MEKANISME GANTI RUGI DAN REHABILITASI DALAM PERKARA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TIDAK SAHMENURUT UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUMACARA PIDANA (Studi Kasus Praperadilan No.02/Pid.Pra/2010/PN.PDG)

ANDIKA, RAHMAN (2013) MEKANISME GANTI RUGI DAN REHABILITASI DALAM PERKARA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TIDAK SAHMENURUT UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUMACARA PIDANA (Studi Kasus Praperadilan No.02/Pid.Pra/2010/PN.PDG). Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
209.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (503kB)

Abstract

Latar BelakangMasalah Membahas hukum pidana, menimbulkan beberapa persoalan terkait dengan ruang lingkup hukum pidana, yang mana berisikan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan disertai sanksi pidana bagi yang melanggarnya, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana dapat diberlakukan, dan cara pengenaan pidana tersebut.1 Persoalan mendasar dari hukum pidana sebenarnya terkait pada tiga hal, sebagaimana dikemukakan Van Kan bahwasannya hukum pidana memuat suatu perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau criminal responsibility), dan ketentuan acara pidana (criminal procedure).2 Ketentan hukum acara pidana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP lahir karena adanya tujuan yang dicapai yaitu untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Heriene Inlandsch Reglement atau HIR. Pedoman pelaksanaan 1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm.1. 2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm.14-15. 3 KUHAP menjelaskan bahwa HIR sebagai produk dari badan legislatif kolonial belum dapat memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR.3 Ketentuan-ketentuan itu seperti dicantumkannnya pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang lebih lengkap sampai dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR.4 Undang-undang di Indonesia telah mengatur adanya jaminan dan pengakuan atas hak asasi manusia di mata hukum. Dalam pembukaannya Undang-Undang 1945 menyebutkan bahwa “Negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia”. Hal ini mengindikasikan Negara menjamin kebebasan serta kemerdekaan setiap warga negaranya. Jaminan akan hak-hak ini tidak hanya berupa kata-kata ataupun janji belaka, akan tetapi harus diwujudkan dalam suatu bentuk demi menjamin adanya kepastian hukum, seperti adanya amandemen, undang-undang, resolusi maupun dalam peraturan-peraturan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 7, 8 dan 9 : 3Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No.M.01.07.03 TH. 1982, seperti yang dituliskan oleh Adnan buyung Nasution dalam tulisannya mengenai Praperadilan vs Hakim Komisaris pada newsletter Komisi Hukum Nasional. 4 Ibid. 4 Pasal 7 Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 9 1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana. 3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.5 Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana yang telah diatur adalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tersirat juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan upaya paksa untuk kelancaran pemeriksaan perkara pidana sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil. Akan tetapi upaya paksa yang dilakukan tetap harus berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini penting karena seseorang yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindak pidana diperlakukan dengan adil dan berhak mengetahui dengan jelas hak-haknya serta sejauh apa 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN. Nomor 8 Tahun 2004, TLN.No.4358 5 wewenang para penegak hukum dalam melaksanakan upaya paksa tersebut, di mana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya.6 Dalam rangka melaksanakan pembaharuan terhadap bidang hukum acara pidana, berkembanglah tindakan koreksi terhadap penegak hukum seperti polisi, jaksa dan lain-lain dalam bentuk penertiban penyelewengan, penyalahgunaan wewenang serta perbuatan-perbuatan lain yang harus dilakukan secara maksimal, agar penegakan hukum berlangsung dengan tepat dan oleh karenanya diarahkan ke dalam bentuk pengawasan vertikal yaitu “built in control” dan pengawasan horizontal. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lebih banyak terjadi karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang dalam hal ini muncul dalam bentuk penahananpenahanan yang tidak tepat atau illegal arrest.7 Hukum acara pidana harus mampu menjaga batas antara dilaksanakannya upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan baik barang maupun pembukaan surat-surat, dengan hak seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana, sehingga dapat mencerminkan bahwa Hukum Acara Pidana masih berada dalam ruang lingkup suatu Negara.8 Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur Negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka KUHAP mengatur suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan. 6 Ibid, hlm. 82. 7 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP (Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.68. 8 Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984), hlm..9. 