DENNIS, TRIYANA (2013) PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM GRATIFIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Pekanbaru). Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text
241.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (410kB) |
Abstract
Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Mabes Polri telah mengaku berhasil menangani kasus tindak pidana korupsi dari periode tahun 2011 dan 2012 sebanyak 1.600 kasus dengan rincian kasusnya yaitu 766 kasus pada tahun 2011 dan 885 kasus korupsi pada tahun 2012. Sepanjang tahun 2012, aparat kepolisian telah menyidik 577 kasus dugaan korupsi dan dari 577 kasus itu, sebanyak 329 kasus sudah dinyatakan lengkap kemudian dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung, kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar. Boy menjelaskan bahwa potensi kerugian negara dalam kasus-kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2012 itu telah mencapai Rp 1,67 triliun. Keuangan negara yang dapat diselamatkan sebesar Rp 190,4 miliar. Dalam kasus korupsi yang ditangani Polri selama dua tahun ini memiliki kerugian negara yang sangat besar. Untuk perkara 2011 kerugian negaranya Rp 2,7 triliun sedangkan yang sudah dikembalikan negara, untuk 2011 Rp 260,9 miliar.1 1http://www.neraca.co.id/index.php/harian/article/20420/Dua.Tahun.Terakhir.Polri.T angani.1600.Kasus.Korupsi#.UUNbDnqvTmN di akses pada tanggal 16 Maret 2013 3 Saat ini indonesia ternyata menjadi negara terkorup peringkat ke-100 di dunia. Berdasarkan survei Transparency Internasional, pada tahun 2011 ini, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia masih mencapai 3, karenanya Indonesia menempati peringkat Ke-100 dari 183 negara terkorup di dunia. Kalau dibandingkan dengan IPK Indonesia sepuluh tahun yang lalu, tahun 2002 dengan skor 1,9 maka skor IPK Indonesia hanya naik 1,1 selama sepuluh tahun, dan hanya naik 0,2 dari skor 2010 yang lalu. Skor IPK Indonesia tersebut sama dengan Argentina, Benin, Burkina Fuso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia. Dengan skor 3 dari skala 0-10 (0 berarti sangat korup,10 berarti sangat bersih), maka berarti selama ini tidak ada perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan keterangan ICW, tren dari 2005 hingga semester pertama tahun ini memperlihatkan kenaikan tajam persentase vonis bebas atau lepas di pengadilan umum. Pada 2005, persentase sebesar 22,22% diikuti 31,40% (2006), 56,84% (2007), dan 62,38% (2008). Pada 2009 sempat menurun menjadi 59,26%. dan 54,82% tahun 2010.2 Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat di jumpai dimana-mana. Hampir seluruh masyarakat tidak dapat menghindari diri dari kewajiban memberi upeti manakala berhadapan dengan pejabat pemerintahan terutama di bidang 2 http://helminlia.blogspot.com/2011_10_01_archive.html di akses pada tanggal 16 Maret 4 pelayanan publik. Tampaknya memberikan suatu hadiah (graft) adalah merupakan dosa bagi mereka yang berkepentingan dengan urusan pemerintahan.3 Perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara yang dapat digolongkan kedalam the white collar crime, atau kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas/perkerjaan serta wewenang yang dimilikinya. Perbedaan antara kejahatan korupsi dengan kejahatan-kejahatan lain hanya terletak pada tingkat sosial ekonomi atau pendidikan pribadi pelakunya.4 Terjadinya perbuatan korupsi dalam suatu negara karena lemahnya sistem yang merupakan salah satu hal yang tidak dapat di sangka. Sistem mengenai pencegahan korupsi itu sendiri karena sudah merupakan budaya. Lemah nya mekanisme di berbagai sektor birokrasi dewasa ini.Proses perubahan atau pembaharuan peraturan mengenai korupsi telah mengalami perkembangan yang signifikan, seperti halnya mengenai pembuktian terbalik, perluasan alat bukti, dan masalah gratifikasi. Proses tersebut merupakan upaya untuk mempersiapkan normanorma baru yang berlaku bagi hubungan antar individu dan sebagai sarana penegakan keadilan, sehingga peranan peraturan tersebut dalam pembangunan harus senantiasa jauh ke depan dan memperhitungkan masalah-masalah yang akan terjadi.5 3 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju : Bandung, 2004, hlm. 1. 4 Elwi Danil dan Aria Zurnetti, , Diktat Hukum Pidana Korupsi, Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 2002, Padang, hlm. 10 5 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Binacipta : Bandung, 1988, hlm. 24. 