DINAMIKA PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH DI PROVINSI SUMATERA BARAT (Studi dalam Pembangunan TPA Sampah Regional Payakumbuh)

ELVI, NARTI (2013) DINAMIKA PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH DI PROVINSI SUMATERA BARAT (Studi dalam Pembangunan TPA Sampah Regional Payakumbuh). Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
329.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (11MB)

Abstract

Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, daerah diberi kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan daerah lain dan pihak ketiga1. Kerjasama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan ketertarikan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah atau pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal guna mensejahterakan masyarakat. Daerah memiliki keterbatasan kapasitas dalam berbagai hal, kondisi ini disadari berdampak pada lambatnya pembangunan bahkan tidak tercapainya tujuan penyejahteraan masyakat di wilayahnya. Belum lagi ketika daerah masuk kedalam era globalisasi dimana tingkat kompetisi dengan negara lain begitu terbuka dan tanpa batas, mau tidak mau daerah harus berfikir strategis untuk meningkatkan nilai keunggulan daerahnya dengan mengandalkan keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya, baik itu dari segi pendanaan, infrastruktur, teknologi maupun sumberdaya manusianya. Isu kerjasama antar daerah bukanlah suatu yang baru, isu ini merupakan konsekuensi logis ketika era otonomi daerah mulai bergulir. Isu ini muncul sebagai bagian dari kewaspadaan pemerintah terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemahaman sempit daerah terkait otonomi daerah. Fakta menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi 1 Kerjasama antar daerah ini tertuang dalam pasal 195 Undang-Undang No 32 Tahun 2004. 3 daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah” yang berlebihan.2 Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah. Kekhawatiran terhadap melemahnya kohesitas serta kesatuan wilayah menjadikan pemerintah membuat sebuah mekanisme penyeimbang atau penyaluran agar dampak negatif yang ditimbulkan tidak berakibat kontra produktif terhadap cita-cita dari otonomi daerah. Kesadaran terhadap berkembangnya dampak negatif ini kemudian di respon oleh pemerintah dengan menyematkan pengaturan sebuah kerjasama antar daerah di dalam UU no 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi melalui UU no 32 tahun 20043. Substansi dari peraturan tersebut adalah kerjasama antar daerah dilakukan dalam rangka 2 Yeremias T. Keban, “Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Daerah: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip” ( diakses dari http://www.bappenas.go.id/node/48/2258/kerjasamaantar- pemerintah-daerah-dalam-era-otonomi-oleh-yeremias-t-keban-/ pada 29 September 2011) 3 Pasal 195 UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan bahwa: 1.) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang sidasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektifitas pelayanan public, sinergi dan saling menguntungkan. 2.) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di wujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur berdasarkan keputusan bersama. 3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. 4.) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan masyarakat. 4 meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwasannya keberadaan pemerintah pada dasarnya untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kerjasama antar daerah dapat terbentuk dan berjalan dengan baik diperlukan suatu prasarat tertentu, yaitu; Pertama, kerjasama antar daerah harus dilandasi adanya suatu kebutuhan bersama diantara para anggota. Dianggap sebagai kebutuhan bersama apabila masing-masing pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan yang dihadapainya seperti pengentasan kemiskinan, efisiensi pelayanan publik, konflik antar penduduk, dan lain-lainnya, kalau mereka tidak bekerjasama. Oleh karena itu, identifikasi untuk menemukan kesamaan isu dan permasalahan pembangunan diantara anggota menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kedua, adanya komitmen bersama dari masing-masing pemerintah daerah dalam menangani isu-isu yang telah disepakati, dan lebih mendahulukan kepentingan bersama disbanding kepentingan masing-masing daerah. Ketiga, adanya prinsip saling menguntungkan bagi semua