OLIVIA, OKTARI ERWIN (2015) PELAKSANAAN KEWENANGAN JAKSA SEBAGAI EKSEKUTOR DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Kejaksaan Negeri Padang). Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.
Text
417.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (973kB) |
Abstract
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat)1. Ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berpegang pada prinsip-prinsip rule of law yaitu: adanya supremasi hukum, prinsip persamaan di depan hukum dan terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan putusan pengadilan yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada hakikatnya, hukum dibuat untuk menciptakan dan mencapai sebuah keadilan yang berada ditengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya akan bermuara kepada kesejahteraan (welfare). Sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.2 Tetapi keadilan yang didambakan sampai saat sekarang ini masih sangat sulit dicapai karena adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Keadaan seperti ini terjadi juga di dalam tindak pidana korupsi. 1 Evi Hartanti, 2008, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm1. 2 Soeroso, 2009,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 58. 2 Dalam perkembangan hukum akhir-akhir ini kepentingan ekonomi manusia sangat tinggi sehingga menginginkan cara yang praktis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang sangat besar tersebut akhirnya muncullah niat untuk memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Cara yang sangat modern saat ini dan menjadi masalah tersendiri di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia adalah korupsi. Begitu parahnya bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut malah menganggap sebagai kondisi yang lumrah. Oleh karenanya, tidak heran kalau beberapa tahun ini lembaga riset Politicl and Economics Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Predikat serupa juga datang dari hasil Transparancy Internasional yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di dunia.3 Tingginya angka korupsi yang terjadi di Indonesia didukung dengan adanya hasil kajian yang memposisikan Indonesia pada peringkat 114 dari 177 negara sebagai negara terkorup di dunia berdasarkan riset Transparancy International yang disampaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2013, yang dibuat oleh badan pengawas korupsi Transparency International.4 Realitas ini memang menyakitkan rasa kebangsaan, namun dalam kenyataan di lapangan, fakta tersebut tidak dapat dielakan. 3Saldi Isra dan Edi O.S. Hiariej, 2009, Prespektif Hukum Pemberantasa Korupsi di Indonesia, dalam Zijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed), Korupsi Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 554. 4http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/12/04/peringkat-korupsi-indonesia-di-duniatahun- 2013-615559.html Diakses pada hari Sabtu tanggal 16 Agustus 2014, pk 20.17 WIB. 3 Istilah korupsi digunakan sebagai istilah yuridis baru digunakan pada tahun 1957 yang selalu mengalami beberapa masa perubahan. Sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/001/1957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diganti dengan Pengaturan Perang Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana, dan Pemilikan Harta Benda, dan kemudin keluar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menjadi undang-undang dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, selanjutnya digantikan dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TNLRI 387) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134; TNLRI 4150) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137; TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.5 Perubahan peraturan perundang-undangan yang semakin hari semakin keras bahkan cendrung terlalu banyak, ternyata sama sekali tidak menolong dan 5 Evi Hartanti, Op Cit, hlm. 22-23. 4 terbukti bahwa korupsi masih saja terjadi. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah menjadi penyakit masyarakat. Salah satu alasan gagalnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tersebut adalah masih banyaknya perbedaan mengenai prinsip dalam perbuatan apa yang termasuk korupsi yang patut dipidana. Mardjono Reksodiputro memiliki beberapa pendekatan yang mungkin dapat menerangkan mengapa terjadi perbedaan prinsip tersebut. Pendekatan pertama melihat hukum pidana sebagai sumber ketertiban sosial yang berfungsi menyelesaikan dan mencegah konflik. Penegakan ini bertujuan mempertahankan konsesus. Pendekatan kedua menganggap hukum pidana sebagai “alat” dalam konflik sosial, dan terutama dipakai untuk mempertahankan kekuasaan atau hak-hak istimewanya dari kelompok yang memegang kekuasaan