PRAKTIK PERSONA NON GRATA TERHADAP WAKIL DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961

OVTA, REZKA AMIJAYA (2015) PRAKTIK PERSONA NON GRATA TERHADAP WAKIL DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.

[img] Text
201505201305th_skripsi ovta rezka amijaya.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (3MB)

Abstract

Latar Belakang Masalah Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.1 Dalam hukum internasional tidak semua entiti dapat dikatakan sebagai negara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (the Convention on Rights and Duties of State) yang berbunyi sebagai berikut: “ The state as a person of international law should progress the following qualification ( a) a permanent population; (b) defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into the relations with other states.” Ketiga kriteria pertama telah mendapatkan pengakuannya sejak abad ke-19 di Eropa, sedangkan untuk yang terakhir berasal dari para penulis Amerika Latin.2 Dari segi hukum internasional, kriteria keempat merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan 1 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 88. 2 Jahawir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 105. 2 internasional dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. Penjalinan hubungan internasional antara satu negara dengan negara lainnya merupakan hal yang perlu dilakukan agar terciptanya interaksi antar negara. Interaksi tersebut harus dibina berdasarkan prinsip persamaan hak-hak menetukan nasib sendiri dengan tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) Piagam PBB, yaitu: “To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace.” Artinya:”Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan yang patut untuk memperteguh atau menguatkan perdamaian universal.” Tujuan utama setiap negara dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain adalah mengarahkan dan mempengaruhi hubungan itu supaya tercapai keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri dan bersamaan dengan itu meskipun untuk kepentingan sendiri, tujuan itu mempunyai tanggung jawab untuk menyusun formula bagi politiknya terhadap negara-negara lain dan mengatur hubungannya demi mencapai persahabatan dunia. Penyusunan formula politik luar negeri adalah satu dari aspekaspek politik nasional yang menjadi tugas politisi, sedangkan pengelolaan hubungan luar negeri dan penyesuaian bermacam-macam prioritas politik luar negeri 3 merupakan tugas dari seorang diplomat.3 Sedangkan diplomasi adalah cara untuk melaksanakannya dengan tepat dan efektif. Pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik sudah lama diadakan, yaitu sejak Kongres Wina tahun 1815 yang diubah oleh Protokol “Aix-La- Chapelle” tahun 1818. Kemudian atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa diadakan konferensi mengenai hubungan diplomatik di Wina, dari tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961. Konferensi tersebut membahas rancangan pasal-pasal yang telah dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) Perserikatan Bangsa- Bangsa dan menerima suatu konvensi mengenai hubungan diplomatik yang terdiri atas 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik secara menyeluruh, baik mengenai kekebalan maupun keistimewaan diplomatik.4 Konvensi tersebut diberi nama Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 yang selanjutnya disebut Konvensi Wina 1961. Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle of mutual consent)5, negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik dalam tingkatannya maupun 3 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 92-93. 4Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, Hukum Diplomatik dan Konsuler , Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 11-12. 5 Konvensi Wina 1961, Pasal 2. 