ILHAM, PRATAMA (2013) ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text
183.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (519kB) |
Abstract
Latar BelakangMasalah Dewasa ini kemajuan dan perkembangan yang terjadi di dunia perbankan begitu pesat. Perkembangan dan kemajuan pada dunia perbankan tersebut, dapat dipahami merupakan salah satu efek yang ditimbulkan dari globalisasi perekonomian. Pada tahapan selanjutnya, perkembangan perekonomian nasional akan senantiasa bergerak cepat, kompetitif, serta terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks di sistem keuangan yang semakin maju. Ini sejalan dengan salah satu butir pertimbangan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pesatnya perkembangan yang terjadi pada sektor perbankan berbanding lurus dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini kita dapat berkaca pada negara Indonesia, menurut data dari Bank Indonesia saat ini terdapat 120 bank umum termasuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berjumlah lebih dari 1.700.1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 1 Difi A Johansyah, www.bi.go.id/total jumlah bank di Indonesia, di akses pada tanggal 6 Maret 2013 3 berada pada peringkat kedua dunia dengan capaian angka pertumbuhan sebesar 6,4 %.2 Berpedoman pada hal diatas, maka peran perbankan dalam pembangunan ekonomi adalah mengalirkan dana bagi kegiatan ekonomi yaitu salah satunya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat perseorangan atau badan usaha. Kredit tersebut mempunyai suatu kedudukan yang strategis dimana sebagai salah satu sumber uang yang diperlukan dalam membiayai kegiatan usaha yang dapat dititikberatkan sebagai salah satu kunci bagi kehidupan setiap manusia. Fasilitas kredit yang diberikan oleh bank merupakan aset terbesar bagi bank. Dalam hal kegiatan bank memberikan fasilitas kredit, resiko kerugian sebagian besar bersumber pada kegiatan tersebut, sehingga bila tidak dikelola dengan baik dan disertai pengawasan yang memadai akan mengancam kelangsungan hidup bank tersebut. Ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sementara itu, mengenai tujuan perbankan Indonesia disebutkan dalam pasal 4 UU Perbankan bahwa, perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, 2 Dyan Pramono Effendi, www.bps.go.id/pertumbuhan ekonomi Indonesia, diakses pada tanggal 6 Maret 2013 4 pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan.3 Bank sebagai institusi pelaksana dalam dunia perbankan, memiliki peran signifikan dalam hal meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini sejalan dengan pengertian bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Sehubungan dengan penyederhanaan jenis bank yang terdapat di Indonesia sesuai dengan UU Perbankan, maka jenis bank yang terdapat di Indonesia adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Berpedoman pada data BPS diatas yang menyebutkan bahwa laju pertumbuhan perekonomian Indonesia yang sebesar 6,4 % dan menempati posisi dua dunia, dapat kita baca sebagai semakin majunya dunia usaha pada saat ini. Perkembangan dan kemajuan yang terjadi pada dunia usaha tersebut, tentunya membutuhkan bantuan modal dari pihak perbankan dalam bentuk pemberian fasilitas kredit guna memperluas (expand) jaringan usahanya. Adalah fungsi utama bank menyalurkan dana 3 S.Gazali, Djoni dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta:Sinar Grafika, hlm 140. 5 masyarakat dalam bentuk kredit tersebut. Sedangkan pengetian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan,yakni: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dalam hal bank memberikan kredit kepada pihak peminjam, sebagaimana digariskan pada ketentuan UU Perbankan diatas, maka didahului dengan perjanjian pemberian kredit atau perjanjian kredit. Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya, maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi dari perjanjian kredit yaitu sebagai berikut :4 1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya: perjanjian pengikatan jaminan 2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur 4 Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Majalah Bank dan Manajemen,Edisi November-Desember 1992, hlm 64-69. 