PROGRAM BACA,TULIS DAN HITUNG (BTH) SEBAGAI SALAH SATU BENTUK AKULTURASI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA ORANG RIMBA YANG BERUBAH (Studi Kasus : Orang Rimba Kedundung Muda-TNBD, Jambi)

NORI, HILDA (2011) PROGRAM BACA,TULIS DAN HITUNG (BTH) SEBAGAI SALAH SATU BENTUK AKULTURASI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA ORANG RIMBA YANG BERUBAH (Studi Kasus : Orang Rimba Kedundung Muda-TNBD, Jambi). Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
001.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (370kB)

Abstract

Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki berbagai suku bangsa yang tersebar di pelosok Indonesia. Suku bangsa atau ethnic group di dunia di bedakan berdasarkan mata pencaharian dan sistem ekonominya. Pembagian kesatuan suku bangsa ini dapat terlihat bahwa adanya masyarakat pemburu (hunter) dan peramu (gatherer).1 Secara geografi kelompok masyarakat ini terletak jauh dari pusat-pusat kemajuan dan perkembangan yang ada, yang sering disebut Kelompok Adat Terpencil (KAT). Orang Rimba merupakan salah satu Kelompok Adat Terpencil (KAT) di Indonesia, yang tersebar di pedalaman hutan-hutan di Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Selatan.2 Secara garis besar di Jambi mereka hidup di tiga wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Rimba yang di utara Propinsi Jambi (sekitar Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), dan wilayah selatan Propinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatera).3 Penyebutan terhadap Orang Rimba ini perlu diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda: Pertama Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan terutama oleh orang melayu. Pengertian Kubu berarti bodoh, sangat tidak enak didengar, karena ada kesan 1Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 167 2Alfajri, Kearifan Lokal Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas, Skripsi Antropologi, Padang, 2007, hal. 2 3http;//wikipedia.org.id//wiki/suku_kubu merendahkan. Sebutan kubu terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kubu artinya bau, jorok, dan bodoh. Makanya, mereka sering marah jika disebut Suku Kubu. Kedua, Suku Anak Dalam (SAD), sebutan yang digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. SAD memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Ketiga adalah Orang Rimba, sebutan ini digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak lepas dari hutan.4 Orang Rimba sendiri secara internal mendefinisikan diri mereka sebagai suatu kelompok etnik yang memiliki keunikan dan berbeda dengan kelompok yang lain, terlihat dari adanya pengakuan akan identitas bersama serta pemaknaan tertentu terhadap kesukuan mereka ketika mereka menolak disebut sebagai ‘Suku Kubu’ karena menganggap kata ‘Kubu’ memiliki makna yang negatif. Mereka memilih untuk disebut sebagai ‘Orang Rimba’ karena mereka menganggap rimba atau hutan sebagai rumah mereka, di mana hidup mereka memang sangat tergantung pada hutan.5 Orang Rimba mempunyai kehidupan sosial budaya tersendiri dengan kehidupan masyarakat lainnya. Di tengah kehidupan modern yang mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Orang Rimba masih hidup dengan mempertahankan kebiasaan nenek moyangnya. Mereka hidup berpindah-pindah (nomaden) sambil berburu, meramu, dan berladang, rumah sangat sederhana, peralatan hidup minim, buta huruf, 4http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/mengenal-orang-rimba.html 5http://chikitarosemarie.blogspot.com/2009/04/rimba-sama-dengan-rumah-atau-rimba.html menggunakan cawat (pakaian sangat minim) dan hidup jauh dari komunitas masyarakat umum.6 Namun pada kenyataanya Orang Rimba tidak bisa bertahan dalam kondisi mereka saat ini, karena pertumbuhan populasi dalam 'konteks pembangunan' dan arah perubahan telah menekan lingkungan alam mereka. Hal itu terjadi ketika pertama kalinya kehidupan alami Orang Rimba terusik oleh kedatangan ribuan penduduk dari Jawa melalui proyek 'transmigrasi' yang dicanangkan pemerintah pada era tahun 1980-an. Wilayah jelajah orang Rimba untuk melangsungkan ritual adat dan pencarian sumber-sumber makanan menyempit, juga mulai saat itu aktivitas ekonomi para transmigran mampu menjangkau wilayah-wilayah penghidupan orang Rimba. Berikutnya, sebagai konsekuensi dari arah pembangunan yang mengejar pada pertumbuhan, masuklah perkebunan berskala besar kelapa sawit dan tanaman karet di wilayah sekitar Bukit Duabelas.7 Dalam keadaan seperti itu, mau tidak mau Orang Rimba harus bersentuhan dengan masyarakat luar. Dengan begitu Orang Rimba mulai mengalami perubahan cara pandang dan cara hidup mereka. Orang Rimba juga merupakan bagian dari negara Indonesia, dengan begitu suatu kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan perhatian intensif kepada cara hidup Orang Rimba dianggap jauh dari pola umum yang berlaku dikarenakan mereka masih hidup dengan cara berpindah-pindah, pakai cawat, peralatan hidup minim, buta huruf serta tidak menganut agama tertentu yang diakui secara resmi oleh Negara. Pemerintah mulai melakukan upaya pembangunan dalam hal untuk memberdayakan Orang Rimba. 