PELAKSANAAN PEMBERIAN NAFKAH SEBAGAI AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA PADANG

Firdaus, Al (2022) PELAKSANAAN PEMBERIAN NAFKAH SEBAGAI AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA PADANG. Other thesis, UNIVERSITAS ANDALAS.

	Text (COVER DAN ABSTRAK) COVER DAN ABSTRAK.pdf - Published Version Download (286kB)
	Text (BAB I) BAB I.pdf - Published Version Download (421kB)
	Text (BAB AKHIR/PENUTUP) BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.pdf - Published Version Download (196kB)
	Text (DAFTAR PUSTAKA) DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version Download (286kB)
	Text (TESIS FULL) FULL TESIS.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (1MB)

Abstract

ABSTRAK Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 poin c, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban kepada mantan suami untuk mantan istrinya. Kewajiban tersebut berupa mut’ah, nafkah iddah, dan nafkah madhiyah. Putusan hakim sangat berpengaruh dalam menentukan besarnya pemberian nafkah yang akan diberikan untuk mantan istri serta anak sebelum sidang pengucapkan ikrar talak. Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, dapat diruskan permasalahan yang diteliti, yaitu : 1). Apa dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Padang dalam memerintahkan pemberian nafkah akibat cerai talak 2). Bagaimanakah pelaksanaan pemberian nafkah sebagai akibat putusnya perkawinan karena cerai talak. Dalam Penelitian penulis melakukan pendekatan Yuridis empiris. Penelitian yang penulis lakukan bersifat Deskriptif Analitis, pengumpulan data penelitian dengan cara wawancara dan studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan : Dasar Pertimbangan hakim dalam memerintahkan pemberian nafkah berdasarkan putusan adalah majelis hakim melihat dari kesanggupan dan kemampuan suami, apabila mantan istri (Penggugat Rekonvensi atau Termohon) meminta nafkah pasca cerai serta nafkah terhadap anak yang terlalu tinggi, sedangkan Pihak Tergugat Rekonvensi/Pemohon tidak sanggup untuk memenuhi hal tersebut maka hakim memiliki pertimbangan tersendiri tentang kemampuan dan kesanggupan suami yang mana hal ini sudah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 41 dan Pasal 80 ayat 4, Pasal 81 ayat 4, Pasal 149, Pasal 152, dan Pasal 160 KHI serta sejalan dengan firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 241. Pelaksanaan pemberian nafkah mantan istri akibat cerai talak dilaksanakan setelah suami membacakan ikrar talak atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Namun dalam prakteknya, banyak suami yang tidak mau membayarkan nafkah mantan istri di persidangan, sehingga hakim memberikan kebijakan dengan memerintahkan suami untuk membayarkan mut’ah, nafkah iddah, nafkah madhiyah serta nafkah anak sebelum pembacaan ikrar talak atau menunda sidang penyaksian ikrar talak bagi suami yang ingkar terhadap kewajibannya. Kebijakan tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan hak-hak mantan istri dan memberikan keadilan bagi istri yang ditalak oleh suaminya. Kata Kunci : Cerai Talak, Nafkah Paska Perceraian, Pelaksanaan Pengadilan Agama ABSTRAKCT In the Marriage Law Number 1 of 1974 Pasal 41 point c, the court may require the ex-husband to provide living expenses or determine an obligation to the ex-husband for his ex-wife. These obligations are in the form of mut'ah, iddah, and madhiyah. The judge's decision is very influential in determining the amount of support that will be given to the ex-wife before the trial for pronouncing the divorce pledge. Based on the background of the problems described above, the problems studied can be continued, namely: 1). What is the basis for the consideration of the Padang Religious Court judge in ordering the provision of a living due to talak divorce 2). How is the implementation of providing a living as a result of the breakup of a marriage due to divorce. In this research, the author uses an empirical juridical approach. The research that the author does is descriptive analytical, collecting research data by means of interviews and document studies. Data analysis was carried out in a qualitative way. Based on the results of the research and discussion, it can be concluded: The basic consideration of the judge in ordering the provision of a living based on the decision is the panel of judges looking at the ability and ability of the husband, if the ex-wife (Plaintiff for the Convention/Respondent) asks for a living after divorce and the mut'ah fee is too high, while The Conventional Defendant / Petitioner is unable to fulfill this matter, so the judge has his own consideration of the husband's ability and ability, which is regulated in Article 80 paragraph 4, Article 81 paragraph 4 and Article 160 KHI. The implementation of giving the ex-wife a living due to divorce is carried out after the husband reads the divorce pledge or after the decision has permanent legal force. However, in practice, many husbands do not want to pay their ex-wife's living expenses in court, so the judge gives a policy of ordering the husband to pay mut'ah, iddah, and madhiyah expenses before reading the divorce vows or delaying the trial of witnessing the divorce vows for husbands who disobeyed. his obligations. This policy is carried out to protect the rights of ex-wives and provide justice for wives who have been divorced by their husbands. Keywords : Divorce, Wife livelihood, Implementation of Syariah

Actions (login required)

View Item