DIAGNOSIS MULTI DRUG RESISTANT TUBERKULOSIS PARU DENGAN MENGGUNAKAN GENEXPERT MTB/RIF

Monica, Sari (2015) DIAGNOSIS MULTI DRUG RESISTANT TUBERKULOSIS PARU DENGAN MENGGUNAKAN GENEXPERT MTB/RIF. Masters thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
763.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (2MB)

Abstract

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.1 Situasi TB di dunia semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB baru dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia termasuk Indonesia. Selain jumlah kematian dan infeksi M. tuberculosis yang amat besar, pertambahan kasus baru tuberkulosis meningkat setiap tahunnya.2 Sejak Maret 1993, WHO mendeklarasikan tuberkulosis sebagai Global Health Emergency. Tuberkulosis dianggap sebagai masalah kesehatan dunia, dimana terdapat 1.760 juta orang terinfeksi oleh M. tuberculosis berdasarkan uji tuberkulin yang positif.3 Laporan WHO tahun 2009 memperkirakan prevalensi tuberkulosis sebanyak 13,72 juta kasus (206/100.000 penduduk). Jika dibandingkan dengan tahun 2006 terjadi penurunan kasus tuberkulosis sebanyak 13,9 juta kasus (210/100.000 penduduk).3 WHO dalam Global Tuberculosis Report (2011) melaporkan terdapat perbaikan dalam program pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus baru dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidensi TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011.4 Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar. Tahun 2011 insidensi kasus tuberkulosis paru mencapai 8,7 juta orang dan 990 2 ribu orang meninggal karena TB.5 Sementara itu menurut WHO (2012) terdapat 8,6 juta orang menderita TB paru dan 1,3 juta meninggal disebabkan oleh karena tuberkulosis paru (termasuk 320.000 kematian dengan TB-HIV). Angka kematian ini terbilang tinggi mengingat tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat diobati.2 Salah satu faktor yang berperan besar terhadap tingginya angka kematian tuberkulosis paru disebabkan karena meningkatnya kasus resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.6 Timbulnya resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin dikenal dengan multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB).7 MDR-TB ini menjadi masalah baru dalam tatalaksana tuberkulosis. Diperkirakan MDR-TB berperan dalam 50-70% kematian akibat infeksi M. tuberculosis, terutama dinegara berkembang. Laporan WHO tahun 2012 memperkirakan 450.000 kasus Tuberkulosis berkembang menjadi MDR-TB, dan 170.000 pasien meninggal karena TB.6 Menurut WHO secara global terjadi peningkatan insidensi MDR-TB dari tahun 2011, didunia diperkirakan insidensi MDR-TB paru adalah 3,6% untuk kasus yang belum pernah diobati dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan anti tuberkulosis. Prevalensi MDR-TB yang tinggi ditemui di negara Eropa Timur, Afrika, Cina, dan Asia tenggara. Pada wilayah dengan prevalensi tinggi terdapat 12,3% pasien MDR-TB yang belum pernah diobati dan 46% pasien terdeteksi MDR TB setelah mendapat pengobatan.2,6 Sementara di Indonesia (2012) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan dengan prevalensi MDR-TB berkisar antara 2% pada kasus TB baru dan 12% pada pasien yang telah diobati sebelumnya. Pada tahun 2012, 94.000 pasien TB terdeteksi MDR-TB, dan 10.000 orang dengan resistensi rifampisin dideteksi menggunakan GeneXpert 3 MTB/RIF. Dari tahun 2012 terdapat kenaikan 42% pada kasus yang terdeteksi memenuhi syarat MDR TB dibandingkan dengan 2011. Peningkatan terbesar