5 Dalam rangka menangani dan memberantas korupsi yang sudah membudaya dan sistematis dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka Pemerintah Indonesia memandang perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan dalam memberantas korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 merupakan suatu upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat memberantas semua kasus korupsi yang ada di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi martir bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Selain upaya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi pemerintah juga membentuk pengadilan tindak pidana korupsi. Pengadilan tindak pidana korupsi terdiri dari lima orang hakim, yakni dua orang hakim karier dan tiga orang hakim ad hoc. Hakim ad hoc berasal dari berbagai instansi, termasuk dari akademisi, notaris, advokat. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi dilatarbelakangi spirit atau semangat bahwa penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami banyak hambatan. Di samping itu juga ada masalah besar dengan integritas moral dan profesionalisme aparat. Untuk itu diperlukan metode penegakan 6 hukum secara luar biasa melalui badan khusus yang diberi wewenang yang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun.6 Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat kepercayaan dan dukungan sepenuhnya dari masyarakat, karena kesungguhan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membongkar semua kasus korupsi tanpa tembang pilih. Dengan adanya kebebasan Komisi Pemberantasan Korupsi dari pengaruh kekuasaan, yang diharapkan bersih dari praktek suap menyuap dan kebusukan mafia hukum. Dengan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai badan khusus yang berwenang luas, independen dan bebas dari pengaruh manapun dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat. Diharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan.7 Pemerintah juga merubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi yang dirasakan belum memadai untuk pemberantasan korupsi yang bersifat luar biasa. Sebagai upaya penyempurnaan pengaturan tentang tindak pidana korupsi, melalui Undang-Undang 20 Tahun 2001 Perubahan Atas 6 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2012. hlm 143 7 R.Dyatmiko Soemodiharjo, Memberantas Korupsi di Indonesia, Shira Media : Yogyakarta, 2002, hlm, 142 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi diatur delik gratifikasi yang dicantumkan dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan mengingat bahwa gratifikasi merupakan salah satu delik korupsi yang tidak dapat dipungkiri realitasnya ditengah masyarakat dan substansi hukumnya belum menjangkau hal tersebut sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. Rumusan korupsi pada pasal 12 B Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak pidana korupsi baru yang di buat UU No.20 tahun 2001. Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. No 20 Tahun 2001 : 1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20(dua puluh), dan 8 pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12 C UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 : 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. 3) Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur tindak pidana : 1) Pegawai negeri atau penyelenggara 2) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 3) Penerima gratifikasi tersebut tidak dilaporkan ke KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifiasi.8 8 Diktat Pusat Info Data Indonesia, Tindakan atau Kebijakan yang Dianggap Korupsi, Jakarta, 2007 9 Berdasarkan uraian diatas kita mengetahui gratifikasi lebih berat dari suap yang sebenarnya secara formal malah memberikan kesan adanya hubungan jabatan maka gratifikasi merupakan tindakan yang jauh lebih halus, terselubung dan bisa di bingkai dalam berbagai dalih. Bahkan sarana yang digunakanpun tidak mesti secara konvensional berupa barang yang secara nyata bisa dilihat. Transfer uang melalui sarana elektronik dan cara lain juga termasuk kualifikasi gratifikasi. Pengaturan gratifikasi dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian seharusnya menggunakan asas praduga bersalah (Presumption of guilty), yaitu asa yang menetapkan seseorang diduga terlebih dahulu melakukan kesalahan, untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah bukan dilakukan oleh penuntut umum, tetapi dilakukan oleh orang yang diduga bersalah tersebut.9 Dari sekian banyak instrumen dan pranata hukum yang telah diimplementasikan dalam kebijakan perundang-undangan untuk memberantas korupsi di republik ini, salah satu di antaranya adalah sistem pembalikan beban pembuktian. Pengimplementasian sistem tersebut diharapkan mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian yang dihadapi selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.10 Di Indonesia teori pembuktian yang digunakan adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie), yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dan didukung dengan keyakinan hakim terhadap eksistensi alat bukti 9 Surachim dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah, Sinar Grafika : Jakarta, 2011, hlm, 144 10 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta, 2011, hlm. 193. 