terhadap kelompokkelompok lainnya. Hukum dilihat sebagai hasil konflik antara berbagai kelompok yang berbeda kepentingan.6 Tindak pidana korupsi sampai dengan saat ini masih menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia pada bidang hukum. Kenyataan ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus korupsi yang terungkap ke hadapan publik dan hampir sebagian besar pelakunya adalah mereka yang berpendidikan, berpangkat serta menduduki jabatan yang berpengaruh di negeri ini. Dalam butir (a) pertimbangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 6 Mardjono Reksodiputro, 2002, Korupsi dalam Sistem Hukum, dalam Hamid Basyaib (Ed), Mencari Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Aksara Foundation, Jakarta, hlm. l 27. 5 Korupsi dinyatakan bahwa, korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana yang sifatnya sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Bahkan, pada bagian pertimbangan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, korupsi juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Melihat peningkatan dan pekembangan yang terjadi dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, mau tidak mau laju pertumbuhan dan pembangunan nasional menjadi terhambat. Akibatnya, sasaran pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan bangsa Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia seluruhnya tidak berjalan pada jalur yang telah ditentukan dan diharapkan. Kenyataan yang menunjukkan bahwa perkembangan tindak pidana korupsi berlangsung secara cepat dan meluas memberikan cukup alasan yang rasional umtuk mengategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumeninstrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).7 Peranan dari lembaga instansi yang mengatur penegakan hukum mengenai korupsi yaitu: Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan sangat dibutuhkan untuk memberantas jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi. 7 Elwi Danil, 2011, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 76. 6 Diantara institusi penegak hukum tersebut adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang melaksanakan penegakan hukum. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai institusi penegakan hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaanya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum. Dalam mengkaji kedudukan sentral Kejaksaaan Republik Indonesia adalah sama dengan mengkaji terhadap kedudukan dan fungsi Kejaksaaan Republik dalam penegakan hukum di Indonesia. Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, Kejaksaan sebagai bagian dari institusi penegak hukum memiliki tugas dan wewenang yang ditetapkan dalam hukum (dalam sebuah peraturan perundang-undangan) yaitu dalam sebuah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan Kejaksaaan Republik secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan Undang-Undang 7 mengenai Kejaksaan, salah satunya ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Kejaksaaan Republik dalam Pasal 30 yang berbunyi : 1. Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenamg : a. Melakukan penuntutan b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum c. Pengamanan peredaran barang cetakan d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara e. Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Jaksa juga harus dapat mengupayakan agar dapat mengetahui pelaksanaan putusan hakim tersebut sehingga dapat membantu untuk mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh koruptor. Agar tercapainya suatu kesejahteraan sosial yang dicita-citakan upaya 8 pengembalian aset negara yang dicuri dengan melakukan tindakan pemulihan asset yang sering dikenal dengan istilah asset recovery yang pelaksanaannya berdasarkan terbentuknya konvensi-konvesi PBB. Pasal 2 huruf (a) United Nation Convention Against Transnational Crime (UNCATC) tahun 2000 memasukkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group. Pada tahun 2003 terbentuknya United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Tindak pidana korupsi di Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Indonesia Coruption Watch (ICW) dalam hasil kajiannya pada semester I tahun 2014 masih banyak terdakwa tindak pidana korupsi diberikan vonis ringan. Menurut ICW dari Januari hingga Juni 2014 ada 261 terdakwa tindak pidana korupsi, tetapi hanya ada 4 terdakwa yang divonis berat lebih dari 10 tahun. Termasuk di dalamnya Akil Mochtar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dipidana seumur hidup. Sedangkan vonis sedang yakni 4 hingga 10 tahun penjara berjumlah 43 orang dan ada 195 terdakwa yang dipidana dalam rentang 1 hingga 4 tahun penjara. Selain vonis ringan besaran uang pengganti juga masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan kerugian negara yang diakibatkan para koruptor. Dari 261 perkara yang ada 210, negara mengalami kerugian sebesar Rp 3,863 Triliun dan USD 49 juta. Sedangkan jumlah denda yang dijatuhkan saat vonis dibacakan sampai saat ini baru berjumlah Rp 25 Milyar. 