YUDHI, TRISTANTO TANJUNG (2013) PERTIMBANGAN HAKIMMENETAPKAN PIDANA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR PADANG. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text
226.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (412kB) |
Abstract
Latar BelakangMasalah Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasan belaka (machstaat). Hal tersebut dipertegas dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum pada dasarnya menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, serta berkedudukan sama di depan hukum. Hukum pada dasarnya memiliki dua bentuk hukum yaitu hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Hukum yang tertulis diidentikkan dengan peraturan perundang-undangan sedangkan hukum yang tidak tertulis identik dengan hukum adat dan kebiasaan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang berlaku di Indonesia dibuat oleh para pejabat legislatif dan pemerintah. Termasuk juga hukum pidana Indonesia yang mana sekarang ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para pejabat legislatif dan pemerintah yang mengatur tentang suatu tindak pidana tertentu. Peraturan perundang-undangan yang seperti itu disebut peraturan perundang-undangan pidana yang bersifat khusus. 3 Salah satu Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus yang terdapat di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang tersebut mengatur semua tentang perbuatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Istilah korupsi ini sering secara umum dihubungkan dengan suatu ketidakjujuran atau suatu kecurangan dalam sektor keuangan. Dalam politik hukum pidana Indonesia, korupsi dianggap suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus, karena diancam dengan pidana yang cukup berat bagi pelaku yang melanggar1. Korupsi juga merupakan suatu perbuatan yang busuk, jahat, dan merusak sendi-sendi dalam bernegara. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.2 Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lain nya.3 Di beberapa negara, kejahatan korupsi dianggap sebagai pelanggaran HAM 1Elwi Danil dan Aria Zurneti, 2002, Diktat Hukum Pidana Korupsi, Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm 2 2Evi Hartanti , Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm 9 3Elwi Danil, Korupsi: (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya) Jakarta: Rajawali Pres,2011, hlm 70 4 yang menyangkut kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan, kejahatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against humanity) yang memperoleh prioritas utama dalam pemberantasannya.4 Dalam Kejahatan Korupsi, pihak yang dirugikan adalah kepentingan kolektif atau komunitas, karena kejahatan ini merugikan keuangan negara dan perekonomian rakyat. Artinya, pihak yang menjadi korban adalah negara dan rakyat.5 Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana yang sifatnya sangat merugikan keuangan dan perekonomian Negara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korup orang-orang yang menyelewengkan uang negara tersebut sangat berdampak besar terhadap keuangan negara. Akibat dari tindakan-tindakan tersebut telah banyak merugikan negara dari segi apapun. Salah satunya dari tindakan-tindakan tersebut telah terjadi kemiskinan terhadap masyarakat yang pada dasarnya dengan uang yang dikorup tersebut dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, pembangunan fasilitas umum, maupun untuk pembangunan fasilitas-fasilitas pendidikan yang berguna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 4 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Roformasi), Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm. 207 5 ibid 5 Agar dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang dikorup oleh para koruptor tersebut maka di dalam Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b menjelaskan tentang pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.6 Keberadaan pidana uang pengganti sebagai salah satu jenis pidana tambahan yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi jelas memiliki peran sentral dalam upaya pengembalian keuangan Negara. Pidana uang pengganti tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara akibat perbuatan korupsi semata, tetapi juga bertendensi agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan kearah yang lebih baik. Perbuatan yang merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh para koruptor harus dapat dibuktikan oleh hakim di persidangan untuk menetapkan pidana uang pengganti terhadap koruptor yang terlibat kasus tersebut. Disinilah peran hakim yang memimpin sidang dalam perkara tipikor agar jeli dalam menetapkan pidana 6 Efi laila kholis, Pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, Depok, Solusi publishing, 2010, hlm. 17 6 uang pengganti yang akan diberikan kepada koruptor yang terjerat pada perkara tersebut. Pada prakteknya, putusan pidana uang pengganti yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa kasus tindak pidana korupsi bervariasi besarnya. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor antaralain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.7 Pada perkara tipikor No. 18/ Pid. B/ TPK2011/ PN. PDG di pengadilan tipikor Padang yang melibatkan terdakwa “ Wilson fitriadi” yang terjerat kasus tipikor dalam pengadaan vaksin flu burung di Pemerintahan Kota Payakumbuh, di dalam putusannya majelis hakim menjatuhkan pidana uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp. 24.900.000 sesuai dengan fakta-fakta yang terdapat di persidangan. Sedangkan kerugian keuangan negara yang di akibatkan oleh kontrak yang dilakukannya tidak sesuai dengan yang seharusnya menurut Perundangundangan adalah sebesar Rp. 49.800.000. Berdasarkan kasus di atas penulis tertarik tentang bagaimana pertimbangan hakim menetapkan pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun judul yang penulis angkat terkait dengan pidana uang pengganti ini adalah “PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN PIDANA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR PADANG”
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 29 Feb 2016 08:38 |
Last Modified: | 29 Feb 2016 08:38 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2369 |
Actions (login required)
View Item |