10 yang bersangkutan. Namun khusus untuk tindak pidana korupsi masalah pembuktian di atur dalam pasal 37 Undang-Undang 31 tahun 1999 disebutkan bahwa : 1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. 3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau koorporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. 4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahaan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada, bahwa terdawa telah melakukan tindak pidana korupsi. 5) Dalam keadaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1,2,3, dan 4 Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kemudian mengenai bagaimana mekanisme menjalankan alat bukti atau prosedur pembuktian, secara konvensional penuntut umum membuktikan kesalahan 11 terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Namun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengecualian dengan adanya pembalikan beban pembuktian bagi tindak pidana gratifikasi. Pembalikan beban pembuktian tersebut menempatkan kewenangan membuktikan berada di tangan terdakwa. Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian, maka menjadi beralih beban pembuktian dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Dalam kasus gratifikasi yang terjadi pada saat ini adalah terdakwa kasus gratifikasi proyek arena menembak Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau, Rahmat Sahputra, dinyatakan bersalah. Rahmat divonis hukuman 2,6 tahun penjara serta denda sebesar Rp 50 juta oleh majelis hakim. Terdakwa Rahmat dinyatakan bersalah telah sengaja dan sadar untuk melakukan tindak pidana suap demi kelancaran pengesahan revisi Perda terkait penambahan anggaran proyek arena menembak di Pekanbaru.11 Kasus yang sama juga menjerat wakil ketua DPRD Riau yang mana mejelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan vonis empat tahun penjara untuk Taufan Andoso Yakin, di tambah denda Rp 200 juta subsider dua bulan penjara. Wakil ketua DPRD Riau tersebut terbukti bersalah dalam tindak pidana gratifikasi revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengikatan Dana Tahunan Jamak Veneu Menembak dan revisi Perda Nomor 05 Tahun 2008 tentang Main Stadium, sebesar RP 1,8 miliar. Dalam amar putusan majelis hakim, Taufan dinyatakan terbukti melanggar pasal 12 huruf a Undang- 11 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/07/m9z2hq-tipikor-vonis-26- tahun-penjara-terdakwa-gratifikasi-pon 12 Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan korupsi.12 Perkembangan ini juga menunjukan bahwa gratifikasi telah menjadi kejahatan luar biasa karena berlangsung secara sistematis dan meluas, karena itu pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara luar biasa yang salah satunya dengan cara menerapkan pembalikan beban pembuktian. Pembalikan beban pembuktian lebih mengandung aspek pencegahan agar segenap aparatur negara tidak melakukan korupsi, dan melaksanakan pemerintahan yang baik (good governance), yang sejak awal reformasi hingga sekarang ternyata masih jauh dari harapan. Dengan pembalikan beban pembuktian pegawai negeri, pegawai BUMN/BUMD, serta penyelenggara negara, manakala berdasarkan bukti permulaan yang cukup ternyata memiliki kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan bahwa kekayaan yang diperolehnya itu sah atau bukan dari hasil korupsi. Dilatarbelakangi oleh apa yang penulis uraikan di atas maka penulis tertarik untuk lebih lanjut mengetahui dan mengkaji mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian dalam gratifikasi pada tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, serta apa saja solusi dari kendala-kendala yang terjadi dalam penerapan tersebut sehingga tujuan dari pembuktian ini dapat terwujud dan setelah adanya 12 http://haluanmedia.com/riau/berita-daerah-riau/pekanbaru/2013/02/06/wakil-ketua-dprdriau- divonis-4-tahun-penjara.html 13 penerapan pembalikan beban pembuktian penulis ingin mengetahui dan mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap gratifikasi dalam tindak pidana korupsi yang dituangkan dalam suatu penulisan yang berjudul : “PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM GRATIFIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI “ (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pekanbaru)
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 01 Mar 2016 03:55 |
Last Modified: | 01 Mar 2016 03:55 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2415 |
Actions (login required)
View Item |