PERAN ASAMHUMAT DALAMMENINGKATKAN DAYA GUNA BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI SEBAGAI PAKAN UNGGAS

MIRNAWATI, MIRNAWATI (2016) PERAN ASAMHUMAT DALAMMENINGKATKAN DAYA GUNA BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI SEBAGAI PAKAN UNGGAS. Doctoral thesis, Universitas Andalas.

[img] Text (Disertasi Fulltext)
2175.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (578kB)

Abstract

Di Indonesia limbah pertanian dan limbah industri pertanian seperti ampas kelapa, limbah coklat, ampas tahu, onggok dan bungkil inti sawit akan tersedia secara berlimpah seiring dengan berkembangnya jumlah usaha pertanian dan industri. Potensi limbah ini sangat besar untuk dijadikan bahan pakan alternatif, namun nilai manfaatnya bagi ternak masih rendah. Salah satu limbah yang sangat berpotensi digunakan adalah limbah dari pengolahan minyak sawit berupa bungkil inti sawit (BIS). Bungkil inti sawit adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak. Produksi minyak sawit terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut PTPN (2009) laju pertumbuhan penanaman kelapa sawit meningkat setiap tahunnya sekitar 18%. Pada tahun 2008 terdapat areal perkebunan kelapa sawit seluas 7,0 juta Ha dengan produksi mencapai 19,2 juta ton. Tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 7,3 juta Ha dengan produksi 19,4 juta ton yang akan menghasilkan BIS sebesar 15.520 ton per tahunnya. Kandungan gizi BIS sangat bervariasi yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya sumber, cara pengolahan dan ketepatan analisis dari BIS itu sendiri. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa kandungan gizi BIS adalah sebagai berikut: Chin (2002) menyatakan bahwa kandungan BIS adalah sebagai berikut: Bahan kering 89%, protein kasar 15,3%, lemak kasar 2,9%, serat kasar 14,3%, Ca 0,20%, P 0,54% % dan Cu 34 ppm. Sebelumnya Sabrina (2001) mendapatkan kandungan gizi BIS sebagai berikut: protein kasar 15,43%, lemak 7,71%, serat kasar 15,47%-20.00%, Ca 0,43%, P 0,86% dan Cu 21,86 ppm. Harnentis (2005) menyatakan bahwa BIS memiliki kandungan serat yang tinggi (74,66%) yang terbagi atas fraksi sellulosa (34,10%), dan hemisellulosa (28,15%). Mirnawati dkk. 2008 mendapatkan hasil sebagai berikut : bahan kering 87,30%, protein kasar 16,07%, serat kasar 21,30%, lemak kasar 8,23%, Ca 0,27% dan P 0,94% serta Cu 48,04 ppm. Walaupun kandungan protein kasar BIS cukup tinggi tetapi pemanfaatannya dalam ransum unggas masih rendah yaitu hanya 10% dalam ransum broiler (Rizal, 2000) dan itik (Supriadi, 1997). Hal ini disebabkan kualitasnya yang rendah (Garcia et al., 1999; Perez et al., 2000; Odunsei et al., 2002; dan Ezieshi and Olomu, 2004). Rendahnya kualitas BIS ini diakibatkan oleh tingginya kandungan serat kasar dan terdapatnya logam Cu yang dapat bersifat toksik pada ternak. Tingginya serat kasar pada BIS akan menurunkan penggunaan energi dan melindungi molekul protein sehingga sukar diuraikan oleh protease unggas. Sedangkan Cu yang tinggi pada BIS akan mengikat senyawa protein (asam amino yang mengandung sulfur) yang menyebabkan nilai kecernaan protein BIS rendah (Babjee, 1989). Rendahnya kualitas BIS juga disebabkan karena keseimbangan asam amino yang rendah sehingga bersifat sebagai faktor pembatas (Onwudike, 1986). Untuk meningkatkan nilai guna dari BIS telah banyak dilakukan penelitian menggunakan metode fermentasi dengan memanfaatkan mikroorganisme yang bersifat sellulolitik seperti Neurosphora sitophila, Trichoderma harzianum, Aspergillus niger dan Penicillium sp. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk memberikan nilai tambah pada BIS. Sabrina dkk. (2001) melakukan pengolahan BIS dengan kapang Trichoderma harzianum, yang memberikan peningkatan kandungan protein (24,75%) dan penurunan serat kasar (19,07%) yang cukup tinggi dibanding dengan kapang Rhizopus sp, dan Neurosphora sitophila. Ditambahkan juga bahwa kandungan Cu tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata setelah fermentasi. Harnentis dkk (2005) melakukan pengolahan BIS dengan Penicillium sp yang memberikan hasil yang terbaik dengan peningkatan protein kasar sekitar 44,58% dan penurunan serat kasar sekitar 34,16%, dibanding dengan kapang Trichoderma harzianum dan Aspergillus niger. Supriyati dkk. (1998) mendapatkan hasil penelitiannya tentang pengolahan BIS dengan Aspergillus niger memberikan peningkatan protein yang cukup tinggi yaitu 52,04% dan penurunan serat kasar sekitar 42,03%. Mirnawati dkk. (2010) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa BIS yang difermentasi dengan Aspergillus niger