9 Berkenaan dengan uang pengganti, akumulasi dari uang pengganti yang telah dibayarkan baru menyentuh Rp 87,2 Milyar dan USD 5,5 juta. Jumlah itu sangat minim karena terdakwa yang didenda lebih dari Rp 150 juta hanya 59 orang sedangkan 139 terdakwa membayar denda sekitar Rp 25 juta sampai Rp 50 juta. Sisanya dari 18 terdakwa, dipidana bebas oleh Mahkamah Agung saat diketuai oleh hakim agung Timur Manurung sebanyak 5 (lima) terdakwa ditambah dengan pembebasan 13 (tiga belas) lainnya oleh beberapa Pengadilan Negeri Tipikor di antaranya Ambon sebanyak 2 (dua) orang, Tanjung Karang Bandar Lampung 1 (satu) orang, Pekanbaru 1 (satu) orang, Surabaya 1 (satu) orang, Maluku 2 (dua) orang, dan Palu 2 (dua) orang bebas.8 Fakta menyangkut penjatuhan pidana berupa denda dan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi juga dapat dilihat dari beberapa kasus tindak pidana korupsi yang telah diadili di Pengadilan Negeri Padang dan keputusannya telah inkracht, kasus-kasusnya antara lain sebagai berikut:9 1. Pada bulan Agustus tahun 2010 terdapat kasus yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Padang yang terdakwanya bernama, Prof. DR. H. Nasrun Haroen MA selaku dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi Kegiatan Pembinaan Da‟i Mentawai dan Pembinaan Keagamaan MUI Sumatera Barat. Terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan tuntutan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, denda Rp. 200.000.000,00 susider 3 8 Padang Ekspres, Hakim Tipikor Dituding Main Aman, Tanggal 4 Agustus 2014, hlm 1 dan 7. 9 PraPenelitian, Kejaksaan Negeri Padang, Tanggal 2014 10 (tiga) bulan, uang pengganti sebesar Rp, 131.576.500 subsider 2 (dua) tahun 3 (tiga) bulan penjara. 2. Pada bulan Maret 2011 terdapat kasus yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Padang yang terdakwanya bernama, Wisman selaku supir diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi dalam penyerahan dana bantuan gempa 30 September 2009 di Kelurahan Dadok Tunggul Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Terdakwa dituntut dengan 4 (empat) tahun pidana penjara, denda Rp. 200.000.000,00 subsider 3 (tiga) bulan uang pengganti sebesar Rp. 258.000.000,00 subsider 2 (dua) tahun. 3. Pada bulan Maret 2014 terdapat kasus yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Padang yang terdakwanya bernama, Asnul Zainul Abidin, S.ST., selaku PNS Kabid Cipta Karya Dinas PU Kota Padang / Pejabat PJOK – RR bidang Perumahan Tahap II Kota Padang, terlibat kasus tindak pidana korupsi kegiatan pemberian dana bantuan gempa 30 September 2009 di Kelurahan Dadok Tunggul Hitam. Pada tahun 2012 terdapat 26 perkara, tahun 2013 terdapat 29 perkara, dan sampai bulan November 2014 terdapat 45 perkara Tindak Pidana Korupsi yang masuk ke dalam Pengadilan Tipikor Padang. Dari 45 perkara tersebut 26 diantaranya telah diputus, dan 19 perkara yang masih dalam proses persidangan. Mulai pertengahan tahun 2011-2014 terdapat Rp 6,2 Miliyar rupiah uang pengganti yang dibebankan terhadap terpidana kasus korupsi yang seharusnya 11 dikembalikan kepada negara. Namun, hanya Rp 400.000.000,00 pengembalian uang negara yang berhasil dieksekusi oleh institusi Kejaksaan. Dari urian diatas, begitu banyaknya kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi yang mengakibatkan segera dilakukannya pengembalian kerugian negara tersebut dengan dijatuhkannya vonis dan juga uang pengganti yang harus dibayar oleh terdakwa tindak pidana korupsi, khususnya pada data yang diperoleh pada Kejaksaan Negeri Padang. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian yaitu; PELAKSANAAN KEWENANGAN JAKSA SEBAGAI EKSEKUTOR DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Di Kejaksaan Negeri Padang). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan dari kewenangan Jaksa sebagai eksekutor dalam upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Padang? 2. Bagaimanakah koordinasi kejaksaan dengan institutsi lain dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi? 3. Bagaimanakah kendala-kendala dan upaya yang dihadapi oleh Jaksa dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan pengembalian 12 kerugian negara yang hilang terhadap tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Padang? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan dari kewenangan jaksa dalam upaya pengembalian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Padang. 