6Lucky Ayu Wulandari, Karya Tulis Konversi Hutan Taman Nasional Bukit 12 Menjadi Media Pendekatan Gradual Terhadap Upaya Pengubahan Pola Hidup Suku Anak Dalam (Suku Kubu) Jambi, Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jambi, 2009, hal. 3 7http://www.kombinasi.net/?lang=id&rid=19&cid=86&sid=0&xcode=200&id=269 NGO juga mulai banyak turun lapangan dan berinteraksi dengan Orang Rimba ini, seperti Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang sejak 1998 masuk ke dalam hutan untuk memberikan program bantuan agar keberadaan Orang Rimba tetap terjaga. Berbagai program yang bermaksud mengangkat derajat Orang Rimba mulai dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah pendidikan, pemerintah mendirikan gedung sekolah khusus anak rimba. Namun pada kenyataannya, program pemerintah tersebut tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar siswa di sana bukannya dari Orang Rimba, tapi malah anak-anak transmigran yang bermukim di dekat sekolah.8 Kegagalan ini disebabkan pemerintah tidak memahami keunikan komunitas Orang Rimba, seperti bagaimana cara fikir mereka, termasuk memaknai tujuan sekolah bagi mereka. Kemudian dari NGO sendiri selain berinteraksi dengan Orang Rimba, seperti pihak KKI juga berusaha menaikkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) demi perkembangan Orang Rimba dengan berbagai bantuan yang diberikan, salah satunya dalam bidang pendidikan, KKI melakukan program BTH (baca-tulis-hitung), di mana KKI berperan sebagai guru atau fasilitator kepada anak-anak orang rimba yang menjadi obyek dari program BTH ini. Program ini berbeda dengan program pendidikan formal, anak-anak rimba tidak memerlukan gedung, memiliki jam belajar tertentu dan berseragam. Guru yang mendatangi anak-anak rimba ke dalam hutan dan pembelajaran menyesuaikan kehidupan mereka. Hal itu dikarenakan waktu, cara, dan tujuan anak-anak komunitas Orang Rimba belajar tidak bisa disamakan dengan pola pendidikan yang diterapkan Diknas RI bagi anak-anak Indonesia pada umumnya. 8http://www.koranjambi.com/?jambi=budaya_detail&id=34 Program BTH ini disesuaikan dengan kebutuhan Orang Rimba. Orang Rimba diajarkan tulis baca hitung dengan tujuan dapat menyelesaikan persoalan dalam kehidupan mereka. Program BTH ini tentunya diharapkan mampu membantu Orang Rimba dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya Orang Rimba. Hal itu disebabkan program ini dapat menjadi jembatan bagi Orang Rimba dengan masyarakat luar. Orang Rimba harus memiliki bekal kemampuan dan pengetahuan yang cukup tentang 'dunia luar' dan tentang bagaimana mereka bisa hidup saat hutan tak bisa lagi dijadikan sandaran hidup. Dengan menularkan pendidikan baca tulis dan berhitung ke segenap kelompok Orang Rimba, maka mereka dapat memperjuangkan kepentingan minoritas mereka dari ketidakadilan masyarakat luar. Program BTH ini pun awalnya tidak berjalan dengan mulus, hal itu dikarenakan Orang Rimba yang beranggapan bahwa program ini memunculkan budaya tulis, baca, hitung yang merupakan kebudayaan luar yang dapat mengubah kebudayaan mereka. Tapi berkat perjuangan LSM untuk melindungi dan memperjuangkan hak mereka, maka sebagian Orang Rimba saat ini sudah bisa baca, tulis dan hitung. Dan menyadari manfaat program BTH bagi kehidupan sosial budaya mereka. Unsur-unsur kebudayaan yang dibawa dari program ini sendiri pun mulai terlihat dalam kehidupan sosial budaya Orang Rimba. Salah satunya, cara pikir dan cara pandang Orang Rimba itu sendiri terhadap program BTH. Penting untuk mengkaji bagaimana program BTH sebagai akulturasi dalam kehidupan sosial budaya Orang Rimba. Dengan begitu kita dapat memahami cara pikir dan cara pandang Orang Rimba terhadap program ini. Sehingga kita dapat menjelaskan budaya Orang Rimba secara menyeluruh, karena dibalik prilaku mereka terhadap program BTH ini terdapat unsur-unsur budaya dalam kehidupan Orang Rimba.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: G Geography. Anthropology. Recreation > GN Anthropology
Divisions: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Antropologi
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 18 Feb 2016 07:29
Last Modified: 18 Feb 2016 07:29
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1628

Actions (login required)

View Item View Item