MNURUL, FAJRI (2013) HUBUNGAN REKRUTMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DEMOKRASI INDONESIA. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text
282.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (450kB) |
Abstract
Perdebatan mengenai demokrasi terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu negara. Demokrasi yang secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, “demos” berarti rakyat dan “kratos/kratein” berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” ( government of rule by the people ).1 Demokrasi juga diartikan dengan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Transisi politik menuju demokrasi di Indonesia yang terus bergulir hingga kini, telah menghasilkan sejumlah perubahan penting yang merupakan kehendak umum ketika reformasi bergulir. Kehendak umum, menurut Jacques Rousseau (1712-1778) adalah manifestasi keinginan rasional individu secara kolektif.2 Salah satu yang menjadi kehendak umum di awal reformasi yang mana ingin dituangkan dalam perubahan konstitusi adalah mencegah adanya dominasi politik.3 Dominasi politik yang terjadi pada Orde Baru bukanlah representasi dari kehendak setiap individu yang dikonversi menjadi kehendak umum melalui mekanisme proses pemilihan umum. Amandemen konstitusi tidak hanya terjadi pada tataran nilai, tetapi juga dilengkapi dengan prosedur/mekanisme serta institusi baru sebagai 1 Kaelan dan Ahmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, 2007, hlm 55. 2 Donny Gahral Adian, Teori Militansi, esai-esai politik radikal, Koekoesan, Depok, 2011, hlm 2. 3 Dominasi politik berkaca dari kondisi pada masa Orde Baru, dimana hanya ada satu presiden dalam 32 tahun, Komposisi dalam DPR/ MPR yang dominan berasal dari ABRI, Golkar dan permainan dalam politik birokratis. 3 pelaksananya.4 Amandemen UUD 1945 telah membawa perkembangan cita demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia yang salah satunya menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan supremasi parlemen (parliament supremacy) menuju supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty) yang dahulu berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini pun telah berubah menjadi terletak di tangan rakyat. Sebelum amandemen UUD 1945 kedaulatan rakyat di tuliskan dalam bentuk norma pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sedangkan setelah amandemen pada Pasal 1 ayat (2) dan (3) berbunyi sebagai berikut: (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Perbedaan sangat jelas terlihat sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen UUD 1945 kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sementara pasca amandemen UUD 1945 kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut norma hukum tertinggi (UUD 1945) dan ada pernyataan tegas dalam ayat ketiga bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan adanya kedua pasal tersebut menyatakan bahwa negara indonesia adalah negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang dijalankan berdasarkan konstitusi (demokrasi konstitusional). 4 Boedhy Wijardjo, Wahyudi Djafar, dan Yulianto, Assessment Transparansi dan Akuntabilitas Pada Pelakasanaan Pemilu 2004, Sebuah Refleksi Untuk Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu, Konsorsium Reformasi Hukum Indonesia (KRHN) bekerja sama dengan Yayasan TIFA, Jakarta, 2008, hlm 1. 4 Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan menyimbangkan (checks and balances mechanism) antar cabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945. Salah satu lembaga negara utama (main state organ) yang dibentuk berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 untuk menjalankan mekanisme checks and balances tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Pada Amandemen UUD 1945 ketiga lahirlah Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan: “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” Dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah kekuasaan kehakiman baru, Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) dan penafsir terhadap Undang-Undang Dasar (the sole interpreter of the constitution), Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (guardian of the process democratization). Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tercantum pada Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut: “Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji undang-undang terhadap undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik dan; 5 d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 5 Selain dari empat kewenangan bagi sebagian kalangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan satu kewajiban terkait dengan proses impeachment. Terkait dengan mengawal demokrasi, seperti contoh dalam hal memutus perkara PHPU Jimly Asshiddiqie berpendapat sebagai berikut: “dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara penyelenggara pemilu dengan perserta pemilu yang dapat memicu terjadinya konflik politik dan bahkan konflik sosial di tengah masyarakat.”6 Apabila dimaknai dengan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi sangatlah sentral dalam menjamin hak konstitusional warga negara. Sebagai sebuah cabang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang mana komposisi pengisiannya di bagi kepada tiga lembaga negara. Tiga hakim berasal dari Presiden, tiga dari DPR dan tiga dari Mahkamah Agung yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Mekanisme pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut yang diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur 5 UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 6 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 132. 