PELAKSANAAN RESOSIALISASI WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KOTA SOLOK

RICKY, SEPTYANO (2015) PELAKSANAAN RESOSIALISASI WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KOTA SOLOK. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.

[img] Text
201508281515th_ricky septyano.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (446kB)

Abstract

Latar Belakang Masalah Setelah berakhirnya Perang Dunia ke II, terjadi reformasi mengenai sistem pemidanaan. Perlakuan terhadap pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman mendapat perhatilan khusus dari dunia internasional karena dalam perlakuan tersebut harus didasarkan kepada hak asasi manusia. Oleh karena itu, terciptalah Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners atau Peraturan Dasar Mengenai Perlakuan Terhadap Narapidana yang dikeluarkan oleh PBB pada Kongres Pertama PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar Hukum tahun 1955. Dalam peraturan ini, teori lama seperti teori retributif dan sebagainya memang lebih mudah untuk diterapkan karena jika terjadi pelanggaran hukum akan ditanggapi dari sisi negatifnya saja, sedangkan proses rehabilitasi atau resosialisasi tentu akan lebih sukar untuk diterima. Hal ini disebabkan karena paradigma masyarakat yang menganggap bahwa pelaku kejahatan yang menjalani proses resosialisasi telah selesai menjalani hukuman yang bersifat retributif. Hampir di seluruh dunia negara-negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia telah merubah cara maupun sistem perlakuan terhadap pelangar hukumnya. Terhadap perubahan sistem perlakuan tersebut untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang mendasar adalah meninjau kembali konsep-konsep yang menopang sistem lama dan menggantikanya denan sistem politik 2 kriminal dan sistem pembinaan narapidana yang baru dan rasional, konsepsional, konsisten, dan efisien dan efektif. Indonesia sebagai negara yang berkembang, telah melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk pembangunan di bidang hukum. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut tidak jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum, salah satu upaya penyelesaiannya adalah hukum pidana. Hukum pidana disebut sebagai ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir apabila sanksi yang lain tidak berdaya, dengan tujuan demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Penyelesaian perkara pidana berakhir pada saat hakim memutus perkara tersebut pada sidang pengadilan dengan penjatuhan vonis terhadap terdakwa. Putusan hakim dapat berbentuk: putusan bebas, putusan bebas dari pada segala tuntutan hukum, dan putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 191 – 193 KUHAP). Pasal 191 (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. 3 (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan. Pasal 192 (1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan. (2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Pasal 193 (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. (2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi terdapat alasan cukup untuk itu. b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. 4 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.1 Putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang berbunyi: Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Jika di tinjau dari hukum pidana pokok di atas maka salah satu jenis pidana yaitu pidana penjara. Sebagaimana kita ketahui sistem kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap terhukum (narapidana), di mana sistem ini adalah merupakan tujuan dari pidana penjara. Bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman (pidana), maka oleh pengadilan orang yang dijatuhi hukuman tadi 1 Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grakifa, Jakarta, hlm. 86. 5 itu kemudian dikirim ke penjara untuk melaksanakan dan menjalani hukumannya sampai habis masa pidananya.2 Dapat dijelaskan secara khusus bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemsayarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.3 Namun terpidana yang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan harus mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dan diperhatikan hak asasinya dalam rangka mengembalikan mereka sebagai warga masyarakat yang baik. Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana di indonesia, sebagai mana termaksud dalam Pasal 10 KUHP. Pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP terdiri dari : 1. Pidana Penjara seumur hidup, dan 2. Pidana Penjara selama waktu tertentu. Khusus untuk pidana penjara seumur hidup, seperti halnya dengan pidana mati pada dasarnya merupakan jenis pidana absolut. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka 2 A. Widiana Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV Amrico, Bandung 1988, hlm. 41. 3 P.A.F. Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 69. 6 waktu yang pasti (a definite period of time) , yaitu menjalani pidana sepanjang hidup seseorang di dunia ini.4 Menurut penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 berbunyi: “Sistem lembaga pemasyarakatan diselanggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan yang baik dan bertanggung jawab”. Oleh sebab itu lembaga pemasyarakatan berguna untuk membangun karakter dari narapida di dalam berbagai bentuk kejahatan yang telah di lakukan oleh narapida tersebut. Dalam pembentukan karakter di lembaga pemasyarakatan ada aturan aturan yang mengikat si narapidana agar menjadi warga yang bersifat aktif dalam menjalankan kehidupan di lingkungan sosial. Jika kita kaitkan dalam Peraturran yang lebih terperinci mengatur tentang pembinaan yaitu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan pada Pasal 1 ayat (1) bahwa pengertian dari pembinaan itu sendri adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani warga binaan. 4Dwidjaja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Reflika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 1. 7 Dalam bidang yang horizontal pemasyarakatan meliputi: 1. Bidang perlakuan dari orang-orang dewasa dan pemuda yang dengan keputusan Hakim ditempatkan di bawah pengawasan Pemerintah dengan pidana percobaan. 