TRADISI UANG JEMPUTAN DAN UANG HILANG DI PARIAMAN DALAM NOVEL KETIKA REMBULAN KEMBALI BERNYANYI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SASTRA

NIA, AZDA OKTAVIA (2011) TRADISI UANG JEMPUTAN DAN UANG HILANG DI PARIAMAN DALAM NOVEL KETIKA REMBULAN KEMBALI BERNYANYI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SASTRA. Diploma thesis, UNIVERSITAS ANDALAS.

[img] Text (SKRIPSI)
CRV0355.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (229kB)

Abstract

Padang Pariaman merupakan bagian dari Sumatera Barat. Posisi astronomis Kabupaten Padang Pariaman yang terletak antara 0 0 11 ‘ – 0 0 49 ‘ Lintang Selatan dan 98036‘ – 100028‘ Bujur Timur , tercatat memiliki luas wilayah sekitar 1.328,79 Km 2, dengan panjang garis pantai 60,50 Km 2. Luas daratan daerah ini setara dengan 3,15 persen dari luas daratan wilayah Propinsi Sumatera Barat. Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 (tujuh belas) Kecamatan dengan Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam tercatat memiliki wilayah 3 paling luas, yakni 228,70 Km 2, sedangkan Kecamatan Sintuk Toboh Gadang memiliki luas terkecil, yakni 25,56 Km 2. Disamping uang jemputan dan uang hilang, Pariaman juga dikenal dengan istilah Piaman laweh. Secara wilayah, Pariaman memang luas sekali. Tapi Pariaman Laweh ini juga merujuk pada kebiasaan orang Pariaman untuk merantau ke mana-mana. Bahkan ke tempat-tempat terjauh. Di mana ada orang Pariaman, berarti itu wilayah Pariaman. Karena terletak daerah pesisir, Pariaman memiliki pantai yang banyak. Pantainya pun lebar-lebar. Jarang sekali ada teluk-teluk kecil seperti di pantai selatan Jawa. Tidak terlalu jauh di tengah laut, terlihat gugusan pulau-pulau kecil yang merupakan outer arc ridge (punggungan busur luar) Sumatra. Tradisi uang jemputan dan uang hilang lahir dilatar belakangi oleh munculnya tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis. Gadih Gadang Indak Balaki (gadis yang sudah cukup umur tetapi belum menikah) merupakan hal yang tabu bagi masyarakat di Pariaman. Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman berperan penting untuk menyelesaikan masalah ini. Tradisi Uang jemputan adalah tradisi mas kawin dalam hal ini ditandai dengan adanya uang pinangan yang dikenal dengan istilah uang japuik. Uang japuik (uang jemputan) adalah sejumlah uang yang digunakan untuk meminang laki-laki dari pihak si perempuan yang biasanya jumlah uang japuik tersebut merupakan hasil kesepakatan antara mamak kedua belah pihak. Jumlah tersebut biasanya dilihat berdasarkan gelar adat si laki-laki. Uang jemputan berfungsi 4 sebagai salah satu persyaratan pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (calon menantu atau sumando) dan keluarganya. Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi. Ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriakat, sedangkan sekarang jumlah tersebut dilihat berdasarkan pangkat, jabatan, gelar sarjana dan pekerjaan si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu dan pasang untuk kemenakannya. Hal ini juga dikemukakan Sri Meiyenti dan Syahrizal dalam hasil penelitiannya, yaitu besar kecilnya pembayaran uang atau barang untuk jemputan tergantung dari status sosial si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu. Secara tradisional gelar kebangsawanan yang menjadi tolok ukur besar kecilnya jemputan. Kalau orangnya bergelar sidi, sutan, atau bagindo jemputannya lebih besar dibandingkan dengan orang biasa karena orang ingin anak cucunya dialiri darah bangsawan. Sekarang cenderung bukan lagi gelar bangsawan yang menjadi ukuran tetapi status sosial lain yaitu gelar kesarjanaan seperti dokter, insinyur, sarjana lainnya dan lulusan perguruan tinggi terkemuka akan lebih tinggi statusnya (Meiyenti, Sri dkk : 2010). Samudra dalam opininya yang dimuat dalam http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/ mengatakan bahwa uang jemputan adalah nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin 5 pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dari nilai yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin perempuan sebelumnya kepada keluarga pengantin pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) manjalang (berkunjung) ke rumah Mintuo(mertua). Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai sebelumnya karena ini menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah novel yang brjudul Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi karya Kartini. Novel ini merupakan novel pertama sang pengarang yang diterbitkan oleh Yayasan Sinar Gunung Sungai Geringging pada November 2010. Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi merupakan sebuah novel yang berbicara mengenai sebuah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman. Tradisi itu adalah tradisi uang jemputan dan uang hilang. Dalam novel ini diceritakan mengenai sebuah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman. Tradisi uang jemputan dan uang hilang ini dideskripsikan mengekang kehidupan masyarakat yang menjalankan tradisi ini. Ini dapat dilihat dari kehidupan si tokoh Nina yang penuh dengan konflik yang disebabkan oleh tradisi uang jemputan dan uang hilang tersebut yang dituangkan oleh si pengarang ke dalam novel tersebut.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: P Language and Literature > P Philology. Linguistics
Divisions: Fakultas Ilmu Budaya > Sastra Indonesia
Depositing User: Yth Vebi Dwi Putra
Date Deposited: 23 Aug 2016 10:25
Last Modified: 23 Aug 2016 10:25
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/15548

Actions (login required)

View Item View Item