PENAHANAN TERHADAP TERPIDANA MATI OLEH JAKSA DITINJAU DARI JANGKA WAKTU EKSEKUSI

RIADHI, HAFIZ FADILLAH (2015) PENAHANAN TERHADAP TERPIDANA MATI OLEH JAKSA DITINJAU DARI JANGKA WAKTU EKSEKUSI. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text (Skripsi Full Text)
1188.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, hal itu tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan ciri khas Negara Indonesia sebagai Negara Hukum itu adalah sebagai berikut :1 1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuasaan apapun juga. 3. Legalitas dalam arti segala bentuknya. Hal ini mengandung arti bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh negara maupun warga Negara Indonesia harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hukum berperan sebagai pengatur, pengawas agar terciptanya suatu ketertiban, keamanan, dan keadilan serta kepastian hukum. Dalam mewujudkannya bagi yang melanggar aturan atau norma-norma hukum yang berlaku akan mendapat sanksi dari pemerintah melalui para penegak hukum. Sanksi tersebut dapat berupa hukuman. Hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan 1 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hlm. 3 perbuatan pelanggaran yang dilakukan dan juga harus sesuai dengan aturan yang berlaku, begitu pula halnya dengan hukum pidana. Dalam hukum pidana kita mengenal apa yang namanya pidana dan pemidanaan, dimana pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.2 Dan pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan. Penjatuhan pidana atau yang kita kenal sebagai pemidanaan di suatu negara selalu menjadi sorotan yang serius karena mencerminkan penegakan hukum dalam suatu negara, baik dalam hal budaya hukum, perlindungan hak asasi manusia, maupun harkat dan martabat manusia. Jenis-jenis pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdiri atas: 1. Pidana Pokok : a. Pidana Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan : a. Pencabutan hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu 2Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 24 c. Pengumuman putusan hakim Sesuai dengan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana salah satu pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan kejahatan/tindak pidana adalah pidana mati. Pidana mati atau hukuman mati merupakan hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat atau paling maksimal yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatanya. Berdasarkan Pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok, berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10 KUHP. Pidana mati juga merupakan bentuk penyeragan terhadap hak hidup seseorang. Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.3 Dengan kelemahan dan keberatan pidana mati tersebut maka pidana mati tidak dapat dijatuhkan dengan semena-mena kepada terpidana dikarenakan pidana ini merupakan pidana yang paling berat hukumannya. Dalam hukum pidana umum pengaturan tentang pidana mati terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 3 Adam Chazawi, Op.cit., hlm. 29 1. Pasal 104 (makar tehadap Presiden dan Wakil Presiden), 2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan ini jadi dilakukan atau berperang) 3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang) 4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) 5. Pasal 340 (pembunuhan berancana) 6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) 7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) 8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian) Pidana mati juga dikenal di dalam aturan hukum pidana khusus, seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan lain-lain. Pengaturan yang mengatur proses pelaksanaan eksekusi pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan umum maupun milliter sesuai dengan ketentuan di atas diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/ Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer dan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Pelaksanaan pidana mati sesuai Pasal 11 KUHP yang dilaksanakan oleh algojo di tempat tiang gantungan/digantung telah ditiadakan oleh aturan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/ Tahun 1964 yang berbunyi, “ Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.” Berdasarkan isi pasal di atas terpidana dieksekusi dengan ditembak sampai mati. Sebagai penanggungjawab eksekusi dari pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah kejaksaan, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/ Tahun 1964 yang berbunyi, “Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam pasal 2, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertangungjawab untuk pelaksanaanya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.” Undang-Undang ini juga mengatur tentang penahanan terhadap terpidana mati yaitu Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/ Tahun 1964 yang menyatakan, “Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam pasal 4.” Namun, jika melihat ketentuan Pasal 5 di atas, terbuka peluang terpidana mati menjalankan penahanan sampai betahun-tahun tanpa adanya kejelasan kapan ia akan dieksekusi, karena dalam Pasal 5 di atas tidak diatur mengenai batasan waktu penahanan terhadap terpidana mati. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah fakta yang terkait dengan penahanan terhadap terpidana mati sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. Dalam Prakteknya yang saya perhatikan, beberapa kasus baik pidana umum maupun pidana khusus, terpidana mati selalu ditahan dalam penjara setelah vonis mati dijatuhkan sampai eksekusi dijalankan oleh kejaksaan terhadapnya dan terpidana mati bisa ditahan dalam penjara sampai bertahun- tahun guna menunggu eksekusi mati. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Edi Alharison terhadap warga negara Jepang Tomoko Ishizawa di Payakumbuh. Kasus ini berujung pada dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku oleh Pengadilan Tinggi Padang pada saat terpidana melakukan banding terhadap putusan 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Payakumbuh. Putusan Pengadilan Tinggi Padang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) setelah Mahkamah Agung pada Tahun 2006 menolak kasasi Edi Alharison. Sudah sembilan tahun setelah putusannya inkracht sampai tahun 2015, Edi Alharison sampai saat ini masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Batu Nusakambangan menunggu eksekusi. Hal yang sama dapat kita lihat juga dalam kasus Raheem Agbaje Salami,terpidana mati asal Spanyol, dimana sesuai keterangan Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Andi Muhammad Taufik, bahwa kasus yang dihadapi Raheem Agbaje Salami ini sudah inkracht sejak tahun 1999 dimana sampai sekarang masih menunggu dieksekusi.4 Dapat kita lihat bahwa tidak adanya kepastian hukum bagi terpidana mati selama di dalam tahanan menunggu eksekusi, karena Pasal 5 UU Nomor 2/PNPS/ Tahun 1964 tidak mengatur jangka waktu penahanan bagi terpidana mati. Dengan tidak adanya kepastian hukum bagi terpidana mati selama menunggu eksekusi mengakibatkan terampasnya hak-hak tepidana mati. Terpidana mati harus menjalani penahanan di dalam penjara selama bertahun- tahun tanpa adanya kepastian 4 http://www.lensaindonesia.com/2015/01/16/kejati-jatim-tangani-satu-terpidana-mati-kasus-narkoba-asal-spanyol.html hukum sampai dilaksanakan eksekusi. Maka dengan dilatar belakangi uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “Pehananan Terhadap Terpidana Mati Oleh Jaksa Ditinjau Dari Jangka Waktu Eksekusi.”

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Mr Azi Rahman
Date Deposited: 03 Mar 2016 09:38
Last Modified: 03 Mar 2016 09:38
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/3281

Actions (login required)

View Item View Item