DISPARITAS PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP PENGEDAR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI

HANAFI, HANAFI (2015) DISPARITAS PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP PENGEDAR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.

[img] Text
492.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri ( zoon politicon ).1 Dalam melakukan setiap kegiatannya, manusia harus hidup bersama dalam suatu masyarakat yang terorganisasi supaya tujuan yang dicita–citakannya dalam mengarungi kehidupan dapat terealisasi sebagaimana mestinya. Kegiatan yang dilakukan bersama oleh masyarakat bukanlah suatu tindakan yang mudah, karena dalam komunitas yang bernama masyarakat ini sering timbul benturan kepentingan yang akan memicu terjadinya permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, untuk mencegah timbulnya suatu permasalahan didalam masyarakat, perlu dibuat sebuah aturan yang mengatur setiap kepentingan elemen yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Balutan aturan yang dijadikan landasan dalam bertingkah laku itu sering disebut dengan Hukum. HMN. Poerwosutjipto memberikan definisinya mengenai hukum sebagai berikut : “Hukum adalah Keseluruhan norma, yang oleh penguasa negara atau masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.”2 Hukum dapat diklasifikasikan menurut isinya yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur antara individu dengan individu 1C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 29. 2HMN. Poerwosutjipto dalam Zaeni Asyhadie, 2009, Hukum Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 5. 2 dengan menitikberatkan pada kepentingan individu tersebut, sedangkan Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat pelengkapnya atau hubungan antara negara dengan perseorangan. Hukum privat salah satunya adalah hukum perdata, pengertian hukum perdata sendiri ialah kaedahkaedah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan subjek hukum dengan yang lainnya dalam hubungan kekeluargaan dan didalam pergaulan kemasyarakatan.3 Sedangkan pada hukum publik salah satunya adalah hukum pidana. Hukum pidana ialah keseluruhan hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warga negara) dengan yang menguasai tata tertib masyarakat tersebut, kemudian menentukan hukuman apa yang dijatuhkan terhadap orang yang melanggar perbuatan tersebut.4 Hukum pidana sendiri terbagi atas 2 (dua), yaitu hukum pidana subjektif dan hukum pidana objektif. Hukum pidana subjektif ialah hak dari Negara atau alat-alat perlengkapnya menegakkan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu. Hukum pidana subjektif ini baru ada, setelah peraturan dari hukum pidana objektif terlebih dahulu. Sedangkan hukum pidana objektif terdiri dari 2 (dua), Yaitu hukum pidana materil yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau selanjutnya disebut KUHP serta hukum pidana formil yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau selanjutnya disebut KUHAP dan bisa juga dikatakan dengan hukum acara pidana.5 3C.ST. Kansil, 1989, op. cit., hlm. 76. 4Ibid, 5Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 155. 3 Hukum acara pidana merupakan hukum publik yang mengatur hubungan antara seseorang atau individu, dengan masyarakat dan Negara serta dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan umum. Hukum acara pidana bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana berdasarkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari peradilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan tersebut dapat dipersalahkan.6 Tindak pidana semakin berkembang dalam masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini. Salah satu peningkatan terjadi pada tindak pidana narkotika. Peredaran gelap narkotika dan obat-obatan berbahaya atau narkoba dalam beberapa tahun terakhir perkembangan sangat cepat dan meluas. Peredarannya dikota dan didesa. Narkoba dikonsumsi orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Sementara pemberantasannya sangat sulit karena jaringannya sangat luas, tersusun rapi, bahkan polisi pun terlibat dalam jaringan bisnis narkoba.7 Berbagai penelitian telah menunjukan mengkonsumsi narkoba telah menyebabkan banyak korban. Catatan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation / WHO) pada 2013 terdapat 300 juta penduduk dunia yang mengonsumsi narkoba. Sebanyak, 200 ribu pengguna meninggal pertahunnya. Ancaman narkoba juga dihadapi Indonesia. Hasil survei penyalahgunaan narkoba 6Hamzah Andi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 7. 7Al-Banjary Syaefurrahman, 2005, Hitam Putih Polisi Dalam Mengungkap Jaringan Narkoba, Restu Agung, Jakarta, hlm. 1. 4 tahun 2013 lalu sebanyak 2,2 persen atau 4 juta penduduk Indonesia menggunakan narkoba. Dari jumlah itu sebanyak 2 persennya atau sekitar 880 ribu adalah pelajar dan mahasiswa.8 Berdasarkan sejarah penggunaannya, narkotika pada awalnya hanya digunakan sebagai alat bagi upacara ritual agama dan disamping itu juga untuk dipergunakan untuk obat-obatan. Adapun jenis narkotika mulanya adalah candu. Tapi penggunaan narkotika semakin pesat sehingga tidak untuk ilmu pengetahuan dan obat-obatan, melainkan untuk memperoleh keuntungan dengan menjual narkotika tersebut secara ilegal.9 Dengan kata lain perbuatan tersebut tergolong tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika awalnya diatur pada Inpres Nomor 6 Tahun 1971. Inpres ini dibuat dengan tujuan untuk menanggulangi bahaya narkoba. Kemudian ketentuan ini dipertegas dengan munculnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Seiring berkembangnya waktu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Kemudian inginnya pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap pemberantasan tindak pidana narkotika, maka pada tahun 2009 dibentuklah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan dengan berlakunya 8 http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/v13/component/content/article/73-berita/1710- bnn-880-ribu-pelajar-dan-mahasiswa-indonesia-pakai-narkoba.html. Di akses pada tanggal 9 desember 2014 pukul 20.43 WIB. 9Adi Kusno, 2009, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulanagn Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Pres, Malang, hlm. 3. 5 undang-undang tersebut maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tidak berlaku lagi.10 Dalam penetapan hukuman terhadap tindak pidana narkotika berbeda satu dengan lainnya, bahkan terhadap suatu kasus yang sama dengan unsur yang sama tetapi beda putusan, dan hal ini bisa disebut dengan disparitas terhadap putusan pidana. Pada saat penjatuhan hukuman oleh hakim dipengadilan, hal yang ditonjolkan adalah nilai keadilan dan kepatutan hukum. Apakah hukuman tersebut sudah adil bagi masyarakat dan apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Rasa keadilan bagi setiap hakim berbeda-beda, perbedaan rasa atau nilai keadilan inilah yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana oleh hakim pada terdakwa.11 Terjadinya disparitas pidana tentu tidak lepas dari ketentuan hukum pidana sendiri yang memberikan kebebasan penuh kepada hakim untuk memilih jenis pidana yang dikehendaki. KUHP kita menganut sistem alternatif hukuman, misalnya, antara pidana penjara, pidana kurungan, dan denda. Disini, hakim bisa saja menekankan pada pidana penjara ketimbang denda, atau sebaliknya. Disamping itu, disparitas kian berpeluang terjadi ketika hakim bebas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebab, undang-undang hanya mengatur mengenai pidana maksimum dan minimum. Hal ini bisa dilihat pada stelsel di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat ketentuan minimum umum, maksimum umum dan 10 AR. Sujono, Bony Daniel, 2011, KOMENTAR DAN PEMBAHASAN Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 10. 11 Pitria Erwina,2009, Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana Dalam Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang). Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas. Padang. 6 maksimum khusus, dan ada juga diluar Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) adanya minimum khusus. Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:12 1. Disparitas antara tindak pidana yang sama. 2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama. 3. Disparitas yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, Dan 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Secara ideologi, menurut aliran modern, disparitas pidana memang dapat dibenarkan asal masing-masing kasus yang sejenis itu memiliki dasar pembenar yang jelas dan transparan. Namun disparitas yang tidak mempunyai dasar yang kuat (legal reasing), maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.13 Bagi masyarakat dan si terpidana yang merasa menjadi korban sebagai akibat disparitas pidana, akan menjadikannya tidak menghargai hukum pada umumnya.14 Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidak pedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata 12 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekontruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legilasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003. 13 http://istilahhukum.wordpress.com/2013/01/28/disparitas/. Di akses pada tanggal 30 November 2014 Pada Pukul 20.56 WIB. 14http://appehutauruk.blogspot.com/2013/04/disparitas-pidana-suatu-conclusie.html. diakses pada tanggal 25 november 2014 pada pukul 20.57 WIB. 7 lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan dari pada mengajukan perkara mereka ke pengadilan.15 Hal tersebut bisa menyebabkan orang tidak patuh terhadap hukum dan kejahatan merajalela, sehingga berdampak pada peningkatan tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat karena pengaruh dari disparitas pidana tersebut. Disparitas putusan pemidanaan dapat dilihat dari beberapa perkara, salah satunya adalah perkara tindak pidana narkotika seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 28/PID/B/2011/PN-BT_HUKUM_13042011_Narkotika Tahun 2011 terdakwa yang bernama Budi yulias telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menjual narkotika golongan I dengan paket ganja yang di bungkus plastik bening dan penjatuhan pidana melihat ketentuan pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika dengan menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Sedangan pada Putusan Pengadilan Negeri BUKITTINGGI Nomor 19/PID/B/2012/PNBT_Hukum_11062012_Narkotika Tahun 2012 terdakwa yang bernama Nursanti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana golongan I dengan paket ganja yang di bungkus dengan kertas Koran dan penjatuhan pidana melihat ketentuan pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan mejatuhkan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah). 15 http://santhoshakim.blogspot.com/2013/11/disparitas-putusan-hakim.html. Diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 21.20 WIB. 8 Jadi dari uraian diatas, untuk mengetahui bagaimana disparitas pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika dan mengapa timbul disparitas pidana terhadap putusan tindak pidana narkotika di kota Bukittinggi, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul : “Disparitas Putusan Pemidanaan Terhadap Pengedar Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Pengadilan Negeri Bukittinggi”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini meliputi: 1. Bagaimana bentuk disparitas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi? 2. Bagaimana timbulnya disparitas putusan pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi? C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian secara umum adalah kalimat pernyataan konkret dan jelas tentang apa yang diuji, dikonfirmasi, dibandingkan, dikorelasikan dalam penelitian.16 Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk disparitas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi. 2. Untuk mengetahui timbulnya disparitas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi. 16 Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104. 9 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti lainnya yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan, mengenai disparitas putusan pemidanaan terhadap pelaku pengedar dalam tindak pidana narkotika dan juga mengetahui timbulnya disparitas pemidanaan tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi. b. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum acara pidana dan pada hukum narkotika. 2. Manfaat praktis a. Diharapkan penelitian ini digunakan sebagai bahan pertimbangan atau pedoman terhadap hakim dalam penetapan suatu kasus tindak pidana khususnya tindak pidana narkotika. b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesain tindak pidana narkotika. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, yaitu suatu aturan hukum yang mengatur hubungan antara individu dan Negara atau aparat pemerintahan.Hukum pidana itu sendiri tebagi atas hukum pidana objektif (objectief strafrecht/ ius punale) dan hukum pidana subjektif (subjectief stracfrecht/ ius 10 puniendi). pidana subjektif yaitu suatu hak atau wewenang negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang terbukti telah melanggar larangan terhadap hukum pidana. Larangan dalam hukum pidana ini disebut dengan hukum pidana objektif.17 Dalam kerangka teoritis ini penulis menggunakan teori pemidanaan. Teori hukum pidana yang sama sama kita kenal dengan teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Teori-teori ini mendasarkan kepada penjelasan dan mencari hak dari Negara untuk menjatuhkan serta menjalankan hak tersebut. Teori hukum pidana tersebut terbagi atas 3 kelompok, yaitu : 1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori ini memberikan pembenaran bagi Negara untuk menjatuhkan pidana berupa penderitaan kepada penjahat karena penjahat telah memberikan penderitaan kepada orang lain. Immanuel kant, kejahatan sendirilah yang membuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan membenarkan pidana dijatuhkan. Konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap kejahatan. 2. Teori relatife atau teori tujuan (doel theorien) Teori ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, dam untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Von feurbach menyatakan sifat menakut- 17Ibid, hlm. 155. 11 nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana, tapi pada ancaman pidana yang dinyatakan dalam undang-undang. 3. Teori gabungan (vernegings theorien) Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib hukum ini antara lain Thomas Aquino dan vos. Menurut Thomas Aquino, dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.18 2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merumuskan definisi-definisi dari peristilahan yang berhubungan dalam judul proposal sipenulis, kerangka konseptual terdiri atas : a) Disparitas Secara umum yang disebut disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak tindak yang bersifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa pembenaran yang jelas.19 18 Adami Chazawi, op. cit, hlm.168. 19Muladi dan Bardanawawi Arief, 2005, Teori Teori Dan Kebijakan Pidana, PT.Alumni, Bandung, hlm. 52. 12 b) Putusan Pemidanaan Pada hakikatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.20 c) Pengedar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengedar adalah orang yang mengedarkan, yakni orang yang membawa (menyampaikan) sesuatu dari orang yang satu kepada yang lainnya. d) Tindak Pidana Menurut Muljatno, tindak pidana adalah keadaan yang dibuat seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, dan perbuatan itu menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat.21 e) Narkotika Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 20 Lilik Mulyadi, 2010, Seraut wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 141. 21 http://prasxo.wordpress.com/2011/05/31/pengertian-tindak-pidana-menurut-para-ahli/. Di akses pada tanggal 30 November 2014 pukul 22.10 WIB. 13 F. Metode Penelitian Dalam rangka menjawab permasalahan diatas, agar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka dalam proposal ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis dengan maksud untuk melihat dan mengkaji kenyataan yang terjadi pada pelaksanaan suatu kegiatan.22 Metode pendekatan yuridis sosiologis atau yuridis empiris yaitu pendekatan masalah dengan melihat dan mengkaji norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan serta melakukan pendekatan ke masyarakat atau kelapangan untuk memperoleh informasi dan data. Untuk melaksanakan metode yuridis sosiologis, penulis melakukan penelitian berdasarkan pada cara-cara sebagai berikut : 1. Sifat Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan dalam proposal ini adalah jenis penelitian deskriptif. Hal ini dimaksud untuk memberikan gambaran selengkap lengkapnya mengenai disparitas pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika bagi si tersangka dan mengapa timbulnya disparitas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi, yang nantinya berguna bagi pengetahuan peneliti dan juga bagi yang membaca skripsi ini. 22Bambang Sunggguno, op. cit, hlm. 41. 14 2. Sumber dan jenis data a. Sumber data Data – data yang dipaparkan dalam penelitian ini bersumber dari : 1) Penelitian lapangan (field research) Penelitian dilakukan langsung ke Pengadilan Negeri Bukittinggi guna mendapatkan data terhadap bagaimana kasus tersebut dan Realisasi dari penelitian lapangan ini tergambar dalam kegiatan wawancara yang dilakukan oleh penulis langsung terhadap petugas di Pengadilan Negeri Bukittinggi yang terkait kasus tersebut sebagai perwujudan teknik dalam pengumpulan data. 2) Penelitian pustaka ( library research ) Dalam pencarian data dan bahan dengan metode ini, peneliti memperoleh bahan yang antara lain didapat dari : a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari peraturan perundangundangan dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang dirumuskan, yaitu : (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (5) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum 15 b) Bahan hukum sekunder Yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur berupa bukubuku yang berkaitan dengan judul, permasalahan dan penelitian, yang mana hal tersebut diperoleh dari : (1) Buku buku milik pribadi. (2) Buku-buku yang berada pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Perpustakaan Universitas Andalas, dan Perpustakaan Bung Hatta Bukittinggi. c) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan informasi dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder.23 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Indonesia –Belanda serta Ensiklopedia. b. Jenis data Jenis data dalam penelitian ini adalah: 1) Data primer Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan.24 Data ini berhubungan langsung dengan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Bukittinggi berupa hasil wawancara dan data dokumen. 2) Data sekunder 23 Soerjono Soekanto, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 33. 24 Rianto Adi, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit. Jakarta, hlm. 72. 16 Data sekunder merupakan data yang dipeoleh dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research) berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku literatur, serta karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan dispariatas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi. 3. Teknik pengumpulan data a. Wawancara Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan langsung kepada responden atau perwakilan dari tempat dilakukanya penelitian. Wawancara ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara jelas menngenai timbulnya disparitas putusan pemidanaan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Bukittinggi yang dijadikan masalah dalam penelitian. Pengumpulan data dengan teknik ini wawancara ini, dilakukan terhadap hakim di Pengadilan Negeri Bukittinggi. b. Studi dokumen Dilakukan dengan mencari dan mempelajari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam bahan-bahan hukum yang digunakan. Biasanya bahan tersebut didapatkan dari studi kepustakaan ke beberapa pustaka yang memiliki referensi mengenai permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. 4. Teknik pengolahan data Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara editing, yaitu memilih data yang betul-betul dibutuhkan dan memisahkan data-data yang tidak 17 dibutuhkan kemudian dilakukan pemilahan atau klasifikasi data-data yang sesuai dengan yang ditetapkan. Proses ini diperlikan untuk mengetahui bahwa apakah data-data yang diperoleh sebelumnya sudah layak untuk dimasukkan ke proses berikutnya.25 Teknik tersebut dinamakan Coding. Teknik Coding adalah proses untuk mengklasifikasi jawaban-jawaban menurut criteria yang diterapkan.26 Baru kemudian data-data tersebut disusun dalam pembahasan. 5. Analisis data Penelitian ini dilakukan dengan Analisis kualitatif. Hal ini berarti bahwa data-data yang dianalisis merupakan data-data yang berbentuk huruf dan bukan angka. Biasanya analisis dengan metode ini memiliki tingkat keakuratan lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang lain. Selain itu penelti menggunakan metode analisis kualitatif ini karena penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum yang notabene bahan-bahannya berupa gejala sosial yang didapatkan melalui data non angka.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: H Social Sciences > HN Social history and conditions. Social problems. Social reform
K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Randa Erdianti
Date Deposited: 01 Mar 2016 04:11
Last Modified: 01 Mar 2016 04:11
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2453

Actions (login required)

View Item View Item