MUHAMMAD, IRHAM (2013) PENENTUANMATERIMUATAN PERATURAN PRESIDEN MENURUT PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Masters thesis, Universitas Andalas.
Text
256.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (825kB) |
Abstract
Latar Belakang Masalah J.J. Rousseau dalam bukunya yang berjudul “Du Contract Social“ seperti yang dikutip Dahlan Tahaib, mengatakan; “manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat)”. Tesis Rousseau ini sangat menjiwai lahirnya “De Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen”, dan melalui deklarasi ini pula terilhami pembentukan konstitusi Prancis (1791) khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern).1 Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “Konstitusi Modern”, baru muncul bersamaan dengan semangkin berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undangundang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah yang mendudukan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja/Presiden, sekaligus terkandung maksud memperkokoh lembaga Perwakilan Rakyat.2 Pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peran didalam masyarakat. Akan tetapi cita-cita tersebut selalu akan terbentur pada kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan warganya pada 1Dahlan Thaib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.4. 2Ibid., hlm. 5. 3 tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.3 Dengan demikian, maka di dalam masyarakat akan kita temukan berbagai lapisan masyarakat, baik lapisan bawah/masyarakat umumnya dan juga masyarakat yang mempunyai kekuasan/yang memegang kekuasaan yang biasa disebut sebagai pemerintah. Dan ada juga yang dipilih sebagai wakil masyarakat (rakyat) yang biasa disebut elit politik (parlemen). Dalam negara-negara modern, interaksi mendasar antara lembaga negara termasuk dalam fungsi legislasi diatur oleh konstitusi. Pola pengaturan fungsi legislasi ditentukan oleh pola hubungan antara eksekutif dan legislatif dan hubungan itu sangat ditentukan oleh corak sistem pemerintahan.4 Sri Soemantri sebagaimana dikutip Suharizal, mendefenisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal (indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR.5 Selatnyutnya Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa;“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”, Pasal 1 ayat (2) ;“kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia menganut prinsip sistem demokrasi agar semua aspirasi masyarakat dapat diambil untuk dijadikan keputusan bersama. Hasil amandemen Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 ini juga telah merubah kedaulatan rakyat dari DPR dan MPR kepada Undang-Undang Dasar. Selanjutnya Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa;“Negara 3Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.89. 4Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.2. 5Suharizal, 2002, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Anggrek Law Firm, Padang, hlm.36. 4 Indonesia adalah negara hukum”, pernyataan ini menunjukan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai bangsa yang ingin tetap bersatu maka kita telah menetapkan dasar dan idiologi negara, yakni Pancasila yang dipilih sebagai dasar pemersatu dan pengikat yang kemudian melahirkan kaedah-kaedah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Selanjutnya prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi diatur di dalam UUD 1945 yang memasang rambu-rambu agar bangsa ini tetap utuh. Dengan demikian, tuntunan akan integrasi dan demokrasi telah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.6 Dari pengertian tersebut diatas inilah yang melahirkan konsepsi negara hukum dan demokrasi. Agar tetap terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk selanjutnya mengharuskan pembagian kekuasaan antara legislatif yang mewakili kepentingan dan aspirasi rakyat dan eksekutif sebagai lembaga pelaksana dari kepentingan dan aspirasi rakyat tersebut. Dimana pembagian kekuasaan ini selanjutnya diatur dalam UUD maupun undang-undang dibawahnya agar kekuasaan kedua lembaga tersebut dapat dibatasi. Dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern, sudah umum diketahui bahwa kekuasaan negara dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudukatif. Pada pokoknya, kekuasaan untuk atau membuat aturan dalam kehidupan bernegara dikontruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang dikembangkan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan cabang-cabang kekuasaan pemerintah negara sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh cabang legislatif. Sementara itu, cabang kekuasaan kehakiman atau 6Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.37. 5 yudikatif bertindak sebagai pihak yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan yang independen dan imparsial.7 Dengan paradigma pemikiran yang demikian, maka satu-satunya sumber legitimasi organ negara untuk menetapkan suatu norma hukum yang berbentuk (regeling) adalah organ yang bekerja dicabang kekuasaan legislatif. Norma-norma yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam undang-undang dasar sebagai “de hoogste wet” atau hukum yang tertinggi, sedangkan hukum yang tertinggi di bawah undang-undang dasar adalah undang-undang (gezets, wet, law) sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislator (legislative act).8 Berdasarkan prinsip pendelegasian ini, norma hukum yang bersifat pelaksana dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasari atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi. Misalnya, Peraturan Presiden dibentuk tidak atas perintah Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP), maka Peraturan Presiden (Perpres) tersebut tidak dapat dibentuk. Peraturan Menteri, jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, berarti peraturan dimaksud tidak dapat dibentuk sebagaimana mestinya. Demikian pula bentuk-bentuk peraturan lainnya, jika tidak didasarkan atas perintah peraturan yang lebih tinggi maka peraturan itu dianggap tidak memiliki dasar yang melegitimasikan pembentukannya. Dengan demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan pelaksana undang-undang harus dimuat dengan tegas dalam undang-undang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan legislasi (legislative delegation of rule-making power) dari pembentuk undang-undang kepada lembaga pelaksana undang-undang atau kepada pemerintah.9 7Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.147-148. 8Ibid., 9Ibid., hlm.149. 6 Selanjutnya jika ditinjau dari sudut ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah serta mengembangkannya. Secara sosiologis elit tersebut golongan kecil dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan yang biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas. Baik buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya baikburuknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau didasari oleh masyarakat tersebut terlebih dahulu. Hal ini merupakan satu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertip dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan tetapi, karena sifat dan hakikatnya, kekuasaan tersebut supaya dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah, dan batas-batasnya. Untuk itu diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri yang hendak dipegang dengan teguh.10 Sehubungan dengan hal diatas, maka dalam kenyataanya banyak kita jumpai hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan juga alat untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kerangka pelaksanaan dan untuk mempertahankan kekuasaan inilah tindakan pemerintah dalam suatu negara perlu dibatasi dengan konstitusi (UUD). A. Gunawan Setiardja seperti dikutip Dahlan Thaib, mengatakan hukum sebagai pengatur perbuatan–perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan idiologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.11 10Moh. Mahfud MD, 2010, op.,cit, hlm.87. 11Dahlan Thaib, 2011, op.,cit, hlm.72. 7 UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar tertulis maupun tidak tertulis merupakan ideologi bangsa Indonesia sudah sangat baik merumuskan dasar-dasar kebijakan negara dalam mengelola negara dan pemerintahan demi terwujudnya citacita nasional bangsa Indonesia yang terdapat pada alenia keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang manyatakan bahwa; “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.12 Pernyataan alenia keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah merupakan cita-cita (das sollen) bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita tersebut menjadi kenyataan (das sein), maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan (legeslatif dan eksekutif) baik dalam bentuk apakah itu namanya undang-undang, peraturan pemerintah penganti undang-undang, Peraturan Presiden, peraturan daerah yang secara hierarki tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 Menegaskan : “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal 5 Ayat (1) ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, dan Ayat (2) “Presiden menetapkan peraturan 12Alenia keempat UUD 1945. 8 pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Tidak ada satu Pasal pun didalam UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa Presiden dapat membuat Peraturan Presiden. Perubahan pertama UUD 1945 telah mengubah kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat ini, tentunya akan memiliki pengaruh terhadap kualitas pembentukan undang-undang di Indoneisa. Langkah-langkah kearah pembentukan undang-undang yang lebih berkualitas, telah diimplementasikan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Upaya perbaikan tersebut menyangkut proses pembentukan (formal), maupun substansi yang diatur (materiil).13 Selanjutnya sebagai bentuk implementasi dari perintah Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa tata cara pembentukan undang-undang, selanjutnya diatur dengan undang-undang, maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12 Tahun 2011) pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Didalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, menegaskan bahwa hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: “(a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provensi; dan (g) Peraturan daerah Kabupaten/Kota”.14 Berikutnya Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 perihal materi muatan Peraturan Presiden menyatakan bahwa:“Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, meteri untuk melaksankan Peraturan Pemerintah, atau meteri untuk melaksanakan 13Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.1. 14Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. 9 penyelenggaraan kekuasaan pemerintah”, penjelasan Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut dijelaskan bahwa:“Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut diatas yang menyatakan ”Peraturan Presiden dapat dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”, maka dalam pengertian lain Presiden dapat membuat Peraturan Presiden yang bertentangan dengan Undang- Undang atau tidak sesuai pembentukan dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal di dalam negara demokratis dan negara hukum, jelas tidak menghendaki adanya ketentuan yang bersifat mandiri, yang ditetapkan tanpa dasar perintah dari peraturan yang lebih tinggi, hal ini juga dapat menyebabkan kekuasan yang tidak terbatas dari pemegang kekuasan (Presiden). Oleh karena itu pada kenyataanya masih saja ada Peraturan Presiden yang dibuat tanpa didasari oleh peraturan yang lebih tinggi atau tidak didasari oleh asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh15 dapat dilihat dari pengangkatan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana di tengah hiruk pikuknya Reshuflle Kabinet dan Pengangkatan Wakil Menteri di beberapa Kementeriaan negara, ada satu hal yang menimbulkan kontroversi, yakni pengangkatan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Banyak kalangan ketika itu menyatakan di hadapan publik bahwa pengangkatan Denny Indrayana itu melanggar ketentuan Peraturan 15Dalam hal ini penulis menguraikan contoh kasus yang disampikan oleh Farid Mu’adz Basakran, dalam tulisannya yang berjudul: Antara Diskriminasi dan Pelanggaran Konstitusi, dalam http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2012 pukul 15.00 wib. 10 Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, khususnya Pasal 70 ayat (3). Disebutkan dalam Pasal 70 ayat (3) tersebut : “Pejabat karir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon I.a.” sementara itu Denny Indrayana belum mencapai dan menduduki jabatan struktural setingkat eselon I.a. (golongan IV.E) tersebut. Reaksi pun bermunculan dari anggota DPR, Publik, dan bahkan kalangan akademisi hukum. Atas reaksi publik ini, akhirnya “Istana” memberikan jawaban bahwa ketentuan Pasal 70 ayat (3) tersebut telah dihapus dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011 ini menurut kalangan “Istana” telah diterbitkan Presiden pada tanggal 13 Oktober 2011. Terbitnya Peraturan Presiden No. 76 tahun 2011 ini membuat banyak kalangan yang sebelumnya berkomentar atas pengangkatan ini, dibuat “kecele” oleh kalangan Istana. Bahkan Prof. Dr. Himahanto Juwana, sampai harus meminta maaf kepada semua pihak, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, serta kepada publik. Sebuah permintaan maaf yang menurut penulis tidak layak dilakukan olehnya, karena ini semata-mata kesalahan Presiden dan jajarannya yang telah “menutupi” terbitnya Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011 ini ke hadapan publik.16 Padahal didalam membentuk peraturan perundang-undangan, tak terkecuali Peraturan Presiden dalam hal ini, harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang terdapat didalam Pasal 16Ibid., 11 5 dan pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yang meliputi:17 a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Selain itu, materi muatan peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali Peraturan Presiden harus mencerminkan asas:18 a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bila dilihat dari reaksi publik soal pengangkatan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, maka asas keadilan, dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta asas ketertiban dan kepastian hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf g, h, dan j UU No. 12 Tahun 2011, tidak tercermin pada terbitnya Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011. Terbitnya Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011, dengan jelas terlihat adanya praktek diskriminasi oleh Presiden dalam bidang politik terhadap individu dan kelompok tertentu. Saat terbitnya Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009, belum terlihat dan terbukti adanya praktek diskriminasi terhadap hak dan kesempatan seorang warga negara untuk menempati posisi dalam pemerintahan. Peraturan Presiden No. 76 17lihat Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011. Didalam Pasal 5 dan 6 UU No. 10 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 dalam hal asas Peraturan Perundang-Undangan tidak ada perubahan. 18lihat Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011. 12 Tahun 2011 sangat terlihat, Presiden telah menjadikan Denny Indrayana sebagai “anak emas”, dan menjadikannya yang lain sebagai “anak tiri”. Padahal menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, disebutkan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Terlihat disini terbitnya Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011, bahwa Presiden dan jajaran eksekutif di bidang hukum tidak mempunyai wawasan hak asasi manusia, dan tidak memperhatikan tata urutan perundang-undangan secara luas, serta tidak memperhatikan materi yang harus dimuat dalam suatu perundang-undangan, sebagaimana diatur secara jelas dan tegas dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disisi lain Setelah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012, pakar hukum tata negara dan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta staf hukumnya tidak paham Pasal 10 Undang- Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menurut Yusril, Peraturan Presiden yang dikeluarkan justru memperluas tugas wakil menteri (wamen) sehingga bertentangan dengan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008. Pasal 10 UU Kementerian Negara mengatakan keberadaan wamen hanya untuk beban kerja khusus. Namun, dalam Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2012, dikatakan wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanakan tugas kementerian . Ini membuat tugas wamen menjadi luas.19 Yusril melanjutkan, karena Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2012 mengatakan wamen bertugas membantu menteri dalam memimpin kementerian, maka fungsi wamen bukan lagi melaksanakan beban kerja khusus. Sebaliknya, kata 19http://www.tempo.co/read/news/2012/06/11/063409774/Yusril-Kritik-Kepres- Baru-soal-Wamen, dikunjungi pada tanggal 7 Oktober 2012 pukul 11.30 wib. 13 Yusril, wamen menjadi bertugas membantu menteri melaksanakan semua tugasnya. Padahal, bukan itu ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara. Yusril menambahkan, fungsi wamen untuk penanganan beban khusus seharusnya juga dirujuk pada Pasal 8 UU Kementerian Negara mengenai tugas pokok kementerian. Ia mengatakan hal itu untuk memperinci apa sajakah tugas pokok kementerian tertentu yang dirasa memerlukan penanganan secara khusus. Pada Kementerian Hukum dan HAM misalnya, beban kerja yang butuh penanganan khusus, yakni mempersiapkan dan mengharmonisasikan rancangan peraturan perundang-undangan serta beban mewakili Presiden membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR. Wamenkumham tugasnya itu aja, ujar Yusril memberikan contoh. Terakhir, Yusril mengaku yakin bahwa kalau Peraturan Presiden tentang wamen itu diuji secara formil dan materiil ke Mahkamah Agung, bisa ditemukan banyak alasan untuk membatalkan Peraturan Presiden tersebut. Selanjutnya Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Adi Warman mengatakan akan menggugat Peraturan Presiden No. 60 serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 65 Tahun 2012 tentang pengangkatan Wakil Menteri. Ia mengatakan Keppres dan Perpres yang baru itu bertentangan dengan Pasal 9 UU Kementerian Negara. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ahli pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menilai Keppres dan Perpres tentang wamen itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Alasannya, Pasal 10 UU Kementerian Negara sudah memperjelas legalitas posisi wamen di dalam kementerian.2
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Pascasarjana (Tesis) |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 01 Mar 2016 04:26 |
Last Modified: | 01 Mar 2016 04:26 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2479 |
Actions (login required)
View Item |