4 jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama dalam suatu batas yang dianggap layak dan wajar.6 Sedangkan fungsi perwakilan diplomatik sebagaimana yang datur dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 meliputi empat tugas yaitu, mewakili negaranya di negara penerima, melindungi kepentingan negaranya dan warga negaranya di negara penerima, melakukan negosiasi dengan negara penerima, melaporkan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang sah dan meningkatkan hubungan persahabatan dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.7 Pengangkatan seorang calon duta besar di suatu negara penerima oleh negara pengirim harus terlebih dahulu dimintakan persetujuan (agreement) dari negara penerima. Untuk memperoleh agreement semacam itu negara pengirim dapat mengirimkan latar belakang calon Duta Besar (curriculum vitae) kepada negara penerima sebagai bahan pertimbangan. Dengan adanya agreement, orang yang bersangkutan dianggap persona grata bagi negara penerima, apabila agreement tidak diberikan, orang yang bersangkutan dianggap sebagai persona non grata. Dalam praktiknya pernyataan persona non grata ini sering terjadi dan disalahgunakan oleh banyak negara. dalam era perang dingin, suatu negara dapat saja mem persona non grata kan seseorang atau beberapa diplomat tanpa alasan yang 6 Ibid, Pasal 11. 7Elisabeth Remillia Palenewen, Implikasi Yuridis Terhadap Persona Non Grata Pejabat Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961, Jurnal Lex et Societatis, 2014, hlm.33. 5 jelas karena sekedar pembalasan terhadap tindakan persona non grata yang dilakukan terhadap diplomatnya oleh negara lain. Mengenai kebijakan persona non grata ini terjadi perdebatan yang panjang apakah suatu negara berkewajiban memberikan alasan bagi pengusiran seorang diplomat. Negara yang diplomatnya diusir selalu meminta penjelasan dan karena penjelasan itu tidak selalu memuaskan, negara tersebut mengambil tindakan yang sama. Akhirnya Konvensi Wina dapat mengakhiri perdebatan tersebut dan seperti yang disebutkan Pasal 9 bahwa negara penerima dapat menyatakan persona non grata tanpa harus memberikan penjelasan ke negara pengirim.8 Pasal 9 Konvensi Wina 1961 berbunyi: “(1) Negara penerima boleh setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu Negara pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staff diplomatiknya adalah persona non grata atau bahwa anggota lainnya dari staff misi tidak dapat diterima. Dalam hal seperti ini, Negara pengirim, sesuai dengan mana yang layak, harus memanggil orang tersebut atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi. Seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak dapat diterima sebelum sampai di dalam teritorial Negara penerima. (2) Jika Negara pengirim menolak atau gagal di dalam suatu periode waktu yang pantas untuk melaksanakan kewajibannya di bawah ayat 1 pasal ini, Negara penerima boleh menolak untuk mengakui orang tersebut sebagai anggota misi” Berdasarkan pada ketentuan pasal ini dapat ditegaskan bahwa negara penerima setiap saat dan tanpa penjelasan dapat memberi tahu negara pengirim bahwa kepala perwakilan ataupun salah seorang anggota staf diplomatiknya adalah persona non grata, karena itu negara pengirim harus memanggil pulang atau mengakhiri fungsinya di perwakilan. Ketentuan dalam Pasal 9 (1) ini mempunyai hakikat bahwa deklarasi 8 Boer Mauna, Hukum Internasional pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 534 6 persona non grata itu dapat dinyatakan baik sebelum maupun setelah tiba di wilayah negara penerima. Selanjutnya, juga dinyatakan bila negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang pantas melaksanakan kewajibannya maka negara penerima dapat menolak untuk mengakui pejabat tersebut sebagai anggota perwakilan. Negara penerima berhak menolak seorang calon duta besar apakah atas dasar sifat pribadinya atau latar belakang sebelumnya, misalnya jika ia dikenal pernah menanamkan rasa sentimen yang bernada kebencian atau permusuhan terhadap negara tempat ia akan diangkat sebagai kepala perwakilan dari perwakilan diplomatik. Berdasarkan Pasal 4 (2) Konvensi Wina 1961, penolakan agreement bagi seorang calon duta besar oleh negara penerima tidak harus disertai alasan, sebaliknya negara pengirim juga tidak perlu meminta alasan atas penolakan tersebut. Biasanya, penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi, tetapi dalam bentuk isyarat secara halus. Penolakan secara resmi dihindarkan untuk tidak menyinggung kehormatan negara pengirim. Contoh penolakan yang pernah terjadi yaitu penolakan Yunani pada tahun 1977, terhadap Mr. William Schaufelle sebagai calon duta besar Amerika Serikat karena ucapannya waktu dengar pendapat di Komite Luar Negeri Senat mengenai sengketa antara Yunani dan Turki tentang Laut Aegean. Penolakan Iran pada bulan