IMPLEMENTASI PERAN INSPEKTORAT DALAMPENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN AGAM BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

ULIH, ADEWISESA (2016) IMPLEMENTASI PERAN INSPEKTORAT DALAMPENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN AGAM BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text (Skripsi Fulltext)
2178.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (480kB)

Abstract

Perubahan Paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah (otonomi daerah) di Indonesia dari pola sentralisasi menjadi pola yang terdesentralisasi membawa konsekuensi terhadap makin besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah disatu sisi, dan disisi lain pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara otonom. Otonomi daerah dengan asas desentralisasi memberi kewenangan dan kesempatan yang luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kewenangan yang luas membutuhkan pengawasan yang optimal, karena tanpa pengawasan terbuka peluang terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan, sehingga akan mengakibatkan kerugian keuangan negara, dan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat secara bertanggungjawab menurut prakarsa sendiri, serta berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perubahan paradigma pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dikukuhkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah1 Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi Undang-Undang. Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengedepankan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi luas, dimaksudkan bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak dan kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Disamping itu, daerah diberi keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi daerah bagi satu daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemberlakuan otonomi daerah sebagai bentuk pembagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, memberikan konsekwensi bagi tumbuh kembangnya kreativitas daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerah bersama peran aktif masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakatnya. Prinsip-prinsip tersebut di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dilakukan melalui fungsi-fungsi organik manajemen pemerintahan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi merupakan sarana yang harus ada dan dilaksanakan oleh manajemen secara profesional dan dalam rangka pencapaian sasaran tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Pemerintahan daerah pada hakekatnya adalah sub-sistem dari pemerintahan nasional dan secara implisit, pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Agar maksud penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, maka pengawasan sebagai instrumen dalam manajemen organisasi pemerintahan harus berjalan dan terlaksana secara optimal. Optimalisasi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selain untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Lord Acton menyatakan, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Dalam istilah ilmu hukum tata negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ini disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad.1 Sebagai contoh kasus korupsi Gubernur Kalimantan Timur, kasus korupsi Bupati Kutai Kertanegara, kasus korupsi Bupati Garut, kasus korupsi Walikota Medan, dan masih banyak contoh penyalahgunaan kewenangan lainnya yang mengakibatkan kerugian negara milyaran rupiah. Data yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) semester I (Januari s/d Juni) 2006, memperlihatkan bahwa penyimpangan terbesar terjadi pada APBD, yaitu sebesar 33,57%, sektor pertanahan dan perumahan 12,14%, Pilkada/Pemilu 7,14%, pendidikan 6,43%, sektor energi/listrik 5%. Selanjutnya, data juga memperlihatkan bahwa Pemda adalah lembaga negara tanpa tahun). pelaku korupsi terbesar, yaitu 40,71%, DPRD, 20,71%, dan diurutan ketiga adalah BUMN/BUMD 6,43.2 KKN merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime)3 Akibat KKN, tidak hanya menghambat terwujudnya kesejahteraan masyarakat tetapi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara tetapi juga telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial (economic and social right) masyarakat secara luas. KKN adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. KKN terjadi karena penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Terjadinya penyalahgunaan kewenangan (kekuasaan) pemerintahan daerah dalam bentuk KKN, yang dilakukan oleh para pimpinan daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bukti lemahnya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Akibat yang timbul atas penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang tersebut, tidak hanya mengakibatkan kerugian keuangan negara, akan tetapi terhambatnya pelaksanaan pembangunan, yang berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pada setiap lini pemerintahan dibentuk lembaga pengawasan internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan fungsi pengawasan, yang dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah. Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah lembaga yang dibentuk dan secara inheren merupakan bagian dari sistem pemerintahan, yang memiliki tugas pokok dan fungsi dibidang pengawasan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan amanat dari ketentuan Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan :4 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: a. Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah; b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan-perundang- undangan. Ketentuan Pasal 218 UU Nomor 32 Tahun 2004 ini, dijabar lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Substansi PP 79 Tahun 2005 meliputi pembinaan dan pengawasan. Yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, secara lebih teknis dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah berjalan secara efisien dan efektf sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Artinya pengawasan sebagai salah satu upaya untuk membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa.5 Sehingga pemerintahan dapat terselenggara sesuai dengan ketentuan hukum yang belaku. Selain itu, pengawasan merupakan upaya preventif untuk mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan berupa KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh lembaga pengawasan. Lembaga pengawasan terdiri atas lembaga pengawasan internal dan lembaga pengawasan eksternal. Lembaga pengawasan internal terdiri atas BPKP, Itjen Departemen, LPND, dan Bawasda/Inspektorat Propinsi/Kabupaten. Sementara lembaga pengawasan eksternal adalah BPK, dan DPR. Selain kedua bentuk pengawasan tersebut, juga dikenal pengawasan masyarakat (Wasmas) atau social control. Kedua lembaga pengawasan tersebut memiliki fungsi yang strategis dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Ismail Mohamat, seperti yang dikutip oleh Mardiasmo6 menyatakan peran dan fungsi lembaga pengawasan eksternal (BPK) dan internal (APIP) meskipun sangat berbeda, tetapi keduanya saling mengisi dan melengkapi. Keduanya merupakan unsur-unsur penting yang diperlukan dan tidak saling menggantikan untuk terselenggaranya ” good governance ” dalam manajemen pemerintahan negara. Lembaga pengawasan internal pemerintah diperlukan untuk mendorong terselenggaranya manajemen pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien pada tiap tingkatan pemerintahan, mulai dari Presiden, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), Gubernur/Bupati/Walikota. Pengawasan internal tidak hanya dilakukan pada saat akhir proses manajemen saja, tetapi berada pada setiap tingkatan proses manajemen. Perubahan paradigma pengawasan internal yang telah meluas dari sekedar ”watchdog ” (menemukan penyimpangan) ke posisi yang lebih luas yaitu pada efektivitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan pengawasan ke arah pemberian nilai tambah yang optimal. Lembaga pengawasan internal pemerintah dalam lingkungan pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota. Inspektorat adalah lembaga perangkat daerah yang mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengawasan dalam wilayah dan jajaran pemerintah, yang secara organisatoris dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bertanggungjawab kepada kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Dengan kedudukan Inspektorat yang demikian, maka independensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan akan sulit dilakukan. Karena dengan posisi yang demikian, pengaruh dan intervensi dari kepala daerah tidak dapat dihindari, sehingga terkesan bahwa inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan perangkat daerah yang dibentuk untuk melengkapi syarat formal kelembagaan perangkat daerah, yang dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan terkesan lebih melindungi dan mengamankan kebijakan dan kepentingan pribadi kepala daerah daripada melaksanakan pemerintahan daerah dibidang pengawasan. Anggapan ini barangkali ada benarnya, karena banyak penyimpangan dan kejanggalan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terindikasi merugikan kepentingan masyarakat luas belum (tidak) tertangani dan teratasi dengan baik. Hal itu menunjukkan, bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum terlaksana dengan optimal. Optimalisasi pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum terlaksana sebagaimana seharusnya, selain karena faktor-faktor tersebut diatas, juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya faktor ketersedian sumber daya manusia, faktor anggaran, dan faktor komitmen (”political will ”) Gubernur, Bupati/Walikota selaku atasan langsung yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Komitmen kepala daerah sangat penting dan menentukan untuk mewujudkan optimalisasi fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena secara organisatoris inspektorat Propinsi, Kabupaten/Kota adalah lembaga perangkat daerah yang dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan bertanggungjawab kepada kepala daerah. Sehingga akan sulit bagi Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dengan optimal apabila tidak didukung oleh kepala daerah. Kendala-kendala pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diuraikan di atas juga terjadi dan dialami oleh Inspektorat Kabupaten Agam, sehingga menghambat dan menyulitkan Inspektorat Kabupaten Agam untuk melaksanakan pengawasan dengan optimal. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan melalui pemeriksaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). SKPD adalah perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di daerah yang menjadi obyek pemeriksaan lembaga pengawasan internal. Obyek Pemeriksaan (Obrik) Inspektorat Provinsi meliputi semua SKPD provinsi yang terdiri dari Sekretariat, Dinas, Badan, Kantor, dan Lembaga Teknis Daerah Propinsi, serta beberapa lembaga perangkat daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan satuan kerja/obyek pemeriksaan Inspektorat Kabupaten/Kota adalah SKPD Kabupaten/Kota yang terdiri dari Sekretariat, Dinas, Badan, Kantor, dan Lembaga Teknis Daerah, serta desa. Ruang lingkup pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi administrasi umum pemerintahan, dan urusan pemerintahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 32 tahun 2004 jo Pasal 2 Permendagri Nomor 23 Tahun 2007. Mengingat semakin gencarnya tuntutan atas penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang besih, transparan dan akuntabel maka sudah saatnya peran pengawasan ditingkatkan dan diberdayakan sehingga penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel tidak hanya sebatas wacana dan cita-cita saja, akan tetapi sungguh-sungguh terwujud guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Persoalannya, bukankah Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan lembaga perangkat daerah yang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sangat tergantung dengan komitmen kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Sementara pada kenyataannya hampir semua kegiatan pemerintahan terkait dengan ”personal interes” kepala daerah.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: mrs Rahmadeli rahmadeli
Date Deposited: 30 Apr 2016 08:53
Last Modified: 30 Apr 2016 08:53
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/6124

Actions (login required)

View Item View Item