antara tahun 2011 dan 2012 berada di India, Afrika Selatan dan Ukraina, sementara di Indonesia menempati urutan ke empat.6 Pengobatan kasus MDR-TB jauh lebih sukar daripada kasus TB biasa, tidak hanya membahayakan dirinya tetapi juga menular bagi masyarakat sekitar. Karena itu kasus MDR-TB harus diidentifikasi dengan benar dan cepat agar pengobatan dapat dilakukan dengan tepat dan secepatnya. Mengingat bahwa diagnosis MDR-TB adalah bukanlah diagnosis klinis, maka pemeriksaan uji kepekaan menjadi sangat penting dalam tatalaksana kasus MDR-TB, apalagi pernyataan kesembuhan juga didasarkan atas hasil pemeriksaan biakan MDR-TB. MDR-TB saat ini menjadi masalah baru dalam penanggulangan tuberkulosis.2,6 Banyak penelitian tentang MDR-TB yang menunujukkan resistensi rifampisin juga diikuti oleh resistensi terhadap isoniazid. Caws dkk (2006) melakukan penelitian di Vietnam yang merupakan negara peringkat ke-13 dari 22 negara dengan high burden tuberkulosis dengan jumlah sampel 131 pasien. Pada penelitian ini dilaporkan 104 (79%) pasien mengalami resistensi rifampisin, 129 (98%) pasien mengalami resistensi isoniazid. Hanya 2 (1.8%) pasien yang resisten rifampisin yang bukan MDR-TB.8 Penelitian Global Project WHO (2012) pada negara dengan prevalensi tinggi MDR-TB menemukan bahwa dari 350 kasus TB baru didapatkan 46 (13,1%) pasien mengalami resisten rifampisin. Dari 46 pasien yang resisten rifampisin ,43 pasien (93%) juga resisten terhadap isoniazid. Sementara itu dari 155 pasien yang sudah diobati, terdapat 93 pasien (60%) pasien resisten terhadap rifampisin. Dari 93 pasien yang resisten terhadap 4 rifampisin terdapat 90 orang (97%) resisten terhadap isoniazid. Sedangkan di negara dengan prevalensi rendah MDR-TB ditemukan dari 350.000 kasus TB paru didapatkan 6510 (1.8%) pasien mengalami resisten rifampisin. Dari seluruh pasien yang resisten terhadap rifampisin 85% pasien juga resisten isoniazid. Sementara itu dari 76.784 pasien yang pernah diobati dengan OAT 6066 (8,4 %) pasien resisten terhadap rifampisin dan 84% pasien yang resisten terhada rifampisin juga mengalami resisten isoniazid.2 Ocheritina dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian di Haiti untuk mencari prevalensi MDR. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 1006 sputum dari pasien yang didiagnosis kasus TB paru (2014). Didapatkan 26 (2,9%) dari hasil kultur resisten terhadap rifampisin dan ke 26 sampel tersebut juga resisten terhadap isoniazid. Setelah dilakukan pemeriksaan genome ditemukan ke 26 sampel tersebut mengalami mutasi pada gen rpoB.9 Pada tahun 2014 kembali Ocheritina dkk melakukan penelitian di Haiti dan melaporkan bahwa dari 153 pasien yang resisten terhadap rifampisin ditemukan 113 (86,9%) pasien yang mengalami resistensi juga terhadap terhadap isoniazid (INH). Resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid menggunakan kultur Loweinstein Jensen.10 Aurin dkk (2014) melakukan penelitian di Bangladesh dengan pasien TB yang baru dikenal maupun yang telah dilakukan terapi. Didapatkan 300 sputum dan dilakukan uji resistensi terhadap gen spesifik untuk terjadinya resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid (rpoB, inhA dan katG). Diantara 300 sampel, 193 (64,3%) resisten terhadap rifampisin dengan menggunakan pemeriksaan GeneExpert MTB/RIF, sedangkan 189 (63%) resisten terhadap rifampisin menggunakan kultur Loweinstein Jensen. Kemudian 191 sampel resistensi terhadap isoniazid dan 187 (96.9%) sampel merupakan MDR-TB yaitu resisten terhadap