PENGARUH FAKTOR EKONOMI POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN NILAI TUKAR DI INDONESIA: SEBUAH PENILAIAN EMPIRIS

SUCI, WULANDARI (2015) PENGARUH FAKTOR EKONOMI POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN NILAI TUKAR DI INDONESIA: SEBUAH PENILAIAN EMPIRIS. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
903.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (824kB)

Abstract

Beberapa variabel ekonomi dapat menjadi penentu fluktuasi nilai tukar, Hnatkovska, Lahiri, and Vegh (2008) menemukan adanya hubungan antara nilai tukar dan interest rates, di mana respon nilai tukar tergantung pada ukuran kenaikan suku bunga dan tingkat awal suku bunga. Kebijakan moneter, meskipun hanya sedikit, juga dinilai mempengaruhi nilai tukar. Kearns and Manners (2006) menemukan setidaknya rata-rata 1,5 persen kebijakan suku bunga mempengaruhi apresiasi nilai tukar. Mail (2013) mengemukakan beberapa variabel ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar riil dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya produktivitas relatif, keterbukaan perdagangan (trade openness) dan pengiriman uang (remittances) yang bisa mempengaruhi nilai tukar riil dalam jangka panjang di Albania, sedangkan nilai tukar riil jangka pendek dipengaruhi oleh utang, pengeluaran pemerintah, keterbukaan perdagangan dan pengiriman uang. Pada kenyataannya penelitian-penelitian sebelumnya, khususnya di Indonesia, jarang menggunakan variabel politik dalam merumuskan faktor penentu nilai tukar. Sejatinya studi yang berkaitan dengan political exchange rate telah dilakukan oleh beberapa kalangan misalnya penelitian yang menjelaskan pemilihan rezim nilai tukar berdasarkan perspektif ekonomi politik (Edwards, 1999). Proses politik juga erat kaitannya dengan nilai tukar. PDF Compressor Pro 2 Bernhard and Leblang (1999) menjelaskan bahwa ketidakpastian politik akan membuat prediksi forward exchange rate kurang akurat dari pergerakan nilai tukar di masa depan. Juga penelitian tentang perilaku nilai tukar selama periode pemilihan (Stein, Streb, & Ghezzi, 2005). Kami menangkap bahwa faktor ekonomi politik memiliki andil yang besar dalam menentukan nilai tukar riil dalam jangka pendek. Pemerintah tentu saja tidak dapat secara langsung menentukan nilai tukar riil, tapi mereka bisa mempengaruhi tren nilai tukar riil selama periode yang cukup lama secara politik dan signifikansi ekonomi, biasanya diperkirakan tiga sampai lima tahun (Broz & Frieden). Hal ini dipandang cukup masuk akal bagaimana pemerintah melalui kebijakannya bisa mempengaruhi nilai tukar, baik untuk tujuan meningkatkan kemakmuran nasional, maupun untuk pencitraan agar bisa terpilih kembali pada periode berikutnya. Lembaga politik memiliki peran dalam pembangunan ekonomi (Acemoglu & Robinson, 2006). Proses pembangunan ekonomi sebagian besar dibentuk oleh konflik antara kelompok-kelompok sosial dengan kekuatan politik yang berbeda-beda. Kompetisi politik dalam negeri menjadi faktor penentu yang jelas dalam hasil ekonomi, karena mencerminkan perjuangan antara kelompok-kelompok pada distribusi sumber daya dan cenderung memaksa pilihan kebijakan pemerintah dengan menginduksi partai politik guna menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok pemilih (Kalyvitis & Skotida, 2010). Tidak heran jika nilai tukar dijadikan alat politik demi berbagai kepentingan berbagai kelompok, sehingga hasilnya pun akan sesuai PDF Compressor Pro 3 dengan preferensi pembuat kebijakan dengan kekuatan politik yang lebih besar. Lalu bagaimana dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu Negara? Bagaimana dampak yang ditimbulkan terhadap nilai tukar bagi Negara yang mengadopsi sistem demokrasi, dan bagaimana pula dengan Negara yang menganut sistem non-demokrasi? Pertanyaan ini dijelaskan dalam penelitian yang berjudul “The political economy of real exchange rates: The role of democracy” (Furlan & Gachter, 2011) yang menyatakan bahwa Negara non-demokrasi lebih memilih untuk menurunkan nilai mata uang mereka untuk meningkatkan ekspor. Menurunnya nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih mahal dibandingkan harga barang dalam negeri, hal tersebut akan meningkatkan permintaan barang domestik maupun permintaan dari luar negeri, sehingga akan meningkatkan ekspor1. Sebaliknya pada Negara demokrasi, masyarakat akan menghukum pemerintah untuk mata uang yang rendah. Depresiasi nilai tukar dipandang sebagai hal yang merugikan karena dapat meningkatkan biaya bahan baku impor, sehingga berdampak pada penurunan output dan berakhir pada kenaikan harga (Santosa, 2012). Karena itu, pemerintah sebagai agen ekonomi, yang dalam hal ini sebagai pihak dalam membuat kebijakan, harus hati-hati dalam mengambil kebijakan yang dinilai akan merugikan masyarakat atau dirinya sendiri. Perilaku agen ekonomi tidak hanya mempengaruhi 1 Analisis dari sisi permintaan berdasarkan konsep elastisitas harga Marshal – Lerner Condition di mana depresiasi nilai tukar akan meningkatkan ekspor netto apa bila jumlah elastisitas harga ekspor dan impor lebih besar dari satu. PDF Compressor Pro 4 kinerja ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga sifat pilihan pemilih dan kontrol dalam masyarakat demokratis (Bernhard & Leblang, 1999). Dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakan yang buruk akan mengurangi preferensi pemilih pada pemilihan berikutnya. Indonesia pernah menganut sistem pemerintahan demokrasi terpimpin pada tahun 1959 sampai 1966. Menurut ketetapan MPRS no. XVIII/MPRS /1965 demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan kata lain sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Meskipun disebut sebagai sistem demokrasi, namun pada prakteknya masih banyak pelanggaran yang menyimpang dari prinsip-prinsip Negara demokrasi, di antaranya kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik, jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah, terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah dan terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak diizinkan untuk terbit. Rezim orde baru pun bukan berarti sistem demokrasi berjalan dengan sepenuhnya. Semenjak dimulainya rezim orde baru pada 1968, Soeharto sebagai presiden Indonesia yang kedua menjalankan pemerintahan dengan otoriter. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian digabung menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya (Golkar). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa. Hasilnya dari keseluruhan pemilihan selalu dimenangkan PDF Compressor Pro 5 oleh partai Golkar dengan perolehan suara lebih dari 50 persen hingga tahun 1977 .Karena beberapa alasan inilah kami mengelompokkan pemilihan pada periode 1970 sampai 1998 sebagai rezim non-demokrasi (kurang demokrasi). Latar belakang inilah yang medorong peneliti melakukan penelitian ini. Peneliti ingin mengetahui bagaimana kecenderungan kebijakan nilai tukar pada rezim demokrasi dan selama non-demokrasi di Indonesia. Serta bagaimana memanfaatkan hasil penelitian tersebut untuk meramalkan pergerakan nilai tukar rupiah dalam rangka pemilihan keputusan investasi.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: H Social Sciences > HB Economic Theory
Divisions: Fakultas Ekonomi > Ilmu Ekonomi
Depositing User: Ms Lyse Nofriadi
Date Deposited: 02 Mar 2016 02:34
Last Modified: 02 Mar 2016 02:34
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2730

Actions (login required)

View Item View Item