PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL MELALUI PENYEDERHANAAN JUMLAH PARTAI POLITIK DI INDONESIA

AGIL, OKTARYAL (2015) PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL MELALUI PENYEDERHANAAN JUMLAH PARTAI POLITIK DI INDONESIA. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.

[img] Text
201503201217th_skripsii agil oktaryal 1110113035 penguatan sistem presidensial melalui penyederhanaan jumlah partai politik di indonesia.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Sebagai sebuah negara modern, Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah menganut atau mempraktikkan dua model sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial dalam periode yang berbeda.1 Sepanjang periode 1945-1959, Indonesia menerapakan sistem pemerintahan parlementer dengan tiga konstitusi yang berbeda, yaitu : Undang-Undang Dasar 1945 (1945-1949), Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (1949-1950), dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (1950-1959).2 Ketika kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, melalui dekrit presiden 5 Juli 1959,3 Indonesia memakai sistem pemerintahan presidensial dengan karakter: (1) presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); (2) presiden lansung bertanggungjawab pada MPR; dan (3) tidak ada masa periodesasi masa jabatan presiden.4 Dengan karakter itu, Sri Soemantri mengatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia mengandung unsur atau karakter sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.5 Semangat reformasi 1998 telah mengubah secara mendasar sistem pemerintahan Indonesia sekaligus menumbangkan rezim Pemerintahan Orde Baru6, yang kemudian diikuti dengan perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945.7 Sepanjang periode 1999-2002, ketika mengubah Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sepakat untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.8 Amandemen dilakukan sebagai upaya melakukan purifikasi (pemurnian) terhadap sistem pemerintahan presidensial. Purifikasi terhadap sistem pemerintahan presidensial ini dilakukan dalam bentuk: (i) mengubah proses pemilihan Presiden/Wakil Presiden dari pemilihan secara langsung; (ii) membatasi periodesasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden; (iii) memperjelas mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden/Wakil Presiden; (iv) larangan bagi Presiden untuk mebubarkan DPR; (v) memperbarui atau menata ulang eksistensi MPR; dan (vi) melembagakan mekanisme pengujian undang-undang (judicial review).9 Langkah pemurnian itu dimaksudkan untuk mengurangi karakter sistem pemerintahan parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia. Terkait dengan hal itu, Sri Soemantri menegaskan, Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem pemerintahan campuran, setelah amandemen berubah menjadi sistem presidensial.10 Purifikasi sistem presidensial tersebut tidak terlepas dari pengaruh konflik Presiden-DPR pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden pertama dalam sejarah yang dipilih secara demokratis oleh MPR ini, menjadi korban dari perlawanan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. Seperti diketahui, Presiden ke empat Indonesia ini akhirnya mengalami pemakzulan (impeachment)11 oleh MPR di tengah masa bhakti pemerintahannya pada tahun 2001.12 Sehingga lahirlah keinginan untuk melembagakan pemisahan kekuasaan antara presiden dan lembaga perwakilan, likuidasi supremasi MPR dan pemilihan presiden secara langsung.13 Akhirnya, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pun memperkuat pemberlakuan sistem presidensial. Menurut Jimly Asshidiqie, sistem presidensial setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah lebih murni bila dibandingkan dengan sebelum adanya perubahan.14 Berkaitan dengan pemilihan presiden, berdasarkan pengalaman pada saat pemilihan sistem perwakilan yakni melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka pada saat perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali.15 Terhadap pemilihan presiden atau wakil presiden dilakukan perubahan mendasar dalam sistem pemilihan presiden dari model perwakilan menjadi model langsung yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dalam pandangan Saldi Isra, ada empat alasan (raison d’etre) dilakukannya pemilihan presiden secara langsung yakni: Pertama, presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orangorang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya. Kedua, pemilihan presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multi partai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar- menawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan. Ketiga, pemilihan presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas pada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecendrungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party representation). Keempat, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena samasama dipilih oleh rakyat.16 Meskipun pemilihan presiden di Indonesia telah dilakukan secara langsung keadaan tersebut tidak serta merta akan menjamin stabilitas pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden. Dalam beberapa kasus ternyata Presiden masih direpotkan dengan “gangguan” yang dilakukan oleh DPR, walaupun Presiden mendapat mandat secara langsung dari rakyat dan telah membentuk bangunan koalisi yang kuat di Parlemen, ternyata praktek dalam sistem Pemerintahan Presidensial kita masih mengandung corak parlementer. Masalah ini mengemuka diakibatkan sistem presidensial yang diikrarkan di Indonesia dibangun di atas sistem kepartaian majemuk (multipartai), sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan antara DPR dan presiden yang sama-sama mendapat mandat lansung dari rakyat. Dalam situasi seperti itu untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen guna mendukung kebijakan pemerintah, maka partai pemerintah (presiden) dipaksa membangun jalan kompromi dengan membentuk pemerintahan koalisi. Dengan memilih koalisi, “harga” yang harus dibayar adalah hilangnya sebagian hak prerogatif dalam menentukan menteri17 yang sejatinya hal tersebut hanya terlihat dalam sistem pemerintahan parlementer. Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensial tidak dikenal istilah koalisi karena presiden dan wakil presiden langsung mendapat mandat dari rakyat, namun dalam sistem presidensial Indonesia sebuah keniscayaan untuk melakukan koalisi18 karena sistem pemerintahan kita tidak diikuti dengan sistem kepartaian dengan dua partai seperti yang dipraktikkan di Amerika Serikat. Sehingga keadaan ini menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan presiden terhadap parlemen yang merupakan ciri dari pemerintahan parlementer, sehingga corak sistem pemerintahan kita presidensial yang berkarakter parlementer atau “presidensial setengah hati”. Penerapan sistem presidensial di tengah-tengah sistem multipartai memang terbukti cenderung menimbulkan instabilitas politik dan kedudukan presiden yang lemah. Karena dalam sistem multipartai yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga diharuskan untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Ketidak stabilan pemerintahan akan semakin kompleks, ketika bangunan koalisi parpol yang terbentuk sangat rapuh dan pragmatis. Faktanya, meskipun reformasi 1998 telah membuahkan demokrasi dan terjadinya purifikasi sistem presidensial di Indonesia. Penegasannya ditandai institusionalisasi (melalui amandemen UUD 1945) sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dengan satu paket pencalonan, pembatasan masa jabatan, penguatan mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif, serta pelembagaan impeachment (pemakzulan) melalui hukum. Namun, rumusan presidensialisme lebih murni yang diamanatkan konstitusi tersebut juga sulit diimplementasikan ketika dikombinasikan dengan struktur politik multipartai.20 Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme, misalnya, menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam presidensialisme yang dipadukan dengan multipartai. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis. Situasi ini menyebabkan presiden berada pada posisi yang dilematis, berkompromi dengan parlemen atau berpegang teguh pada prinsip presidensialisme yang belum sepenuhnya didukung desain institusi politik yang kokoh.21 Dipertegasnya sistem presidensial dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukan berarti adanya jaminan sistem pemerintahan akan berjalan efektif. Kecenderungan konflik dan ketegangan dalam relasi Presiden dan DPR ternyata masih terus terjadi. Hal ini terlihat, sejak era Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekitar enam belas usulan penggunaan hak interpelasi dan sembilan usulan hak angket digulirkan DPR.22 Itu menandakan bahwa ketegangan antara Presiden dan DPR akan selalu terjadi. Lahirnya konflik antara lembaga kepresidenan dengan parlemen salah satunya disebabkan karena sistem presidensial yang kemudian disandingkan dengan sistem politik multi partai. Scott Mainwaring dalam “Presidentialism in Latin Amerika” mengatakan: The combination of a fractionalized party system and presidentialism is inconducive to democratic stability because it easily creates diffi culties in the relationship between the president and the congress. To be effective, must be able to push through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable majority opposition in the legislature.23 Scott Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi.24 Mainwaring menegaskan, sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis, kesulitan ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara dua lembaga, antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di lembaga legislatif sendiri. Juan Linz dan Arturo Velenze (1994), berdasarkan penelitiannya terhadap problematik antara presidensial-multipartai di negara-negara Amerika Latin menyimpulkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga kepresidenan dan parlemen, dan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Berdasarkan uraian di atas, Meskipun amandemen Undang-Undang Dasar 1945 teleh dilakukan beberapa upaya untuk memurnikan sistem presidensial, ternyata dalam melaksanakan roda pemerintahan terdapat banyak persoalan yang diakibatkan sistem multi partai yang kemudian disandingkan dengan sistem presidensial di Indonesia, untuk itu purifikasi sistem presidensial tentunya juga harus diiringi dengan pembenahan sistem kepartaian guna memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Sepanjang sistem politik masih dibangun di atas sistem multi partai, tentunya harapan agar sistem presidensial berjalan efektif tidak akan terwujud. Selain itu, penyederhanaan partai politik diyakini akan dapat mengefektifkan sistem demokrasi dianut. Pandangan berbeda datang dari Jimly Asshidiqie, Jimly menyatakan, Di masyarakat super majemuk seperti Indonesia, jumlah partai politik seharusnya tidak dianggap sebagai masalah, karena banyaknya partai politik justru penting untuk membuka ruang keluas-luasnya keanekaragaman aspirasi masyarakat politik Indonesia.25 Karena itu, banyaknya partai jangan dianggap sebagai sumber masalah, malah seharusnya dipandang sebagai solusi untuk mengakomodasikan semua kepentingan rakyat Indonesia yang berdaulat dan merdeka.26 Kebebasan berpartai politik adalah cermin dari prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul (freedom of association and freedom of assembly) yang secara tegas dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) menyatakan : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan pasal ini dapat diatur dan dibatasi oleh undangundang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2827dan Pasal 28J ayat (2)28 UUD 1945, tetapi prinsip kebebasan berpartai sebagai cermin kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu sendiri dapat dilindungi dengan cara mengatur pelaksanaannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (5)29 UUD 1945 dengan kreatif yang apabila tersedia cara yang lebih efektif dengan tidak menguranginya, mengapa harus dilakukan dengan mengurangi prinsip kebebasan itu sendiri.30 Semua kebijakan ambang batas (threshold) disertai dengan diterapkannya sistem koalisi antar partai politik di tengah keanekaragaman polarisasi masyarakat politik yang bersifat “fragmented and segmented”, bagaimanapun juga tetap tidak akan menghasilkan kesederhanaan jumlah partai politik dan menghasilkan adanya partai dengan dukungan mayoritas tunggal. Karena itu, asumsi yang terkandung di balik kebijakan ambang batas (threshold) itu sendiri lah yang sebenarnya harus dipersoalkan, yaitu bahwa jumlah partai politik (kuantitas) diangap sebagai masalah.31 Padahal, akar masalah yang sebenarnya lebih utama dan harus diutamakan justru adalah persoalan mekanisme pengambilan keputusan demokrasi yang rumit, ribet dan tidak efisien, sehingga mengganggu upaya untuk mencapai tujuan bernegara dan bahkan tujuan demokrasi itu sendiri. Artinya, yang merupakan masalah yang sebenarnya adalah persoalan yang bersifat kualitatif, bukan kuantitatif.32 Dalam atmosfir kehidupan negara yang demokratis, penyederhanaan partai politik tentunya tidak dapat dilaksanakan secara paksa oleh pemerintah. Praktik penyederhanaan partai politik ala Orde Baru pada tahun 197333 tentunya tidak dapat diterapkan lagi. Di masa Orde Baru, dengan mudah pemerintah membatasi jumlah partai politik dengan Undang-Undang, yaitu hanya 3 partai/golongan saja. Pembatasan demikian ini dipandang tidak demokratis dan menyalahi prinsip kemerdekaan berserikat (freedom of association) itu.34 Penyederhanaan partai politik mesti dilakukan, bahkan sangat diyakini penyederhaan jumlah partai politik secara otomatis nantinya juga akan menyederhanakan jumlah calon presiden pada pemilu 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak dengan pemilu legislatif35. Namun penyederhanaan ini harus dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 26 Jan 2016 01:41
Last Modified: 26 Jan 2016 01:42
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/29

Actions (login required)

View Item View Item