2. Untuk mengetahui koordinasi Kejaksaan dengan institusi lain dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang dihadapi oleh jaksa dalam melaksanakan kewenangannya untuk melaksanakan fungsinya agar dapat melakukan pengembalian kerugian negara yang hilang terhadap tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Padang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis a. Dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dalam hal menjawab keingintahuan terhadap masalah yang penulis teliti, serta dapat menunjang perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. b. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, dosen maupun masyarakat luas dalam menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat dijadikan bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya. 13 2. Manfaat secara praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran bagi para praktisi hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama oleh jaksa yang menangani kasus tindak pidana korupsi dalam hal menjalankan perannya sebagai penyidik sekaligus penuntut umum dalam tindak pidana korupsi. b. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi bagi yang memerlukan. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual Dalam penulisan proposal ini diperlukan suatu kerangka teoritis dan koseptual sebagai landasan berfikir dalam menyusun proposal penelitian ini. 1. Kerangka Teoritis a. Teori Penegakan Hukum Selaras dengan penjelasan di atas, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut :10 1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu pada undang-undang. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 10 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 8. 14 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Sedangkan menurut Jimly Asshidiqqie, menjelaskan mengenai penegakan hukum11 adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan 11 http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan Hukum.pdf diakses pada tanggal 11 November 2014 pukul 22:30 15 memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana harusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilainilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilainilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan „law enforcement‟ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan „penegakan hukum‟ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti sempit. 2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan hal yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti.12 Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut, gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.13 Dalam kerangka konseptual akan dijelaskan mengenai pengertianpengertian tentang kata-kata penting yang terdapat dalam penulisan ini, sehingga tidak ada kesalah pahaman tentang arti kata yang dimaksud. Hal ini juga bertujuan 12 Soerjono Sukanto (1), 1990, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, INDHIL- CO, Jakarta, hlm. 83. 13 Soerjono Sukanto (2), 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 132. 16 untuk membatasi pengertian dan ruang lingkup kata-kata itu. 14 Pengertian katakata dimaksud diuraikan sebagai berikut: a. Pelaksanaan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dsb). b. Kewenangan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. c. Jaksa. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Kejaksaan menyebutkan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. d. Eksekutor di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yng melakukan eksekusi. e. Pengembalian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan mengembalikan; pemulangan; pemulihan. f. Kerugian Negara Berdasarkan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan kerugian negara atau daerah adalah Kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 14 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 221. 17 g. Tindak Pidana atau dalam penulisan oleh Moeljatno disebut perbuatan pidana, merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana dan pada hal ini ditujukan terhadap suatu perbuatan dan sanksi yang diberikan kepada orang melakukan perbuatan itu.15 h. Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan perekonomian negara, atau diketahui atau 15 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 54. 18 dipatut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan perekonomian negara.16 F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Masalah Dalam penelitian yang dilaksanakan, penulis mempergunakan pendekatan Yuridis Sosiologis, yaitu penelitian yang menggunakan metode pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma atau Undang-Undang yang berlaku sebagai ketentuan positif, berikut teori yang relevan dengan karya tulis ini dengan mengaitkan implementasinya terhadap fakta yang terdapat di lapangan. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menetukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.17 Dengan penelitian deskriptif saya ingin melihat pelaksanaan kewenangan Jaksa sebagai eksekutor dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Padang, Sumatera Barat. 16 Andi Hamzah, 2006, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 109. 17 Amiruddin & Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 25. 19 3. Sumber dan Jenis Data Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian, penulis melakukan penelitian yang bersumber dari: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini di peroleh bahan hukum berupa data sekunder yaitu data yang telah terolah atau telah disusun yang didapatkan dari hasil penelitian di lapangan. b. Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan, penulis melaksanakan penelitian di Kejaksaan Negeri Padang dalam upaya memperoleh serangkaian data primer yang dibutuhkan terkait judul penelitian berkaitan dengan Pelaksanaan Kewenangan Jaksa sebagai Eksekutor dalam Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Data Primer Data primer adalah data yang belum diolah dan diperoleh secara langsung dari sumber yang dikumpulkan di lapangan.18. Bahan hukum yang digunakan meliputi :19 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum ini mempunyai kekuatan yang sifatnya mengikat terhadap individu atau masyarakat, serta dapat membantu 18 Sumadi Suryabrata, Loc.cit., 19 Soerjono Soekanto (2), Op Cit, hlm 52 20 dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim. Dalam penulisan ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. f. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. h. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. i. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. j. Surat Edaran Jaksa Agung 21 k. Data-data yang menyajikan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum ini erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang digunakan, serta membantu dalam menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah berupa hasil telaah kepustakaan dari buku, makalah, jurnal, karya tulis, dan dokumen lain yang didapat dari berbagai kepustakaan serta pendapat para ahli tentang Undang-undang. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memeberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, yaitu berupa kamus hukum dan kamus Umum Bahasa Indonesia.20 2) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang sudah terolah dan didapatkan dari data kepustakaan (library research).21 20 Ibid, hlm. 52. 21 Sumadi Suryabrata, 1983, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.85 22 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada Penelitian ini dilakuka dengan cara : a. Studi Kepustakaan Pengumpulan data dengan menulusuri literatur-literatur dan bahanbahan hukum yang berhubungan dengan materi atau objek penelitian yang kemudian dibaca dan dipahami. b. Studi Dokumen Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” yaitu teknik untuk membuat kesimpulan dengan obyektif dan sistematis, meliputi pengambilan data-data atau dokumendokumen yang terdapat di lapangan baik berupa berkas perkara maupun dokumen hukum lainnya pada instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti putusan tindak pidana korupsi.22 c. Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang merupakan suatu hubungan antara dua pihak yang berdasarkan pada pertanyaanpertanyaan 23, yaitu kepada tiga orang jaksa di Kantor Kejaksaan Negeri Padang, dan pegawai di LP Muaro Padang. Metode yang dipergunakan untuk menentukan jumlah responden adalah purposive sampling yaitu jumlah responden yang ditentukan dianggap dapat mewakili responden lainnya sesuai dengan kebutuhan penelitian. 22 Ibid, hlm 21-22. 23 Ibid, hlm 224. 23 5. Pengolahan dan Analisis Data b. Pengolahan Data Pengolahan data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, dalam studi kasus ini pengolahan data dilakukan dengan cara editing. Editing yaitu suatu proses penyaringan dan pemisahan data untuk pengeditan terhadap data yang telah dikumpulkan dan menarik kesimpulan. Hal ini bertujuan untuk memeriksa kekurangan yang mungkin ditemukan dan memperbaikinya. c. Analisis Data Semua data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder diolah secara kualitatif, yakni merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata dengan tujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang diteliti.24
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Randa Erdianti |
Date Deposited: | 29 Feb 2016 07:15 |
Last Modified: | 29 Feb 2016 07:15 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2319 |
Actions (login required)
View Item |