6 Lembaga praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus. Hal ini diterangkan oleh Adnan Buyung Nasution selaku penggagas awal dari praperadilan. “Munculnya lembaga praperadilan di dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan agar penahanan itu benarbenar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.”9 Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan pentingnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak asasi manusia di dalam HIR. Praperadilan pada prinsipnya bertujuan melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya lembaga praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, akan tetapi merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.10 Di Indonesia sendiri praperadilan telah diterapkan di berbagai daerah diantaranya adalah kasus di Pengadilan Negeri Pangkalpinang oleh hakim tunggal Lilin Herlina yang mengabulkan seluruh permohonan Hudarni Rani (mantan Gubenur 9 Adnan Buyung Nasution, loc.cit. 10 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta:Sinar Grafika, 2003), hlm.1. 7 Bangka Belitung) pada sidang lanjutan gugatan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Senin 17 Desember 2007. Dalam amar putusannya hakim mengabulkan permohonan praperadilan Hudarni terhadap laporan pencemaran nama baik, dan menyatakan penghentian penyidikan perkara (SP-3) atas laporan tanggal 28 April 2007 berdasarkan surat ketetapan No Pol:S.TAP/05/XI/07/Dit Reskrim oleh kepolisian Bangka Belitung (Babel) adalah tidak sah. Akibat dari putusan itu, Kapolda diperintahkan untuk tidak melanjutkan penyidikan perkara yang terjadi ketika sedang berlansungnya pemilihan Gubernur Bangka Belitung sebelum kasusnya di bawa ke dalam sidang praperadilan. Berdasarkan catatan selama dua tahun yaitu tahun 2006 sampai 2007 hanya dua perkara gugatan praperadilan yang masuk ke Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Menangnya gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri menjadi sejarahnya baru, di mana selama ini putusan gugatan selalu dimentahkan.11 Di Sumatra Barat kasus yang terkenal adalah kasus Manatap Ambarita, di mana praperadilan yang di ajukan oleh para pengacara dari kasus penahanan seorang pengacara yaitu Manatap Ambarita terhadap Kejaksaan Agung RI cq Kejati Sumbar cq Kejari Tua Pejat ditolak oleh Pengadilan Negeri Padang. Hakim Zulkifli yang menangani perkara ini beralasan penolakan dikarenakan dari 41 orang pengacara dari organisasi pengacara dan advokad untuk kasus tersebut tidak satupun yang 11 Sumber “http://cetak.bangkapos.com/sorotan/read/11.html”Praperadilan Sebagai lembaga Kontrol, oleh: Bangka Pos: Sorotan; Lilin Herlina,S.H. Hakim PN Pangkal Pinang, diakses tanggal 16 Maret 2012 8 menandatangani permohonan praperadilan, yang merupakan prasyarat penting untuk mengajukan permohonan praperadilan tersebut. Dalam amar putusan hakim, disatu sisi hakim membenarkan Pasal 123 KUH Perdata, yang menyatakan pemberian kuasa kepada seorang penasehat hukum boleh dinyatakan secara tertulis ataupun lisan. Disisi lain, hakim dalam pertimbangan putusannya menyatakan, kuasa Pemohon praperadilan kepada penasehat hukumnya tidak sah. Sehingga salah satu penasehat hukum Manatap Ambarita yaitu Metra Akmal menyesalkan putusan yang diucapkan majelis hakim karena sikap majelis hakim dianggap ambivalent atau meragukan. Pada akhirnya Manatap Ambarita ditahan dibui oleh jaksa. Ia menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Tua Pejat karena menghalangi jaksa melakukan proses penyidikan kasus korupsi, pada tanggal 4 April 2008. Manatap Ambarita adalah pengacara dari Afner Ambarita, yang merupakan tersangka dugaan korupsi proyek perbaikan jalan dan jembatan Mentawai tahun 2005.12 Kasus lainnya tentang praperadilan di Sumatra Barat tepatnya di kota Padang yaitu, demonstrasi yang di lakukan oleh FWK (Forum Warga Kota) di kantor atau rumah dinas Wali Kota Padang yang berujung pada penangkapan dan penahanan beberapa pedagang FWK yang dilakukan secara tidak sah. Dalam hal ini hasil gugatan praperadilan terhadap kasus FWK dikabulkan oleh hakim. 12Sumber “http://eriandi.wordpress.com/2008/04/27/gugatan-praperadilan-41-pengacaraditolak- hakim” Gugatan Praperadilan 41 Pengacara Ditolak Hakim, oleh: Eriandi , diakses16 maret 2012 9 Kasus ini menarik untuk diteliti karena permohonan praperadilan dimenangkan oleh FWK, dan tentunya harus ada ganti rugi dan rehabilitasi terhadap si korban penangkapan dan penahanan. Di dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 95 Ayat 1 disebutkan masalah ganti kerugian “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan” dan pada Pasal 97 Ayat 1 disebutkan masalah rehabilitasi “Seorang berhak mempeoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Sesuai dengan ketentuan pasal diatas seharusnya pihak yang menang dalam kasus praperadilan mendapatkan hak ganti rugi dan rehabilitasi, akan tetapi dalam hal ini Negara belum mewujudkan hak-hak korban yang ditangkap dan ditahan kepolisian secara sewenang-wenang tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas, mendorong penulis melakukan penelitian mengenai penerapan Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pada kasus tersebut dan bagaimana mekanisme dari ganti rugi dan rehabilitasi dari kasus ini. Selanjutnya penelitian ini menjadi sebuah skripsi yang berjudul Mekanisme Ganti Rugi dan Rehabilitasi dalam Perkara Penangkapan dan Penahanan Tidak Sah Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 29 Feb 2016 06:54
Last Modified: 29 Feb 2016 06:54
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2302

Actions (login required)

View Item View Item