2. Bidang perlakuan dari orang-orang dewasa dan pemuda yang dengan keputusan Hakim ditempatkan di bawah perawatan/asuhan Pemerintah dengan pidana hilang kemerdekaan. 3. Bidang perlakuan dari pemuda-pemuda yang dengan keputusan Hakim ditempatkan di bawah pengawasan/perawatan/asuhan Pemerintah dengan tidak menjatuhkan pidana. Dalam bidang yang vertikal Pemasyarakatan meliputi: 1. Bidang keamanan, 2. Bidang kesehatan, 3. Bidang kesejahteraan sosial, 4. Bidang spiritual/keagaman, 5. Bidang pendidikan (perkembangan intelegensi dan ketangkasan). 6. Bidang produksi Mengenai proses pemasyarakatan sesungguhnya telah dilakukan oleh hakim yang mewakili masyarakat pada umumnya yang telah menentukan sifat dan lamanya proses pemasyarakatan. Karena kemampuanya sebagai manusia terbatas, maka apa yang telah ditentukannya tentang sifat dan lamanya proses pemasyarakatan bukan atau tidak merupakan hak yang mutlak. Ketidak mutlakan ini juga terdapat pada diri individu narapidana dan lain sebagainya yang bersangkutan. Ini mengandung arti bahwa narapidana 8 itu manusia biasa yang hidup bermasyarakat. Dengan itikad baik itu berarti narapidana memiliki potensi-potensi penyesuaian diri dalam lingkungan intergritas hidup dan kehidupannya. Pengingkaran terhadap cara-cara hidup dan berlaku di dalam intergritas hidup dan kehidupannya itu adalah cara ia pribadi menyesuaikan diri. Masyarakat di luar tidak membenarkan cara penyesuaian yang dilakukannya itu. Tetapi cara penyesuaian diri yang tidak disukai oleh masyarakat itu tidak terlepas dari masyarakat atau keadan masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan tujuan dari sistem pemasyarakatan bahwa dalam pembinaan narapidana bertujuan untuk meningkatkan kualitas warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan dan pemidanaan narapidana meliputi program pembinaan kegiatan khusus kepribadian dan kemandirian bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa, dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Sebelum menyelesaikan masa hukumannya, warga binaan di lembaga pemasyarakatan memiliki hak resosialisasi sebagaimana diatur 9 dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j, k, dan l Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan, yaitu: j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas. Asimilasi yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana di atur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan , Bahwa asimilasi di atur dalam Bagian Kesepuluh Pasal 36 – 40. Jika kita kaitakan di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 pada Pasal 14 ayat (1) poin k di atas, bebas bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan, dan juga di atur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Bagian Kesebelas Pasal 43 – 48. Kemudian yang dimaksud dengan “cuti menjelang bebas” pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 adalah cuti yang diberikan setelah narapidana menjalani lebih dari 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan. Namun dalam Peraturan Pemerintah 10 Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Bagian Keduabelas pada Pasal 49-50 mengatur tentang cuti menjelang bebas lebih bersifat khusus. Tiga hal tersebut merupakan ketentuan-ketentuan dalam menjalankan proses resosialisasi yang di terrima warga binaan. Proses resosialisasi bertujuan untuk mengubah watak serta tingkah laku warga binaan agar sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga ketika warga binaan tersebut bebas, ia akan cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan masyarakat umum seperti sedia kalanya. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Solok yang beralamat di Jln. Kapten Bahar Hamid, Kel. Laing merupakan sebuah Lembaga Pemasyarakatan yang bernaung di bawah Kementrian Hukum Dan HAM Wilayah Provinsi Sumatera Barat. Lembaga Pemasyarakatan Kota Solok merupakan lembaga pemasyarakatan tingkat daerah yang disebut Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B, yang mana Lembaga Kelas II B ini menampung warga binaan dalam Kota atau Kabupaten. Dalam hal pembinaan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Solok telah berkembang maju dan lebih baik tiap tahunnya, Pembinan warga binaan yang di lakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B kota Solok meliputi pembinaan tahap awal, tahap lanjutan. Pembinaan tahap awal ini memliki beberapa macam jenis pembinaan yang merupakan awal dari pembentukan kembali karakter warga binaan yang di lakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Solok seperti : 11 1. Pembinaan kesadaran beragama (IMTAQ) 2. Pembinaan kesadaan berbangsa dan bernegara 3. Pembinaan kemampuan intelektual 4. Pembinaan kesadaran hukum. Selanjutnya ada yang disebut pembinaan kepribadian lanjutan, program pembinaan ini merupakan pembinaan lanjutan kepribadian dari tahap awal. Adapun tujuan dari pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Solok adalah untuk : 1. Untuk mendukung usaha mandiri 2. Untuk mendukung usaha kecil 3. Keterampilan yang dikembangkan sesuai kemampuan masingmasing 4. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri, pertanian, perkebunan dengan teknologi madya atau tinggi. Setelah dua tahap pembinaan tadi telah terlaksana barulah tahap terakhir yang disebut pembinaan lanjutan bisa dijalankan. Pembinaan lanjutan ini di sebut dengan resosialisasi. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua warga binaan di lembaga pemasyarakatan mendapatakan hak-hak resosialisasi tersebut, seperti asimilasi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pihak yang bersedia untuk membina warga binaan tersebut di luar lembaga 12 pemasyarakatan serta anggapan buruk masyarakat terhadap status warga binaan yang belum menyelesaikan masa hukumannya.5 Berdasarkan uraian diatas penulis berminat dan berusaha melakukan pembahasan dalam proposal dengan judul “PELAKSANAAN RESOSIALISASI WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KOTA SOLOK”.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Lyse Nofriadi
Date Deposited: 05 Feb 2016 06:59
Last Modified: 05 Feb 2016 06:59
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/698

Actions (login required)

View Item View Item