rifampisin dan isoniazid.11 5 Dari beberapa penelitian-penelitiaan itu menyatakan lebih dari 90% penderita TB yang resisten rifampisin, juga mengalami resistensi terhadap isoniazid, sehingga resistensi terhadap rifampisin merupakan penanda pengganti (surrogate marker) yang mewakili suatu MDR-TB. Di Indonesia sendiri telah banyak didapatkan data mengenai MDR-TB ini. Data awal survei resistensi OAT lini pertama di Jawa tengah menunjukkan angka MDR-TB rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%). RS. Pringadi Medan terdapat 96% pasien yang resisten terhadap satu atau lebih golongan OAT. Laporan dari laboratorium mikrobiologi Universitas Gajah Mada didapatkan resistensi terhadap rifampisin 43,43%. Hal ini patut diwaspadai karena prevalensinya cenderung menigkat.12 Sebagai standar baku emas untuk uji resistensi terhadap OAT adalah dengan menggunakan media Lowenstein Jensen. WHO dan sebagian besar negara-negara berkembang menggunakan media Lowenstein Jensen untuk kultur M. tuberculosis dan uji resisensi terhadap OAT. Dengan menggunakan media ini, membutuhkan waktu sekitar 3-8 minggu dan uji resistensi OAT memerlukan waktu tambahan 3 minggu.13 Keterlambatan dalam uji resistensi mengakibatkan penatalaksanaan terhadap pasien MDR-TB makin sulit diatasi. Selain itu, risiko menyebarkan MDR-TB terhadap orang lain akan semakin besar. Hanya sebagian kecil dari 440.000 penderita MDR-TB telah dilakukan uji kepekaan obat yang memadai.14,15 Masalah paling utama adalah metode diagnostik konvensional yang ada saat ini lambat dan rumit.16 Pertama diperlukan isolasi M. tuberculosis pada spesimen, lalu diidentifikasi, dan dilanjutkan dengan uji kepekaan OAT tersebut. Pemeriksaan uji ini yang telah direkomendasikan WHO adalah metode proporsi 6 dengan menggunakan media seperti Lowenstein Jensen, yang membutuhkan waktu 8–12 minggu. Selama kurun waktu tersebut penderita mendapat obat yang tidak tepat dan terjadi peningkatan jumlah M. tuberculosis mutan. 17 Rifampisin bekerja dengan berikatan terhadap subunit-β ribonucleic acid (RNA) polimerase yang dikode oleh gen rpoB, suatu komponen penting dalam proses transkripsi. Terhambatnya transkripsi RNA ini menyebabkan terhambatnya sintesis protein. Bila terjadi mutasi pada gen rpoB, maka obat rifampisin tidak dapat berikatan dengan subunit-β RNA polimerase yang dikenal sebagai resistensi rifampisin. Beberapa peneliti mendapatkan >95% isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin mengalami mutasi pada gen rpoB, sehingga regio ini merupakan target yang ideal untuk memeriksa resistensi rifampisin secara molekular.18,19,20 Disamping itu gen rpoB juga berguna untuk sintesis berbagai protein struktural pada M. tuberculosis, sehingga jika terdapat mutasi pada gen rpoB akan mengakibatkan gangguan protein yang dibentuk. Kat G yang merupakan salah satu enzim yang berfungsi untuk mengubah isoniazid inaktif menjadi isoniazid aktif juga akan berkurang fungsinya jika terjadi mutasi pada rpoB. Selain itu mutasi pada Kat G sendiri akan menyebabkan terjadinya resistensi terhadap isoniazid.21,22,23 GeneXpert MTB/RIF merupakan pemeriksaan molekuler secara automatis untuk mendeteksi M. tuberculosis dan sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin. Dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Menurut WHO, GeneXpert memiliki sensitivitas 98% dengan spesifisitas 95% dalam mendeteksi M. tuberculosis. Kebijakan terbaru WHO merekomendasikan GeneXpert MTB-RIF sebagai uji awal 7 diagnostik pada individu yang diduga suspek