6 3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit Sehubungan dengan semakin meningkatnya perekonomian bangsa dewasa ini, maka fasiltas kredit yang diberikan atau ditawarkan oleh pihak bank tak hanya sebatas pada masyarakat perkotaan, tetapi juga bisa “dinikmati” masyarakat desa atau lapisan bawah. Pada umumnya masyarakat desa dalam memanfaatkan fasilitas pinjaman kredit bank digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk meningkatkan produktivitas kegiatan usaha kecilnya.5 Kiranya pada konteks diatas, BPR memiliki peran yang cukup signifikan dalam hal penyaluran kredit karena sesuai dengan segmentasi nasabahnya yaitu masyarakat pedesaan atau lapisan bawah. Dengan semakin “menjamur” nya keberadaan BPR ditengah-tengah masyarakat, terkadang BPR dalam hal menyalurkan kredit kepada masyarakat mengabaikan prinsip-prinsip pemberian kredit sebagaimana di atur dalam SK Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). Dalam ketentuan tersebut memuat “rambu-rambu” dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut:6 1) Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan 5 Desy Hemawanti, www.eprints.undip.ac.id/pemberian kredit bank, diakses pada 6 Maret 2013 6 Difi A Johansyah, www.bi.go.id/prinsip-prinsip pokok pemberian kredit, diakses pada tanggal 6 Maret 2013 7 2) Organisasi dan manajemen perkreditan 3) Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit 4) Dokumentasi dan administrasi kredit 5) Pengawasan kredit 6) Penyelesaian kredit bermasalah Masalah paling besar yang timbul kemudian dalam pemberian kredit ini adalah bermasalahnya pengembalian kredit oleh pihak peminjam selaku debitur sehingga hal-hal yang sebelumnya sudah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tidak terlaksana secara sempurna, atau biasa disebut Wanprestasi. Berdasarkan SK Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 penggolongan kredit bermasalah di Indonesia terbagi atas tiga golongan yaitu:7 1) Kredit Kurang Lancar 2) Kredit Diragukan 3) Kredit Macet Faktor-faktor penyebab kredit bermasalah ini dapat digolongkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu:8 1) Faktor internal bank 7 Siswanto Sutojo,1996, Menangani Kredit Bermasalah,Jakarta:PT. Pustaka Binamon Pressindo, hlm 12. 8 Desy Hemawanti , www.eprints.undip.ac.id/Faktor-faktor penyebab kredit bermasalah, diakses pada tangal 6 Maret 2013 8 Disebabkan bank melonggarkan diri dalam pemberlakuan prinsip-prinsip pemberian kredit. Dan adanya unsur “permainan” atau kompromi terhadap prinsip-prinsip kredit, misalnya: bank tetap memberikan kredit kepada debitur meskipun sebenarnya perusahaan debitur dalam kondisi tidak sehat. 2) Faktor eksternal bank Debitur peminjam biasanya “memanfaatkan” situasi iklim persaingan bank yang ketat dengan membujuk bank memberikan kredit dalam jumlah besar dengan syarat seringan mungkin, debitur ini biasa disebut debitur berwatak buruk. Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh Bank Perkreditan Rakyat selaku pihak pemberi kredit atau kreditur dalam upaya penyelesaian kredit yang terindikasi bermasalah adalah dengan memedomani ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 dan SEBI No.31/10/UPPB. Dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tersebut, diatur beberapa cara penyelesaian kredit bermasalah oleh pihak bank. Secara umum penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) cara, yaitu: melalui proses pengadilan (litigation procedure) dan diluar proses pengadilan (nonlitigation). 9 Diantara penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat melalui proses pengadilan (litigation procedure) yaitu: dengan melakukan sita eksekusi terhadap jaminan kebendaan debitur didahului oleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat (tempat/domisili debitur berada). Sedangkan bentuk/cara penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat diluar proses pengadilan (non-litigation) dapat berupa pemanggilan kepada debitur untuk ditempuh cara-cara, seperti: penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Berdasarkan pada hal-hal diatas maka penulis terdorong untuk meneliti dan berusaha menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT”.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 29 Feb 2016 03:38 |
Last Modified: | 29 Feb 2016 03:38 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2225 |
Actions (login required)
View Item |