INDAH, MUTIARA SARI (2016) HUBUNGAN ASUPAN MAKRONUTRIEN DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN TB PARU DI KOTA PADANG. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text (Skripsi Full Text)
1109.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (790kB) |
Abstract
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru. Penyakit ini masih menjadi suatu masalah di masyarakat karena merupakan penyakit menular yang mematikan di dunia. Pada tahun 2013, diperkirakan 9 juta orang menderita TB dan lebih dari setengahnya (56%) berada di Asia Tenggara dan daerah Pasifik Barat, seperempatnya berada di wilayah Afrika, yang juga memiliki tingkat kasus tertinggi (WHO, 2014). Indonesia termasuk ke dalam high burden countries bersama 22 negara lainnya. Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB Paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah sebesar 0,4% dan provinsi TB Paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%) (WHO, 2014). Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga mempunyai permasalahan penyakit TB yang cukup tinggi yaitu sebanyak 0,2% (Riskesdas,2013). Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2012, penderita TB Paru BTA positif yaitu sebanyak 22% dari 18.105 suspek TB Paru. Di Kota Padang, berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013, cakupan penemuan penderita TB Paru BTA positif tahun 2013 sebanyak 11,56%. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir, kasus ini meningkat dari tahun 2012 sebesar 45%, tahun 2011 sebesar 50,41%, 2010 sebesar 62% dan tahun 2009 sebesar 56,5%. 2 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Pasien TB Paru BTA positif sebagian besar akan mengalami perbaikan gejala klinis atau sembuh setelah menjalani pengobatan. Hal ini terlihat dari angka kesembuhan atau cure rate Sumatera Barat tahun 2004 hingga 2005 yang hampir mendekati target nasional sebesar 85%, sehingga dapat diasumsikan bahwa masih terdapat 15% pasien yang tidak mengalami perbaikan gejala klinis atau sembuh setelah sama-sama mendapatkan terapi OAT (Putri, 2008). Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, menurunnya daya tahan tubuh pasien, keadaan ekonomi pasien yang rendah serta terjadinya resistensi terhadap obat-obatan TB (Ana, 2012). Daya tahan tubuh pasien akan dipengaruhi oleh asupan makanan. Pasien dengan penyakit kronis seperti tuberkulosis paru sering mengalami defisiensi makronutrien serta penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan (WHO, 2012). Pada penelitian yang dilakukan pada 45 pasien TB Paru di Surakarta, didapatkan 57,8% pasien yang mengalami defisit asupan protein dan sebanyak 66,7% mengalami defisit asupan karbohidrat (Wisnugroho, 2014). Pentingnya protein pada pasien TB Paru yaitu untuk pembentukan sitokin yang digunakan pada sistem pertahanan tubuh sehingga jumlah sitokin di dalam tubuh akan mempengaruhi sistem imun pasien (Baratawidjaja, 2012). Infeksi Mycobacterium tuberculosis akan memicu pembentukan dan pelepasan sitokin sebagai bentuk perlawanan tubuh terhadap mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh pasien sehingga terjadi peningkatan laju katabolik protein di jaringan untuk membentuk asam amino (Murray, 2009). Pada keadaan lanjut jika tidak diimbangi dengan asupan protein dalam makanan pasien maka protein di jaringan akan terus 3 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas berkurang. Hal ini akan memperburuk keadaan pasien karena asam amino untuk pembentukan sitokin jumlahnya sudah berkurang dan berakibat pada penurunan sistem imun pasien (Chandra RK, 2010). Asupan karbohidrat dan lemak yang rendah tentu saja akan menyebabkan pasien kekurangan energi. Keadaan ini akan memicu terjadinya reaksi glukoneogenesis di dalam tubuh pasien untuk mencukupi kebutuhan energi pasien. Glukoneogenesis adalah suatu proses mengubah prekursor nonkarbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Salah satu substratnya berasal dari asam amino glukogenik. Asam amino ini akan dirubah menjadi glukosa dan selanjutnya glukosa digunakan sebagai energi (Murray, 2009). Pada akhirnya akan terjadi penurunan jumlah protein jaringan sehingga pasien juga mengalami malnutrisi yang dapat menyebabkan penurunan sistem imun tubuh (USAID, 2010). Peningkatan asupan makronutrien pada pasien TB Paru akan meningkatkan energi dan sistem imun tubuh serta berhubungan dengan perbaikan fungsi fisik yang akan mempercepat kesembuhan, perubahan gejala klinis dan sputum dari BTA positif menjadi BTA negatif serta mengembalikan fungsi sosial pasien TB Paru (Pratomo, 2012). Gejala klinis pada pasien TB Paru berupa batuk produktif yang lebih dari 3 minggu, sesak nafas, nyeri dada, dan batuk darah. Kemudian juga terdapat gejala sistemik berupa berkeringat malam hari, demam, menggigil, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan (Price dan Wilson, 2006). Gejala yang dirasakan akan berbeda masing-masing individu dan bahkan ada individu yang tidak merasakan gejala sama sekali (Amin dan Bahar, 2014). 4 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah batuk yaitu sebanyak 98,1%, batuk darah 33,7%, sesak nafas sebesar 30,8%, keringat malam 46,2%, demam 23,1%, dan penurunan berat badan 44,2% (Puspitasari, 2014). Di Sumatera Barat, proporsi pasien dengan gejala batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,2% dan batuk darah 3% (Riskesdas, 2013). Batuk merupakan gejala yang paling umum dirasakan oleh pasien TB Paru bahkan sering dikeluhkan sebagai gejala utama pada pasien (Puspitasari, 2014). Penelitian di Singapura, yang membandingkan penerima terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan suplementasi tinggi energi tinggi protein (600-900 kkal/hari ; 25-37,5 g protein/hari) dengan kontrol tanpa suplementasi nutrisi, menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 terapi kelompok suplementasi mengalami peningkatan berat badan dan massa otot dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan kedua kelompok mengalami peningkatan massa lemak. Penelitian pada minggu ke-12 menunjukkan peningkatan berat badan lebih besar pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol namun peningkatan ini tidak lagi bermakna setelah minggu ke-24 (Pratomo, 2012). Berdasarkan hal di atas dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh asupan makronutrien terhadap perbaikan gejala klinis pasien setelah mendapatkan terapi OAT. Asupan makronutrien yang tidak adekuat akan menurunkan sistem imun tubuh sehingga mempengaruhi munculan gejala klinis pada pasien TB Paru. Untuk itu akan diteliti hubungan antara asupan makronutrien dengan gejala klinis pasien TB Paru di Kota Padang.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | R Medicine > R Medicine (General) |
Divisions: | Fakultas Kedokteran |
Depositing User: | Mr Azi Rahman |
Date Deposited: | 03 Mar 2016 03:15 |
Last Modified: | 03 Mar 2016 03:15 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/3111 |
Actions (login required)
View Item |