MUHAMMAD, HAFIZ (2014) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013 (SEBUAH KAJIAN IUS CONSTITUENDUM). Diploma thesis, UNIVERSITAS ANDALAS.
Text (SKRIPSI FULLTEXT)
201411250920th_tugas akhir muhammad hafiz 0910111013 fakultas hukum.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (621kB) |
Abstract
Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilakukan secara langsung. Pemilukada selalu diwarnai dengan permasalahan hukum yang menimbulkan sengketa pemilukada. Pengajuan keberatan terhadap sengketa pemilukada ini awalnya diajukan ke Mahkamah Agung kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dan akhirnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewewang untuk itu. Penulis melakukan pedekatan masalah secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Untuk itu penulis tertarik membahas tentang mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXI/ 2013 adalah MK menyatakan bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah Konstitusi masih berwenang menyelesaikan perselisihan sengketa pemilukada sebelum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal itu. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tugas legislasi bagi DPR dan Pemerintah untuk mengatur mengenai kewenangan penanganan sengketa pilkada. Secara teknis, tidak ada batas waktu pembentukan Undang- Undang tersebut. Namun, pilihan yang tepat adalah memasukannya dalam dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Persoalan dari sisi substansi, pihak MA menilai MK melempar tanggungjawab, sebab MK sesungguhnya banyak menangani sengketa Pilkada berarti konstitusional. Alternatif yang mungkin dituangkan dalam Undang-undang yang baru adalah sengketa Pilkada menjadi kewenangan PT TUN, karena yang digugat adalah keputusan KPUD, sehingga lebih administratif. Dalam hal ini PT TUN mengadilinya dengan pemeriksaan langsung seperti PTUN pada tingkat pertama. PT TUN harus diberi batas waktu tertentu untuk memutus sengketa Pilkada agar cepat selesai. Pemikiran lain dapat dalam bentuk badan khusus untuk penyelesaian sengketa Pilkada.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Yth Vebi Dwi Putra |
Date Deposited: | 30 Jul 2016 02:51 |
Last Modified: | 30 Jul 2016 02:51 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/13482 |
Actions (login required)
View Item |