6 oleh masing-masing lembaga yang berwenang7 yang dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.8 Akan tetapi permasalahan timbul ketika ketiga lembaga yang berwenang sebagaimana yang telah dinyatakan pada Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan ketiga lembaga negara tersebut menetapakan ketentuan meneganai pengisian jabatan hakim tersebut tidak memiliki (kecuali DPR) atau membuat aturan yang tegas dan jelas tentang bagaimana mekanisme seleksi, pemilihan dan pengajuan serta bagaimana ketiga lembaga tersebut menjaring calon hakim yang dapat pemenuhan kriteria persyaratan seorang hakim konstitusi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU Mahkamah Konstitusi. Namun hanya DPR yang memiliki aturan tentang teknis pengajuan hakim konstitusi seperti yang dinyatakan dalam Pasal 191 tata tertib DPR: Pasal 191 1. Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR mengajukan, memberikan persetujuan, atau memberikan pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna menugaskan kepada Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait. 2. Tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan, meliputi: a. penelitian administrasi; b. penyampaian visi dan misi; c. uji kelayakan (fit and proper test); d. penentuan urutan calon; dan/atau e. diumumkan kepada publik. Ketidakadaanya aturan pada masing-masing lembaga kecuali pada DPR tersebut tentu saja menimbulkan penafsiran yang beragam bagi masing-masing 7 Pasal 20 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 8 Pasal 20 ayat (2) Ibid 7 lembaga mengenai rekrutmen hakim tersebut. Yang dapat diartikan bahwa setiap lembaga kemungkinan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap seorang yang dapat menjadi calon hakim konstitusi. Pada posisi Pemerintah, pengisian jabatan hakim konstitusi lebih bersifat situasional dengan menerbitkan Keputusan Presiden. Presiden sebagai kepala pemerintahan membentuk tim untuk menyeleksi hakim konstitusi. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) bidang hukum Adnan Buyung Nasution yang diserahi tugas untuk memikirkan mekanismenya. Watimpres diberikan tugas untuk membantu presiden dalam menyiapkan sistem dan mekanisme rekrutmen untuk mendapatkan tiga orang calon hakim konstiitusi.9 Sementara itu pada Mahkamah Agung, pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dinilai sangat tidak transparan dan tidak memiliki aturan yang tegas dan jelas. MA dalam menyikapi pengunduran diri hakim Arsyad, telah memunculkan dua nama yakni Anwar Usman (Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA), dan Irfan Fachruddin (Hakim Tinggi PT TUN Medan).10 Melihat dari mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi dari ketiga lembaga negara tersebut, sulit melihat indikator yang jelas (multi tafsir) alasan kenapa nama-nama calon hakim yang diajukan dapat muncul akibat tidak adanya aturan pada masing-masing lembaga sebagaimana yang telah 9 Hukum Online. Pemerintah Baru Memikirkan Mekanisme Seleksi Hakim MK. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18665/pemerintah-baru-memikirkan-mekanismeseleksi- hakim-mk di akses pada tanggal 18 Desember 2012, jam 18. 49 WIB. 10 Detiknews. MA Didesak Transparan dalam Proses Pemilihan Hakim MK. http://news.detik.com/read/2011/03/09/192002/1588230/10/ma-didesak-transparan-dalam-prosespemilihan- hakim-mk di akses pada tanggal 18 Desember 2012, jam 18. 48 WIB. 8 diamanatkan oleh UU Mahkamah Konstitusi. Maka timbulah suatu kekhawatiran apabila nantinya karena ketidakjelasan aturan pengisian jabatan hakim konstitusi oleh Pemerintah, DPR dan MA, akan berdampak kepada kualitas seorang hakim konstitusi, independensi Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan dengan menempatkan hakim-hakim yang sengaja diajukan serta yang paling utama adalah substansi dari putusan hakim konstitusi tersebut. Melihat kewenangan MK yang besar dalam menata demokrasi, taktik menyusupkan ”kuda troya” bisa terjadi dalam seleksi hakim MK. Ruang itu terbuka lebar karena DPR dan Presiden punya kewenangan menempatkan ”orang-orangnya” di MK. Suatu saat, bukan tidak mungkin, MK akan dipenuhi ”perwakilan para politisi” dari DPR dan Presiden. Ketika itu, putusan MK akan dipandang tidak merdeka dari campur tangan politik.11 Pendapat yang dinyatakan oleh Feri Amsari tersebut, mengisyaratkan bahwa dalam hal pengisian jabatan hakim konstitusi sangatlah rentan untuk dimasuki oleh kepentingan politik yang merupakan akibat dari lemahnya aturan hukum mengenai rekrutmen hakim konstitusi yang tidak mengatur secara terperenci dan kesamaan persepsi dari ketiga lembaga yang berwenang. Perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat dan pengamalan dari konstitusi yang mana mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Dasar12 adalah jaminan konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem penyelenggaraan suatu negara sebagai upaya 11 Feri Amsari, “Kuda Troya” bagi MK, rubric Opini Kompas 04 April 2013. 12 Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 1 ayat (2). 9 mewujudkan kedaulatan rakyat.13 Maka sesungguhnya kedaulatan rakyat tersebut dapat dikatakan berada di tangan hakim konstitusi yang mana berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan pengawal demokrasi. Melihat dari semua itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana keterkaitan rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi dengan fungsi Mahkamah Konstitusi mengawal demokrasi yang telah diamanatkan oleh konstitusi. Untuk itu penulis mengambil judul dalam proposal penelitian ini dengan judul: “HUBUNGAN REKRUTMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DEMOKRASI INDONESIA”.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 01 Mar 2016 07:47 |
Last Modified: | 01 Mar 2016 07:47 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2600 |
Actions (login required)
View Item |