Khairani, Sondang (2014) Kajian Switch Therapy Antibiotik pada Pasien Pneumonia di Smf Ilmu Penyakit Dalam dan Smf Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. S2 thesis, Universitas Andalas.
![]() |
Text (Tesis Full Teks)
S2 Farmasi 2014 Sondang khairani 1121213116 Ok-.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (29MB) |
Abstract
Infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura, yang berlangsung selama 7 sampai 14 hari (Depkes RI, 2002). Secara umum penyebab infeksi saluran pernafasan akut adalah berbagai organisme, namun yang terbanyak akibat infeksi adalah virus dan bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi saluran nafas akut antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun lingkungan, serta rendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelola sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara. Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat (Depkes RI, 2005). Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme. Infeksi paru terjadi karena mikroorganisme merusak permukaan epitel saluran pernafasan. Mikroorganisme mencapai permukaan saluran pernafasan melalui tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang paling berkolonisasi, inhalasi aerosol yang infektikus dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal (Price, 2002). Antibiotik yang digunakan sebagai terapi untuk infeksi memerlukan perhatian khusus karena antibiotik yang digunakan secara tidak tepat dan tidak efektif akan mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai. Selain itu, juga dapat mengakibatkan terjadinya resistensi patogen terhadap antibiotik. Akibat resistensi ini, dibutuhkan antibiotik baru untuk mengatasi infeksi yang lama (Dipiro et al, 2009). Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menilai keefektivan penggunaan obat. Efektifivitas obat dapat dilihat dari adanya perbaikan klinis seperti perbaikan temperatur dan leukosit. Jika setelah penggunaan antibiotik tidak menunjukkan perbaikan klinis, maka dapat diartikan antibiotik yang digunakan tidak efektif (Dipiro et al, 2009). Keutamaan pemberian obat secara suntikan ialah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, muntah-muntah, dan sangat berguna dalam keadaan darurat (Ganiswarna, 2007). Switch therapy dilakukan apabila keadaan pasien mampu menerima sediaan oral, pergantian antibiotik ditetapkan sebagai sebuah pergantian dari sediaan intravena ke oral (Waagsbo et al, 2008). Perubahan terapi intravena ke oral biasanya terjadi dalam 2-3 hari setelah penyuntikan (Mertz et al, 2009). Perubahan ini dapat menghemat biaya pengobatan, mempersingkat lama rawat inap (Hamilton & Miller, 1996). Memberikan rasa nyaman serta bebas bergerak dan meminimalisir resiko kerugian dari terapi intravena (Anaizi, 2011). Kriteria untuk melakukan switch therapy antibiotik yang dikenal dengan Intravenous Antibiotik Oral Switch Therapy (IAOST) Protocol telah diterapkan di Nottingham University Hospital (Clarkson et al, 2010). Salah satu kriteria switch therapy yang menjadi perhatian adalah tanda-tanda sepsis. Sepsis atau septikemia merupakan adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain (Dorland, 2002). Manifestasi klinis septikemia berupa reaksi inflamasi sistemik, yaitu demam yang tinggi, nadi yang meningkat dan frekuensi pernapasan meningkat (Dipiro et al, 2009). Penelitian dilakukan secara longitudinal prospektif, dengan pasien rawat inap di SMF Ilmu Penyakit Dalam dan SMF Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang selama September hingga November 2013, analisis data secara deskriptif dan persentase ketepatan switch therapy antibiotik. Jumlah pasien yang diteliti adalah 49 pasien, pasien di SMF Ilmu Penyakit Dalam dirawat sebanyak 41 orang (84%), dan 8 pasien dirawat di SMF Paru (16%). Berdasarkan literatur penggunaan antibiotik pada program switch intravena ke oral (Cunha, 2008), didapatkan data 17 pasien (35%) mendapatkan pergantian antibiotik intravena ke oral sudah tepat, dan didapatkan data 32 pasien (65%) mendapatkan pergantian antibiotik intravena ke oral yang belum tepat. Berdasarkan kriteria pergantian terapi intravena ke oral oleh Kepmenkes 2011, beberapa diantaranya menentukan bahwa seorang pasien melanjutkan terapi intravena atau mengganti dengan terapi oral, apabila setelah 24-48 jam dengan kondisi klinis pasien membaik, tidak ada gangguan fungsi pencernaan, kesadaran baik, tidak demam (suhu >36°C dan <38°C), disertai tidak lebih dari satu kriteria berikut nadi >90 kali/menit, pernapasan >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg, tekanan darah tidak stabil, leukosit <4.000 sel/dL atau >12.000 sel/dL (tidak ada neutropeni). Pasien tepat kriteria pergantian intravena ke oral dan tepat pemilihan jenis antibiotik sebanyak 12 pasien, dan tepat pemilihan jenis antibiotik tetapi tidak memenuhi kriteria pergantian terapi intravena ke oral sebanyak 5 pasien. Terdapat 23 pasien memenuhi kriteria pergantian terapi intravena ke oral tidak tepat dalam pemilihan jenis antibiotik, dan tidak memenuhi kriteria pergantian terapi intravena ke oral serta tidak tepat dalam pemilihan jenis antibiotik yang digunakan sebanyak 9 pasien. Kajian switch therapy antibiotik pada pasien pneumonia yang menggunakan pergantian antibiotik intravena ke oral yang dilakukan pada penelitian ini meliputi ketepatan pemilihan jenis antibiotik, ketepatan waktu pemberian obat, dan ketepatan switch therapy antibiotik. Antibiotik intravena yang digunakan pada pasien pneumonia ini secara keseluruhan adalah seftriakson injeksi, dan antibiotik oral yang digunakan adalah siprofloksasin 12 pasien, levofloksasin 5 pasien, azitromisin 7 pasien, amoksisilin asam klavulanat 1 pasien, sefadroksil 1 pasien, sefiksim sebanyak 23 pasien. Seharusnya pada pasien yang mendapatkan terapi intravena seftriakson, untuk antibiotik oral diberikan golongan fluoroquinolon seperti siprofloksasin, levofloksasin, ofloksasin (Cunha, 2008). Waktu pergantian terapi intravena ke oral minimal hari ke tiga rawatan dan maksimal hari ke delapan rawatan.
Item Type: | Thesis (S2) |
---|---|
Supervisors: | Dr. H. M. Husni Muchtar, MS DEA., Apt.; Hansen Nasif, S.Si., Sp. FRS., Apt. |
Subjects: | R Medicine > RS Pharmacy and materia medica |
Divisions: | Fakultas Farmasi > S2 Farmasi |
Depositing User: | Ms Dian Budiarti |
Date Deposited: | 20 Oct 2025 06:59 |
Last Modified: | 20 Oct 2025 06:59 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/512716 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |