SEVILLA, UKHTIL HUVAID (2013) ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BUKITTINGGI TAHUN 2012. Masters thesis, Universitas Andalas.
Text
240.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
Abstract
Latar Belakang Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakit menular yang jumlah kasusnya dilaporkan cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD dapat menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi dan mempunyai potensi wabah tinggi (Depkes RI, 2007). Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari famili Flaviridae yang ditularkan oleh serangga. Serangga yang diketahui menjadi vektor utama adalah nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk kebun Aedes albopictus. Kedua spesies ini biasanya ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Supartha, 2008). Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah utama penyakit menular di berbagai belahan dunia. Selama 1 dekade angka kejadian atau incidence rate (IR) DBD meningkat dengan pesat di seluruh belahan dunia. Diperkirakan 50 juta orang terinfeksi DBD setiap tahunnya dan 2,5 miliar (1/5 penduduk dunia) orang tinggal di daerah endemik DBD (Marini, 2009). Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Asia Tenggara tahun 2003 diperkirakan bahwa 3 sekurang-kurangnya 100.000.000 kasus DBD per tahun dan 500.000 kasus yang memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, dimana 90% penderita adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun. Angka kematian rata-rata sekitar 5%, terjadi tiap tahunnya. Pada tahun 2007, angka Case Fatality Rate (CFR) untuk kasus DBD di Indonesia menempati urutan ke empat di ASEAN dengan CFR 1.01 setelah Bhutan, India, dan Myanmar berurutan dari tertinggi. Sampai bulan September 2008, didapatkan CFR untuk kasus DBD menurun menjadi 0.73, namun naik menjadi peringkat ke dua di ASEAN setelah Bhutan. Penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Selanjutnya sejak saat itu penyakit DBD cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia. Menurut data WHO tahun 2006, pada tahun 2005 Indonesia merupakan kontributor utama kasus DBD di Asia Tenggara (53%) dengan jumlah kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian dengan angka kematian = 1,36%. Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004 (WHO, 2003, 2004). Pada tahun 2005 sampai 2009 angka kesakitan DBD per 100.000 penduduk cenderung meningkat, tahun 2009 IR DBD mencapai 68,22 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2010). Berdasarkan data kasus DBD per bulan di Indonesia, diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus DBD di Sumatera Barat dari tahun ke tahun. Tahun 2008 dilaporkan 1.907 kasus dengan 11 kematian, sedangkan tahun 2009 dilaporkan 2.802 kasus dengan 18 kematian (Kusriastuti, 2011). 4 Saat ini kasus DBD juga terjadi di Kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi sendiri sudah delapan tahun ditetapkan sebagai daerah endemis DBD sejak tahun 2005. Sebelum itu di Kota Bukittinggi tidak pernah ditemukan kasus DBD karena Kota Bukittinggi berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut sehingga kota ini memiliki udara yang tergolong dingin. Kasus DBD mulai muncul pada tahun 2005 di Kota Bukittinggi salah satunya disebabkan karena terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Pada tahun 2009 di Kota Bukittinggi ditemukan 177 kasus DBD, turun menjadi 83 kasus pada tahun 2010, dan 68 kasus pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, meningkat kembali menjadi 107 kasus. Pada tahun 2012 ini, Kota Bukittinggi juga ditetapkan sebagai daerah KLB dengan ditemukannya korban jiwa akibat DBD (DKK Bukittinggi, 2010, 2011, 2012). Kepala Dinas Kesehatan Bukittinggi juga mengkhawatirkan terjadinya peningkatan kasus pada tahun 2013, mengingat sampai bulan Maret 2013 saja sudah ditemukan 25 kasus DBD. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah ditetapkan bahwa salah satu indikator kinerja/ target pengendalian DBD yaitu tercapainya angka bebas jentik (ABJ) sebesar ≥ 95% di setiap kabupaten/ kota. Namun, sampai saat ini Kota Bukittinggi belum bisa mencapai target ABJ yang telah ditetapkan, tahun 2010 ABJ di Kota Bukittinggi hanya mencapai 87,37%, menurun pada tahun 2011 menjadi 86,2%, dan pada tahun 2012 ABJ Kota Bukittinggi kembali mengalami penurunan menjadi 85,3% (DKK Bukittinggi, 2010, 2011, 2012). 5 Target ABJ yang telah ditetapkan dapat dicapai apabila masyarakat mau terlibat aktif dalam upaya pengendalian penyakit DBD, karena sangat mustahil dapat memutus rantai penularan jika masyarakat tidak terlibat sama sekali. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Kepala Seksi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi pada saat survey pendahuluan bahwa upaya pengendalian DBD seperti kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) masih sulit dilakukan oleh masyarakat Bukittinggi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu karena masih kurangnya koordinasi antara kader kesehatan dengan masyarakat. Kader kesehatan biasanya melakukan kunjungan ke rumah masyarakat untuk melakukan penyuluhan pada pagi hari, sementara mayoritas masyarakat Bukittinggi bekerja sebagai pedagang sehingga sulit untuk ditemui. Rantai penularan penyakit DBD mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku bersih dan sehat yang belum terwujud di masyarakat. Perilaku bersih dan sehat yang diterapkan oleh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan. Perilaku mencakup pengetahuan, sikap, dan tindakan dari individu itu sendiri (Notoatmodjo, 2003). Dari hasil penelitian sebelumnya di Kendari didapati hubungan antara kejadian DBD dengan pengetahuan dimana presentase pengetahuan yang kurang dari responden yang positif DBD 71,8%, sedangkan dari responden yang negatif DBD ada 28,2% yang berpengetahuan kurang (Duma, 2007). Penelitian di Mataram menyimpulkan bahwa semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD, maka akan bertambah resiko terjadinya penularan penyakit DBD (Fathi, 2005). 6 Program pengendalian DBD tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat saja, peran serta dari semua pihak terkait pengendalian penyakit DBD sangat menentukan bagaimana keberhasilan program. KEPMENKES No 581/MENKES/ SK/VII/1992 tentang Kebijakan Nasional Pengendalian DBD menyebutkan bahwa ada 10 kegiatan pokok pengendalian DBD yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu : surveilans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana kasus, pengendalian vektor, peningkatan peran serta masyarakat, sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB, penyuluhan, kemitraan/ jejaring kerja, capacity building, penelitian dan survei, serta kegiatan monitoring dan evaluasi (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Kota Bukittinggi diketahui bahwa sampai saat ini masih ada beberapa kegiatan pokok program pengendalian DBD yang belum bisa berjalan dengan baik dan optimal seperti pengendalian vektor, peningkatan peran serta masyarakat, kemitraan/ jejaring kerja, serta kegiatan monitoring dan evaluasi. Hal ini tentu saja disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang menjadi penghambat kelancaran program, sehingga perlu ditinjau bagaimana pelaksanaan program pengendalian DBD di lapangan. Selain itu Kepala Seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi juga menuturkan bahwa meskipun pemerintah Kota Bukittinggi telah mengeluarkan berbagai edaran baik yang berbentuk instruksi, himbauan, maupun promosi kesehatan yang berkaitan dengan DBD, namun sampai saat ini kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) belum terlaksana sesuai dengan harapan. Dari beberapa keadaan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berupa Analisis Pelaksanaan Program Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Kota Bukittinggi Tahun 2012 dengan menggunakan pendekatan sistem yang meliputi aspek masukan (input), proses, dan keluaran (output). Dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana gambaran perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh (puskesmas dengan kasus DBD tertinggi) dalam melakukan pengendalian DBD.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | R Medicine > R Medicine (General) R Medicine > RA Public aspects of medicine > RA0421 Public health. Hygiene. Preventive Medicine |
Divisions: | Pascasarjana Tesis |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 01 Mar 2016 03:54 |
Last Modified: | 01 Mar 2016 03:54 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2412 |
Actions (login required)
View Item |