Juni 1979 terhadap Calon Duta Besar Amerika 7 Serikat Walter Culter, yang dituduh mencampuri urusan dalam negeri Zaire waktu bertugas di negara tersebut.9 Berdasarkan Pasal 9 (1) Konvensi Wina 1961, deklarasi persona non grata tidak hanya dapat ditujukan kepada calon duta besar yang akan ditempatkan di negara penerima tetapi juga dapat ditujukan kepada duta besar dan staf perwakilan diplomatik yang telah berada di negara penerima dan sudah mulai menjalankan fungsinya. Sesuai praktik yang telah lama berlaku, pemerintah negara penerima dapat menyatakan seorang diplomat persona non grata dan sebagai akibatnya diplomat tersebut harus meninggalkan negara akreditasinya. Pernyataan persona non grata dikeluarkan oleh negara penerima bila keberadaan seorang diplomat tidak dapat lagi ditolelir sebagai akibat dari sikap atau perbuatannya yang tidak dapat diterima. Deklarasi persona non grata ini biasanya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatan-kegiatan dengan fasilitas perwakilan, melindungi orangorang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, melakukam penyelundupan atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat.10 Semenjak berlakunya Konvensi Wina 1961, spionase merupakan alasan yang paling umum dalam menyatakan seorang wakil diplomatik persona non grata atau meminta agar ia dipanggil pulang. Contoh yang paling sensasional yang terjadi pada 9 Ibid, hlm. 528. 10 Ibid, hlm. 533-534. 8 tahun 1971 adalah permintaan Pemerintah Inggris agar kedutaan Uni Soviet memulangkan 105 orang staf nya. Permintaan tersebut adalah sebagai kelanjutan peringatan Uni Soviet untuk mengurangi jumlah agen-agen KGB pada kantor-kantor diplomatik dan perdagangannya di London. Dalam Aide-Memoire yang disampaikan kepada Kuasa Usaha Kedutaan Besar dinyatakan bahwa meningkatnya kegiatankegiatan spionase para staf Kedutaan Besar Uni Soviet di Inggris telah merupakan ancaman langsung terhadap keamanan negara dan meminta nama-nama yang tercantum dalam memoire tersebut untuk meninggalkan inggris dalam waktu dua minggu. Para pejabat yang di persona non grata tersebut memang berangkat dalam batas waktu yang ditetapkan.11 Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa walaupun dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa negara penerima dapat menyatakan persona non grata terhadap wakil diplomatik negara pengirim tanpa harus memberikan penjelasan kepada negara pengirim. Namun dalam praktiknya, suatu negara selalu memiliki alasan tersendiri untuk menetapkan wakil diplomatik yang ditempatkan di negaranya sebagai persona non grata. Permasalahan muncul karena suatu negara selalu ingin tahu apa yang menjadi sebab wakil diplomatiknya dinyatakan sebagai persona non grata, padahal penetapan wakil diplomatik sebagai persona non grata merupakan kedaulatan suatu negara. Jika suatu negara merasa diperlakukan tidak adil atas tindakan persona non grata yang dilakukan oleh negara lain kepada wakil diplomatiknya, maka tidak jarang aksi 11Ibid, hlm. 534. 9 pembalasan serupa pun dilakukan oleh negara tersebut. persona non grata dan adanya aksi saling balas ini dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan diplomatik antara negara pengirim dan negara penerima. Sebagai contoh, kasus Venezuela dan Amerika Serikat, Pemerintah Amerika Serikat mengusir tiga diplomat asal Venezuela. Para diplomat tersebut diberi waktu 48 jam untuk meninggalkan Amerika Serikat. Hal ini merupakan balasan dari aksi serupa yang dilakukan Venezuela terhadap diplomat Amerika Serikat di Caracas pada 17 Februari 2014 lalu. Maduro menuduh, ketiga diplomat Amerika Serikat tersebut mendukung rencana oposisi untuk menggulingkannya, sehingga harus diusir.12 Persoalan diatas menunjukan bahwa ada tindakan kausalitas dalam penetapan wakil diplomatik sebagai persona non grata. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Praktik Persona Non Grata Terhadap Wakil Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961”

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: J Political Science > JX International law
J Political Science > JZ International relations
K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Lyse Nofriadi
Date Deposited: 27 Jan 2016 07:40
Last Modified: 27 Jan 2016 07:40
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/108

Actions (login required)

View Item View Item