fihak yang bekerjasama. Prinsip saling meguntungkan menggambarkan bahwa dalam bekerjasama setiap anggota harus dapat menarik manfaat dari adanya kerjasama tersebut. Namun demikian, tidak berarti bahwa setiap daerah harus mendapatkan bentuk keuntungan yang seragam. Kerjasama tidak dimaksudkan untuk membuat keseragaman antar daerah, melainkan melakukan pengembangan daerah sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Keempat, adanya dukungan dari pemerintah (baik pusat maupun provinsi) terhadap kerjasama antar daerah yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dukungan dapat berupa bantuan pendanaan maupun penyediaan 5 aturan perundangan sebagai dasar hukum untuk melakukan kerjasama antar daerah.4 Saat ini telah banyak terbentuk lembaga kerjasama antar daerah dengan berbagai ragam seperti dalam bentuk asosiasi maupun dalam bentuk kerjasama regional. Bermunculannya berbagai lembaga kerjasama antar daerah ini dikarenakan kebijakan desentralisasi di Indonesia telah membuka peluang bagi terbentuknya kerjasama antar daerah. Di samping itu, adanya kebutuhan bagi daerah untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan karena adanya keterbatasan sumberdaya baik alam maupun manusia, sehingga harus diselesaikan secara bersama dengan daerah lain telah pula mempersubur munculnya berbagai bentuk lembaga kerjasama antar daerah di Indonesia. Beberapa aksi seperti terdapatnya beberapa forum kerjasama antar daerah, misalnya Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Badan Kerjasama DPRD Provinsi Se-Indonesia, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia. BKAD SUBOSUKAWONOSRATEN salah satu bentuk dari badan kerjasama lahir atas semangat bersama daerah di wilayah se Ex karesidenan Surakarta juga menjadikan ekonomi sebagai semangat awal di dalam pembentukannya, walaupun pada pelaksanaanya kemudian sektor yang terkait langsung pada pelayanan publik seperti pengelolaan bersama pun mulai dirintis. Beberapa capaian yang dapat dijadikan pembelajaran dapat dilihat pada: 4 Bambang Tri Harsanto, “Analisis Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dalam eningkatkan Skala Ekonomi Daerah: Kajian Aspek Kelembagaan Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap Dan Kebumen”, disertasi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan – IPB, 2012. 6 Dimasukkannya anggaran untuk kebutuhan kegiatan promosi pariwisata bersama di masing-masing SKPD Kab/Kota. Meningkatnya kesadaran masyarakat (internal dan eksternal Solo Raya) dari adanya branding wilayah SOLO The Spirit of Java. Terbentuknya Forum Pariwisata Solo Raya yang secara rutin melaksanakan aktivitas promosi bersama. d. Tersedianya jaringan informasi kerjasama antar daerah berbasis IT. Lancarnya koordinasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan administrasi pemerintahan (misal: koordinasi kependudukan, koordinasi perencanaan pembangunan, koordinasi trayek angkutan umum, dll). Tersedianya sarana untuk promosi/aktivitas bersama Solo Raya: (GRHA SOLO RAYA) yang dibangun Pemerintah Prov. Jateng. Terjalinnya kerjasama antar pelaku swasta melalui fasilitasi BKAD (misal, konsorsium ASITA Solo dengan RSI Yarsis dalam pengembangan paket wisata kesehatan), Meningkatnya nilai tambah (value added) UKM di sektor mebel rotan dan susu sapi perah. Meningkatnya kerjasama diantara pelaku usaha di sektor mebel dan pariwisata. Kehadiran berbagai lembaga kerjasama antar daerah ini tidak disangkal merupakan petanda positif bagi perkembangan pelaksanaan otonomi daerah. Namun, hasil evaluasi menunjukkan bahwa badan-badan kerjasama antar daerah masih belum mampu memberikan kontribusi signifikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik di daerah5. Berbagai kelemahan tersebut menjadikan kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah menjadi tidak optimal. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketidakoptimalan tersebut antara lain; Pertama, meskipun kerjasama antar daerah telah dilakukan untuk menyelesaikan berbagai 5 Laporan Akhir Model Kerjasama Antar Daerah, kerjasama program Politik lokal dan otonomi daerah UGM dengan APEKSI. 