PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH PUSAKO KAUM JAMBAK ANTARA KAUMJAMBAK DENGAN KAUM SIPANJANG ( STUDI DI KELURAHAN BANDAR BUAT KECAMATAN LUBUK KILANGAN )

Fetri, Yumorensih (2016) PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH PUSAKO KAUM JAMBAK ANTARA KAUMJAMBAK DENGAN KAUM SIPANJANG ( STUDI DI KELURAHAN BANDAR BUAT KECAMATAN LUBUK KILANGAN ). Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text (Skripsi Fulltext)
2172.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (346kB)

Abstract

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Hal ini disebabkan karena manusia hidup saling membutuhkan dan saling mengisi sehingga dapat mewujudkan kehidupan bersama. Selain membutuhkan manusia lain, manusia juga membutuhkan tanah tidak hanya ketika manusia tersebut hidup, tetapi ketika manusia meninggal dunia. Tanah adalah permukaan bumi dengan segala isi yang ada diatas dan di dalamnya, tempat manusia dan anggota masyarakat hidup dan memenuhi kehidupannya.1 Dalam hukum adat, tanah mempunyai kedudukan yang penting yaitu tempat tinggal keluarga dan masyarakat, tempat memberikan penghidupan karena manusia melakukan segala kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di atas tanah. Selain itu tanah juga berfungsi sebagai tempat dimana para warga yang meninggal dikuburkan dan sesuai dengan kepercayaan merupakan tempat tinggal dewa-dewa pelindung serta tempat roh para leluhur bersemayam.2 Hubungan erat antara masyarakat dengan tanah yang didudukinya bersumber pada pandangan religio magis. Pandangan ini menyebabkan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai, memanfaatkan ,dan memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan diatas tanah. Selain itu, masyarakat mempunyai hak untuk berburu terhadap binatang-binatang di atas tanah tersebut.3 hak masyarakat atas tanah ini disebut hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat ditemukan dalam Pasal 3 Undang- undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria menyebutkan sebagai berikut “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar hukum agama”. Hak ulayat memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat hukum adat. Hal ini mengandung maksud bahwa hak ulayat masih ada dan akan tetap ada selama masyarakat hukum adat masih ada. Di Minangkabau hak masyarakat hukum adat atas tanah dikenal sebagai hak ulayat. Adat di Minangkabau sangat menghormati kepemilikan hak ulayat. Setiap masyarakat yang dapat menunjukkan kepemilikannya terhadap suatu tanah ulayat dapat digolongkan sebagai masyarakat asli Minang, namun bagi masyarakat yang tidak dapat menunjukkan kepemilikannya terhadap suatu tanah ulayat maka masyarakat tersebut digolongkan sebagai pendatang. Pemakaian istilah hak ulayat atau ulayat bagi orang Minangkabau ditujukan untuk menyatakan tanah milik, baik milik pribadi maupun milik bersama.4 tanah milik kaum biasa disebut dengan tanah ulayat kaum, tanah milik nagari biasa disebut dengan tanah ulayat nagari, dan tanah milik suku biasa disebut dengan tanah ulayat suku. Tanah ulayat di Minangkabau diakui oleh syarak dan undang-undang. Pangakuan tanah ulayat ini oleh syarak disepakati oleh para ulama di Minangkabau. Tanah ulayat di Minangkabau diqiyaskan kepada tanah di kaybar. Setelah perang kaybar, umar bin khattab menemukan sebidang tanah yang dianggapnya paling bernilai. Kemudian umar minta pendapat kepada nabi muhammad saw mengenai tanah tersebut dan nabi menjawab “ tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”.5 Tanah ulayat merupakan salah satu pusako tinggi kaum di Minangkabau.6 masyarakat Minangkabau menggunakan kata pusako untuk segala kekayaan materi atau harta benda seperti, hutan, tanah, sawah, ladang, tambak, rumah, pemakaman, perhiasan, uang, balai adat, mesjid ,dan sebagainya. Pusako dibagi atas dua, yaitu pusako tinggi dan pusako randah. Pusako randah adalah segala harta dari hasil usaha orang tua (Bapak dan Ibu) selama berumah tangga dan harta lain yang diperbolehkan bukan dari pusako tinggi. Pusako tinggi adalah harta yang telah ada sebelum generasi saat ini. Generasi saat ini menikmati keberadaan pusako tinggi secara bersama dan diwarisi secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Pusako tinggi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tanah dan materi lain yang berhubungan dengan tanah. Tanah seperti sawah, mesjid, dan pasar. Materi selain tanah seperti emas.7 Tanah ulayat terdiri dari tanah ulayat nagari, tanah ulayat rajo, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum. Tanah ulayat kaum merupakan Tanah pusako tinggi. Tanah pusako tinggi dimiliki oleh anggota kaum secara bersama-sama yang diwarisi secara turun temurun dari ninik moyang, namun pengawasannya dilakukan oleh mamak kepala waris. Mamak kepala waris hanya bertugas menjaga Tanah pusako tinggi tersebut. Pada kaum Jambak di Bandar Buat tanah ulayat kaum ini disebut dengan Tanah pusako. Tanah pusako kaum Jambak ini telah diolah dan didirikan bangunan diatasnya. Tanah pusako tidak boleh dijual maupun digadaikan, namun dalam hal keadaan mendesak tanah pusako baru dapat digadaikan. Untuk dapat menggadaikan tanah pusako harus ada kesepakatan dari kesepakatan dari ahli waris yang bersangkutan. Begitu pula dengan penebusan tanah pusako yang telah jatuh tempo. Untuk menebus tanah pusako harus ada kesepakatan dari seluruh ahli waris dan mamak kepala waris sebagai penguasa tanah pusako yang mengatur pemanfaatan tanah pusako tersebut. Selain kesepakatan dari seluruh anggota kaum sebagai ahli waris tanah pusako, kesepakatan dengan pihak penerima gadai juga harus diperoleh. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kaum Jambak dan Kaum Sipanjang di Bandar Buat. Uraian di atas menjadi dasar bagi penulis untuk memfokuskan penelitian pada “ Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah pusako Kaum Jambak Antara Kaum Jambak Dengan Kaum Sipanjang ( Studi di Kelurahan Bandar Buat Kecamatan Lubuk Kilangan) “.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: mrs Rahmadeli rahmadeli
Date Deposited: 30 Apr 2016 08:42
Last Modified: 30 Apr 2016 08:42
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/6119

Actions (login required)

View Item View Item