20 kasus tersebut, penyebab bunuh diri terbanyak adalah karena putus cinta (40%), frustasi akibat ekonomi (35%), anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (20%) dan masalah sekolah (5%). 9 Pada tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan bahwa kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia adalah 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 tingkat gangguan mental emosional di Indonesia mencapai 6,0%. Sumatera Barat berada di posisi keempat di pulau Sumatera setelah Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Aceh. Bruffaerts et al. (2011) menyatakan bahwa kebanyakan orang yang memiliki ide bunuh diri, rencana dan melakukan percobaan bunuh diri tidak menerima penanganan (Stuart, 2013). Oleh karena itu, prevalensi bunuh diri dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Ini menunjukan bahwa bunuh diri banyak terjadi pada kelompok usia yang relatif muda termasuk usia remaja. Jika aksi bunuh diri ini tidak dihentikan , maka jumlah kasus yang meninggal akibat bunuh diri diperkirakan mencapai 1,5 juta orang pertahun, pada tahun 2020. Jepang tercatat sebagai salah satu negara yg memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia. Dalam 1 tahun ada sekitar 33.000 orang jepang melakukan bunuh diri. Pemerintah jepang pada awal maret tahun 2012, mengadakan kerja sama dengan berbagai lembaga meluncurkan program kampanye pencegahan bunuh diri yang dinamakan “GKB47”. GKB47 adalah singkatan dari Gate Keeper Basic 47. Gate Keeper mengajak segenap warga jepang untuk peduli dan memberi perhatian pada orang orang yang memiliki potensi bunuh diri di sekitarnya. Angka 47 mewakili jumlah Prefektur di Jepang. Dengan berbagai program, gerakan dan kampanye yg dilakukan, Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, Pemerintah Jepang menargetkan tingkat angka bunuh diri bisa diturunkan setidaknya sampai 20% pada 2016 10 Upaya pencegahan bunuh diri di Indonesia salah satunya dapat dilakukan disekolah sekolah karena sekolah merupakan lingkungan kedua yang terdekat dengan remaja memegang peranan penting dalam membentuk karakter dan pribadi remaja yang kuat. Selain proses belajar mengajar sekolah juga menyediakan fasilitas kesehatan internal berupa Usaha Kesehatan Sekolah ( UKS ) dimana orientasinya masih pada seputar kesehatan fisik saja, sedangkan bimbingan dan konseling untuk kesehatan jiwa masih belum maksimal (Tobar,2009). Selain UKS disekolah guru juga dapat berperan dalam memberikan pendidikan keterampilan hidup yang dikombinasikan dengan pendekatan pemecahan masalah yang merupakan modal untuk menghadapi dan mengatasi kehidupan dengan cara yang realistik dan optimistik, namun hal ini juga belum mampu menurunkan resiko bunuh diri pada remaja. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan memegang peranan yang efektif dalam upaya pencegahan, penatalaksanaan atau rehabilitasi pasien dengan kecenderungan bunuh diri. Biasanya sektor kesehatan merupakan orang yang pertama berkontak dengan pasien yang melakukan percobaan bunuh diri (selain keluarga).. Perawat sebagai salah satu petugas kesehatan memegang peranan penting dalam mengantisipasi resiko bunuh diri pada remaja terutama perawat jiwa yang berperan dalam memberikan asuhan keperawatan.Tindakan keperawatan yang dapat diberikan oleh seorang perawat jiwa pada resiko bunuh diri ada 2 yaitu tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis. Bentuk terapi spesialis yang dapat diberikan pada resiko bunuh diri adalah adalah Terapi Cognitif ( CT ), terapi kognitif dan perilaku ( CBT ), logoterapi, terapi suportif dan psikoedukasi terapi 11 Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan pada resiko bunuh diri, namun kebanyakan hanya berfokus pada kognitif saja untuk pasien bunuh diri sementara pada pasien dengan resiko bunuh diri selain memiliki pikiran pikiran negatif juga menunjukan perubahan perubahan perilaku yang juga harus diberikan intervensi dari seorang perawat. Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah ( 2013 ) memfokuskan intervensi hanya pada cognitife dari klien dengan resiko bunuh diri dan hasilnya menunjukan perubahan efektifitas kemampuan klien untuk berpikir positif. Peneltian lain dilakukan oleh Aini ( 2012 ) juga memfokuskan pada kognitif saja pada klien dengan resiko bunuh diri melalui Cognitive Therapy yang dikombinasikan dengan Logotharpy dimana klien selain mampu berpikir positip juga mampu menemukan makna hidupnya kembali. artinya kogntif pada klien dengan resiko bunuh diri memperlihatkan perubahan dengan terapi kognitif dan logoterapi, namun dalam menghadapi klien resiko bunuh diri disamping kognitif berupa pikiran negatif, juga ditemukan adanya perilaku-perilaku yang maladaptif. Untuk itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stanley, 2009 menunjukan adanya perubahan yang bermakna pada remaja yang melakukan percobaan bunuh diri dengan pemberian CBT pada kasus bunuh diri, dan American foundation for suicide prevention menyebutkan terapi yang efektif untuk mencegah bunuh diri yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT), dan di Indonesia belum adanya dilakukan penelitian tentang Cognitive Behavior Therapyterhadap resiko bunuh diri. Pada klien yang memiliki keinginan bunuh diri pada umumnya mengungkapkan perasaan bersalah, sedih, marah, putus asa atau tidak berdaya, dan juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah (Keliat, 2006). Untuk itu sangat diperlukan suatu intervensi yang dapat memperbaiki atau merubah cara berpikir dan perilaku yang mengarah kepada resiko bunuh diri tersebut. 12 Intervensi yang diberikan untuk merubah perilaku dan cara berpikir kearah yang positip adalah Cognitive Behavior Therapy ( CBT ) Cognitive Behavior Therapy dikembangkan oleh dr. Aaron T. Beck, terapi ini merupakan intervensi yang paling tepat diberikan pada klien dengan resiko bunuh diri Stuart ( 2013 ), dr. Stallard (2005) menyebutkan bahwa CBT merupakan suatu intervensi yang memperhatikan mengenai proses kognitif yang terjadi pada klien dan bagaimana hubungannya dengan perubahan emosi dan tingkah laku klien. Menurut Beck (2011), CBT merupakan terapi yang bertujuan untuk mengubah kognitif atau persepsi klien terhadap masalahnya, dalam rangka melakukan perubahan emosi dan tingkah laku klien. Sampai saat ini belum ada program khusus untuk pencegahan bunuh diri yang dapat berhasil seratus persen dalam pencegahan bunuh diri dan agar dapat berhasil diperlukan suatu program yang terintegrasi dan kerjasama dari berbagai pihak ( Direktorat Bina Yankeswa, ( 2006 ). Dan juga belum banyak penelitian yang dilkukan terkait dengan upaya pencegahan bunuh diri khususnya pada kalangn remaja. Berdasarkan data Litbangkes Kab. Tanah Datar 2015, kasus bunuh diri dikota batu sangkar yang merupakan bagian dari kabupaten tanah datar dengan luas wilayah 1336,6 ha dengan jumlah penduduk ± 360.000 jiwa memperlihatkan angka yang luar biasa untuk kasus bunuh diri yaitu pada tahun 2014 dari bulan jan samp maret ditemukan 1 kasus remaja yang melakukan bunuh diri setiap bulannya. Pada bulan januari 2015 ada 3 kasus, bulan maret 2015 ada 3 kasus di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, . Usia pelaku beragam, ada yang masih usia pelajar, mahasiswa, remaja, dewasa, hingga orang tua. Dari beberapa kasus bunuh diri yang telah terjadi, depresi merupakan salah satu pemicu terjadinya bunuh diri, dikarenakan pelaku tidak kuat menanggung beban 13 permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan, masalah yang menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan bunuh diri. Untuk mengatasi kasus tersebut pemerintah kabupaten tanah datar belum melakukan upaya yang ditujukan khusus untuk remaja untuk pencegahan bunuh diri, namun telah melakukan beberapa upaya yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan namun belum ada intervensi oleh petugas kesehatan khususnya jiwa. Penanganan yang tepat dalam penanganan Resiko bunuh diri akan dapat mencegah ketingkat yang tidak diinginkan yaitu kematian. Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang remaja di Batu Sangkar didapatkan bahwa 3 diantaranya pernah mengalami keputusasan dalam menghadapi masalah mereka dan adanya pemikiran untuk mengakhiri hidup. Berdasarkan data-data yang telah diuraikan sebelumnya diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh cognitif behavior terapi terhadap resiko bunuh diri pada remaja di Batu Sangkar Kabupaten Tanah Datar.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | R Medicine > R Medicine (General) |
Divisions: | Pascasarjana Tesis |
Depositing User: | Mr Azi Rahman |
Date Deposited: | 07 Mar 2016 03:16 |
Last Modified: | 07 Mar 2016 03:16 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/3302 |
Actions (login required)
View Item |