2006. (online) di akses pada tgl 20 april 2010 jam 21.00 wib (https://www.bayudardias.staff.ugm.ac.id) 7 permasalahan yang dihadapi secara bersama seperti terbatasnya sarana infrastruktur daerah, namun dalam prakteknya penyelesaiaan berbagai permasalahan bersama tersebut mengalami hambatan karena tingginya sikap ego kedaerahan antar kabupaten anggota. Padahal maksud dari dibentuknya lembaga kerjasama antar daerah justru untuk menghilangkan sikap ego kedaerahan tersebut. Kedua, pembentukan lembaga kerjasama antar daerah sebagai wujud konsolidasi antar pemerintah daerah dapat menjadi instrumen untuk menekan pemerintah pusat (relasi vertikal), lembaga ini memiliki kekuatan yang signifikan, tapi untuk mengefektifkan dan meningkatkan kapabilitas penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lembaga ini belum menunjukkan prestasinya. Dalam banyak hal lembaga ini tidak mendasarkan pada problem riil yang mereka hadapi kemudian membuat semacam aksi kolektif yang berdampak sosial ekonomi pada masyarakat.6 Faozan (2002) dalam disertasi bambang mengidentifikasi beberapa faktor penyebab belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah karena motif awal pembentukannya memang sudah menyimpang, diantaranya yaitu yaitu: 1. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah seringkali hanya merupakan media formalitas, bukan karena keinginan untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kolaborasi yang dibangun. 2. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah kerapkali dibentuk hanya dikarenakan adanya tekanan dari suatu kebijakan yang biasanya disusun oleh instansi pusat atau yang lebih tinggi, yang pada umumnya validitas dan reliabilitasnya layak dipertanyakan. 6 Bambang Tri Harsanto, Op. Cit. 8 3. Kolaborasi kerap diperkeruh oleh oknum-oknum pimpinan instansi pemerintah, perancang atau pengusul kebijakan tersebut sebagai lahan added salary tanpa mempertimbangkan berbagai faktor sensitif yang berkembang. Hal ini dikarenakan masih timpang tindihnya mekanisme pelaksanaan kerjasama antar daerah mulai dari badan/lembaga yang melaksanakannya, pembiayaan dan mekanisme pelaksanaanya. Ini diperkuat dengan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Dearah – LAN mengenai Peningkatan Peran Provinsi Dalam Membangun Kerjasama Dearah di enam provinsi bahwa kerjasama antar daerah dapat berjalan dengan baik tergantung oleh peran pemerintah provinsi untuk melakukan koordinasi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Dari kajian ini dapat dilihat dinamika peran provinsi di keenam provinsi tersebut relatif masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor: a.) Dari sisi regulasi dimana peraturan yang ada belum dianggap menyentuh aspek-aspek praktis kerjasama antardaerah. Karena belum ada juklak dan juknis yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah. b.) Dari sisi kelembagaan terutama karena belum semua pemerintah provinsi atau kabupaten/kota melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan sesuai amanat PP nomor 41 tahun 2007 dan belum semua pemerintah daerah membentuk Tim Koordinasi Kerjasama sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 193/1709/SJ tahun 2008. c.) Sumber Daya Manusia, baik karena alasan kualitas maupun jumlah aparatur yang terbatas atau karena alasan lain semisal pergantian personil karena kebijakan mutasi atau alasan lain seperti suksesi pimpinan/elit pemerintah daerah dengan segala konsekuensinya. Pendanaan atau pengganggaran. Alasan klasik ini selalu dijumpai dalam setiap urusan, tak terkecuali di bidang 9 kerjasama daerah. Mulai dari siapa, seperti apa pola pembagiannya, serta dari mana sumbernya, turut mewarnai kelancaran dan keberhasilan suatu bentuk kerjasama. d.) Masalah koordinasi. Lemahnya koordinasi antar level pemerintah (antar pemerintah pusat, pemeritah provinsi, dan pemerintah kapupaten/kota) dalam suatu urusan kerjasama dijumpai misalnya dalam kasus DSDP. Koordinasi akan lebih sulit lagi bila semangat egosentrisme dihinggapi oleh pemerintah daerah dengan dalih otonomi daerah yang salah kaprah. Ditambah dengan beberapa persoalan lainnya seperti, faktor belum teridentifikasinya urusan kerjasama secara baik, ketidaksiapan masyarakat, atau justru pemerintah daerah itu sendiri yang tidak menganggap penting kerjasama antardaerah sehingga tidak dijadikan sebagai satu prioritas kebijakan.7 Kemudian untuk menjawab permasalahan diatas lahir lah Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Dan pada tahun 2009 Menteri Dalam negeri mengeluarkan petunjuk teknisnya yang merupakan derivasi dari PP 50/2007, yaitu Permendagri no 22 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Kerja Sama Daerah serta Permendagri no 23 Tahun 2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Antar