memberikan peningkatan protein kasar 44,37% yaitu dari 16,07% menjadi 23,20% dan penurunan serat kasar 50,28% yaitu dari 21,30% menjadi 10,42% Dari hasil yang diperoleh peneliti di atas ternyata peningkatan protein kasar dan penurunan serat kasar setelah fermentasi belum dapat memberikan hasil yang maksimal pada penggunaan BIS dalam ransum broiler. Hal ini disebabkan kandungan Cu BIS setelah fermentasi masih cukup tinggi atau memperlihatkan penurunan yang tidak signifikan dibanding sebelum fermentasi. Dilain pihak Cu menjadi faktor pembatas pada proses fermentasi (Vidal, 2001). Untuk itu pada penelitian ini diperkenalkan asam humat dalam pengolahan BIS, agar diperoleh kondisi yang optimal untuk meningkatkan kualitas BIS. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menurunkan konsentrasi Cu di dalam BIS diantaranya perendaman dengan asam asetat (Harnentis dkk. 2005) dan perendaman dengan air (Sabrina dkk. 2001). Namun hasil yang optimal belum juga tercapai karena mineral Cu tetap ada di dalam BIS setelah perendaman maupun sesudah fermentasi, yang memberikan hasil berbeda tidak nyata (Sabrina, 2001). Hal ini disebabkan kedua zat ini tidak mampu mengikat mineral Cu dari BIS. Untuk itu perlu dicari zat/senyawa yang mampu menurunkan logam Cu dalam BIS yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan asam humat. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam ”Humat Substance” yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, utamanya bahan nabati yang terdapat dalam batu bara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan Kingman, 1973). Asam humat juga efektif dalam mengikat hara-hara mikro, seperti Cu, Zn dan Mn (Tan, 1998). Fraksi asam humat dapat berinteraksi dengan logam melalui pembentukan senyawa khelat (Tate and Theng, 1980). Asam humat telah umum digunakan dalam bidang pertanian untuk memperbaiki struktur tanah. Prasetyo dkk. (2007) melaporkan dari hasil penelitiannya bahwa pemberian asam humat sampai takaran 500 ppm dapat menekan kadar Fe tanah sampai mendekati kadar yang tidak beracun bagi tanaman. Dalam bidang peternakan terutama dalam pengolahan dan bioteknologi bahan pakan asam humat belum umum digunakan. Selain itu asam humat juga dapat menyediakan unsur seperti N, P dan S didalam tanah serta energi bagi aktifitas mikroorganisme (Stevenson, 1994). Ditambahkan oleh Enviromate TM (2002) bahwa asam humat juga digunakan sebagai sumber mineral dan zat organik yang berperan penting dalam kehidupan mikroorganisme. Teori ini berkemungkinan dapat digunakan dalam proses fermentasi BIS karena proses fermentasi juga mengaktifkan pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan, sedangkan mikroorganisme seperti kapang juga membutuhkan unsur-unsur hara seperti N, S, dan P di dalam pertumbuhannya (Harjo et al., 1989 dan Fardiaz, 1992). Kucukersan (2005) menyatakan bahwa kegunaan asam humat dalam makanan ternak adalah dapat memberikan sejumlah keuntungan untuk kesehatan dan pertumbuhan ternak diantaranya asam humat memiliki kemampuan memetabolis karbohidrat dan protein melalui katalitik. Ditambahkan juga bahwa jika asam humat ditambahkan ke dalam makanan ternak maka logam berat, nitrat dan insektisida dapat diserap dan dikeluarkan. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian pemanfaatan asam humat dalam ransum broiler untuk merangsang pertumbuhan (Bailkey et al., 1996; Parks et al., 1996; Eren et al., 2000 and Rath et al., 2006). Penambahan asam humat dalam air minum ternyata dapat menekan angka kematian sebesar 3- 5%, meningkatkan pertambahan bobot badan dan effisiensi ransum pada ayam broiler (Kompiang, 2006). Hal ini disebabkan asam humat dapat menstimulir pertumbuhan mikroba dalam usus (Huck et al., 1991; Eren et al., 2000; Yoruk et al., 2004 ). Untuk itu pemanfaatan Bungkil Inti Sawit (BIS) sebagai pakan unggas perlu diteliti karena jumlah perkebunan sawit setiap tahun terus meningkat sebanyak 18% (FAO., 2002) dan menghasilkan limbah berupa BIS sebanyak 4% dari produksi minyak sawit (Utomo, 2001) sehingga memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Setelah dilakukan pengolahan, BIS diharapkan dapat menggantikan bungkil kedelai (Dairo and Fasuyi, 2007) dan dapat menekan biaya ransum sekaligus dapat meningkatkan pendapatan peternak.

Item Type: Thesis (Doctoral)
Subjects: S Agriculture > SF Animal culture
Divisions: Pascasarjana (Disertasi)
Depositing User: mrs Rahmadeli rahmadeli
Date Deposited: 30 Apr 2016 08:49
Last Modified: 30 Apr 2016 08:49
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/6123

Actions (login required)

View Item View Item