MDR TB dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 99%5 Penelitian-penelitian tentang GeneXpert ini telah banyak dilakukan. Trebucq dkk (2011) dalam reviewnya melaporkan spesifisitas dari Xpert MTB/RIF untuk mendiagnosis MDR-TB sangat tinggi (97-100%). Sedangkan sensitivitasnya berbeda antara pasien TB paru dengan BTA dan kultur positif dibandingkan hanya kultur positif saja. Pada pasien dengan BTA positif sensitivitasnya >95% dan pada BTA negatif sensitivitas bervariasi 65-77%. Sehingga jika hasil Xpert MTB/RIF negatif belum tentu pasien tidak menderita TB terutama pada pasien dengan BTA negatif.24 Steingart KR dkk melakukan review pada tahun 2014 tentang pemeriksaan Xpert® MTB/RIF untuk mendiagnosis TB paru dan resistensi terhadap rifampisin. Hasil penelitian ini melibatkan 27 penelitian dan 9557 pasien. 59 % pasien berada pada negara miskin dan negara berkembang. Xpert® MTB/RIF jika dibandingkan dengan pemeriksaan BTA mikroskopis menunjukkan bahwa sensitivitasnya 89% sedangkan spesifisitasnya 99%. Sedangkan jika dibandingkan dengan pemeriksaan kultur BTA, Xpert® MTB/RIF sensitivitasnya meningkat menjadi 98%. Pada pasien dengan HIV, Xpert® MTB/RIF sensitivitasnya 79% dan pada pasien tanpa HIV sensitivitasnya 86%. Sedangkan untuk resistensi terhadap rifampisin, Xpert® MTB/RIF mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 98%.25 Prinsip dari pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF adalah menggunakan metode heminested real-time polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi mutasi pada regio hot spot rpoB,. kemudian diperiksa dengan beacon molecular sebagai probe.14,18 8 Pengujian dilakukan pada platform GeneXpert MTB/RIF, mengintegrasikan sampel yang akan diolah dalam cartridge plastik sekali pakai. Cartridgen berisi semua reagen yang diperlukan untuk dapat melisiskan bakteri, ekstraksi asam nukleat, amplifikasi, dan deteksi gen yang sudah diamplifikasi.14,18 Kelebihan dari pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF dibanding dengan pemeriksaan lain untuk mendeteksi TB dan menentukan resistensi hanya membutuhkan waktu 2 jam dibandingkan dengan kultur BTA yang berkisar 16-20 hari. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa dibandingkan dengan kultur Loweinstein Jensen, GeneXpert MTB/RIF sangat menguntungkan dalam waktu yang singkat untuk mendiagnosis TB.14,18 Boehme dkk (2011), melaporkan bahwa untuk BTA negatif dan kultur positif TB, median terlambatnya waktu untuk memulai terapi TB adalah 56 hari.18 Sedangkan Van Rie dkk (2013) melaporkan bahwa untuk BTA negatif dan kultur positif TB, pasien TB yang positif dengan GeneXpert MTB/RIF akan mendapatkan terapi pada hari saat didapatkan hasil dari GeneExpert MTB/RIF dibandingkan 13 hari pasien yang didiagnosis dengan metode konvensional.26 Mengingat bahwa penderita MDR-TB semakin meningkat jumlahnya dan Indonesia merupakan negara dengan angka kejadian MDR-TB yang tinggi, maka perlu dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui validitas metode PCR GeneXpert MTB/RIF ini sebagai alat diagnostik cepat penderita tersangka MDR-TB di Padang sehingga pemberian obat bisa dilakukan secara rasional, cepat dan tepat.

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: R Medicine > R Medicine (General)
Divisions: Pascasarjana Tesis
Depositing User: Ms Lyse Nofriadi
Date Deposited: 01 Mar 2016 04:51
Last Modified: 01 Mar 2016 04:51
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2560

Actions (login required)

View Item View Item