Daerah. Semua regulasi tersebut bertujuan sebagai payung hukum sekaligus dasar gerak pemerintah daerah di dalam melakukan kerjasama dengan daerah yang lain. Aturan hukum ini memberikan pedoman kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan kerjasama daerah. Dalam regulasi diatas dijelaskan serangkaian mekanisme dalam 7 Kajian ini dilakasanakan di enam provinsi yaitu: Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta), Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram), Provinsi Bali (Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar), Provinsi Gorontalo (Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo). Data diakses online pada 12 desember 2011. www.pkkod.lan.go.id . 10 melakukan kerja sama antar daerah. Mulai dari aktor yang terlibat, objek apa saja yang dapat dikerjasamakan, bagaimana menentukan objek yang dikerjasamakan, bagaimana bentuk organisasi kerjasama antar daerah yang akan dilakukan dan mekanisme pengawasan terhadap kerjasama tersebut. Kerja Sama Daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban8. Tujuan kerjasama yaitu: Sarana memantapkan hubungan dan keterikatan daerah, Menserasikan pembangunan daerah, Mensinergikan potensi daerah maupun pihak ketika, Meningkatkan pertukaran iptek, Mengurangi kesenjangan penyediaan fasilitas umum antar daerah9. Subjek kerjasama yaitu: Gubernur, Bupati/wali kota, pihak ketiga. Objek kerjasama adalah seluruh urusan pemerintah yang menjadi wewenang daerah10. Dengan adanya payung hukum yang jelas mengenai 8 Sanctyeka, Thres. 2009. Panduan Pembentukan Organisasi Kerjasama Antar Daerah (KSAD). Semarang. 9 Sugeng (2012). Presentasi Implentasi Kerjasama Dalam Negeri.Biro Otda dan Kerjasama Setda Prov. Jateng (online, diakses pada tgl 14 Januari, 2013 jam 03:25 wib). 10 Urusan yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang tertera pada pasal 13 dan 14 UU NO.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Urusan wajib dalam skala provinsi meliputi: 1)perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2)perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3)penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4)penyediaan sarana dan prasarana umum; 5)penanganan bidang kesehatan; 6)penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7)penanggulangan masalah sosial lintas kabupate/kota; 8)pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9)fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10)pengendalian lingkungan hidup; 11)pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12)pelayanan kependudukan,dan catatan sipil; 13)pelayanan dministrasi umum pemerintahan; 14)pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15)penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; 16)dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan, sedangkaun urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pasala 14 Urusan pemerintahan Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi : 1)perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2)perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) 11 mekanisme kerjasama daerah seharusnya sebagian kendala atau masalah di atas tidak lagi dapat dijadikan dalih atau alasan mengingat telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut dan dapatkah serangkai aturan mengenai mekanisme kerjasama ini dapat menjawab semua permasalahan yang ada. Dalam konteks ini menjadi penting untuk melihat bagaimana prinsipprinsip dasar pengelolaan kerjasama antar daerah, format kelembagaan seperti bentuk kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, sumber pendanaan dan sudahkah kerangka regulasi yang ada mampu memungkinkan sebuah forum atau lembaga kerjasama antar daerah dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Atas dasar hal tersebut, dengan mengambil kasus pada pembangunan pengelolaan TPA samapah regional Payakumbuh, penelitian ini menarik untuk mengkaji pelaksanaan kerjasama antar daerah dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan setalah dikeluarkannya serangkaian aturan yang lebih komplit.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: J Political Science > JA Political science (General)
Divisions: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Politik
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 02 Mar 2016 03:02
Last Modified: 02 Mar 2016 03:02
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2835

Actions (login required)

View Item View Item