PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KECAMATAN KOTO TANGAH KOTA PADANG

DODY, KURNIAWAN (2013) PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI KECAMATAN KOTO TANGAH KOTA PADANG. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
369.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (351kB)

Abstract

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia saja, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan yang luhur yang dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi dari pasangan yang melangsungkan perkawinan saja, perkawinan berkaitan juga dengan permasalahan agama, permasalahan sosial dan permasalahan hukum. Permasalahan agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa dalam setiap agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perkawinan adalah merupakan cara pandang masyarakat pada umumnya mengenai pelaksanaan perkawinan, yang akan membawa dampak 3 tertentu pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam lingkungan masyarakatnya. Dari sudut pandang hukum, perkawinan terjadi disebabkan oleh adanya hubungan antar manusia, dari hubungan antar manusia untuk membentuk suatu ikatan pekawinan inilah menyebabkan timbulnya suatu perbuatan hukum. Di Indonesia, sejak tanggal 2 Januari 1974 masalah perkawinan telah diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian : “Ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan sah, jika telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa setiap Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan sudah seharusnya melewati lembaga agamanya masingmasing dan tunduk kepada aturan pernikahan agamanya. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan 4 kepercayaannya. Dari hal tersebut dapat disimpulkan, bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah1. Pada umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang seagama. Bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah antara agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan membangun keluarga berdasarkan satu prinsip, tentunya diharapkan akan lebih mudah dan permasalahan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam rumahtangga. Namun tidak sedikit pula pasangan yang akan melakukan pernikahan dengan perbedaan keyakinannya. Seperti telah diketahui bersama bahwa di Indonesia diakui lebih dari 1 (satu) agama, sehingga tidak menutup kemungkinan calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan berbeda dalam hal agamanya. Fenomena perkawinan dengan berbeda agama banyak dijumpai di Indonesia, sebagai contoh yang dapat dilihat adalah pernikahan di kalangan para artis, seperti Deddy Corbuzier dan Kalina, Lidya Kandau dan Jamal Mirdad, Ira Wibowo dan Katon Bagaskara. Hal tersebut menjadi dasar timbulnya permasalahan dalam penerapan prinsip Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana Undang- Undang perkawinan tidak memberikan ruang pengaturan bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan berbeda agamanya. Perkawinan yang sah harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku hal ini diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1 Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 16. 5 1974 tentang Perkawinan, berbunyi : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif2.Untuk melaksanakan pencatatan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyatakan, bahwa bagi yang beragama Islam oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, dalam hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1983 tentang Pengaturan Masalah Kewenangan Di bidang Catatan Sipil. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 : “pencatatan perkawinan dari mereka yan melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan”. maka lembaga catatan sipil ikut berperan dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai lembaga pencatat perkawinan, 2 Ibid, hal 17 6 terutama terhadap perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya selain agama Islam. Dengan melihat fenomena yang terjadi, di mana pasangan yang berbeda agama melangsungkan pernikahan dan masih memegang teguh pada agamanya masing-masing, seperti yang telah kita ketahui bersama perkawinan beda agama ini biasanya terjadi hanya pada golongan artis dan daerah kota-kota besar yang mana budayanya telah banyak dimasuki budaya asing, namun ternyata tidak hanya pada golongan artis maupun kota-kota besar di Indonesia saja yang banyak ditemukan perkawinan beda agama tersebut, dikota lainnya di Indonesia ternyata juga dapat kita temukan perkawinan beda agama, seperti yang terdapat pada Provinsi Sumatera Barat di kota padang yang mana penduduknya mayoritas beragamakan islam dan adat-istiadat yang masih kental ditengah masyarakatnya dalam kehidupan sehari. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang”.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 02 Mar 2016 04:34
Last Modified: 02 Mar 2016 04:34
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2971

Actions (login required)

View Item View Item