PENGAWASAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN (PEMEGANG POLIS)

AKHNES, IKA PRATIWI (2015) PENGAWASAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN (PEMEGANG POLIS). Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.

[img] Text
418.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (850kB)

Abstract

Perekonomian merupakan hal yang paling menentukan bagi kemajuan suatu Negara, perekonomian suatu Negara tidak terlepas dari masalah sistem keuangan dan industri jasa keuangan.Masalah ini timbul merupakan dampak dari globalisasi dan kemajuan teknologi yang berujung pada kompleksitas sistem keuangan.Globalisasi industri jasa keuangan tidak bisa dielakkan oleh Indonesia, siap tidak siap Indonesia harus mampu membangun sektor jasa keuangan yang mandiri dan kokoh agar tidak mengalami goncangan akibat globalisasi, karena keberadaan industri jasa keuangan memiliki andil yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional di Indonesia. Krisis dimasalalu merupakan tamparan hebat dalam sistem perekonomian Indonesia yang bermula dari kemerosotan nilai tukar rupiah pada pertengahan tahun 2002 yang sudah berlangsung selama lima tahun. Krisis mendera secara terus menerus selama lima tahun, karena penanganan yang bertele-tele sejak awal yang jauh menyentuh akar permasalahnnya, krisis moneter merembet ke hampir semua aspek 10 perekonomian, sehingga menjelmalah krisis ekonomi kemudian krisis diberbagai bidang yang berkepanjangan.1 Indonesia harus mampu membenahi sistem perekonomian yaitu dengan melakukan perubahan kearah yang lebih baik dan pembaharuan karena sistem yang ada tidak mampu lagi merespons persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat dari perubahan lingkungan internal dan eksternal.Sehubangan dengan hal tersebut maka diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat menjawab persoalan diatas dan diperluakan suatu model lembaga yang dapat mengawal kegiatan industri jasa keuangan untuk menghadapi tantangan globalisasi. Di Indonesia, bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya.Namun model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan.Bila komunikasi tidak terjalin baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri jasa keuangan untuk melakukan moral hazard. Kehidupan dan kegiatan manusia,pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. 2Sifat hakiki yaitu berarti sifat yang tidak kekal yang selalu menyertai seluruh aspek kehidupan dan kegiatan manusia.Keadaan yang tidak kekal tersebut merupakan sifat alamiah sehingga mengakibatkan suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu secara tepat,dengan demikian keadaan tersebut tidak pernah memberikan rasa pasti.Keadaan yang tidak pasti tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa yang biasanya selalu dihindari.Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan 1 Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm.1 2Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm.2. 11 yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tentu sehingga menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut,sebagai risiko. Manusia merupakan Makhluk Tuhan yang dianugerahi akal dan fikiran,oleh karena sifat yang dimiliki manusia tersebut mereka dengan akal dan fikirannya berusaha untuk mengatasi rasa tidak aman tersebut,yaitu dengan akal budinya berdaya upaya untuk menanggulangi rasa tidak aman tersebut, sehingga menjadi rasa aman. Dengan upayanya, manusia berusaha bergerak dari ketidakpastian menjadi suatu kepastian,sehingga mereka selalu dapat menghindarkan atau mengatasi risiko-risikonya,baik secara individual maupun secara kolektif. Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti tersebut, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain diluar dirinya sendiri.3 Usaha dan Upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan risikonya kepada pihak lain serta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan,itulah yang merupakan embrio atau cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi. Kehidapan masyarakat yang terus berkembang kearah yang lebih maju dan modern tentunya membutuhkan institusi atau lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko individual maupun secara kolektif. Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi,dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi merupakan lembaga keuangan bukan bank yang melakukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat dan mampu menanggung risiko-risiko yang terjadi dalam aspek kehidupan dan kegitan manusia baik secara individual maupuun kolektif. Dalam sistem perekonomian industri perasuransian harus memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang sangat luas,yang menyangkut kepentingan dan kehidupan perekonomian masyarakat. Untuk 3Ibid, hlm.3. 12 menyeimbangi perkembangan hidup yang dinamis, perlu adanya landasan hukum yang mengatur tentang dunia usaha asuransi Pengaturan asuransi awalnya terdapat dalam KUHD, dalam KUHD ada 2 (dua) cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab 9 Pasal 246 - Pasal 286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang sudah diatur dalam KUHD maupun yang diatur di luar KUHD, kecuali secara khusus jika ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 Pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 287 – Pasal 308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592- Pasal 695 KUHD.4 Menurut ketentuan Pasal 246 KUHD : “Pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen”. Setelah itu pemerintah membuat payung hukum tentang asuransi dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian Nomor 2 tahun 1992 dimana menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang ini : “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu 4Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal.18. 13 pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Rumusan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ternyata lebih luas jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga asuransi jiwa. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata bagian akhir rumusan, yaitu “Untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.Dengan demikiana objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwa/raga manusia. Untuk menyikapi dan memenuhi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Tingkat kesehatan industri asuransi nasional merupakan tolak ukur pertama keberhasilan usaha perasuransian di Indonesia.Tata kelola yang baik (good governance) adalah prasyarat suatu keberhasilan yang berkelanjutan.Upaya pemerintah untuk mewujudkan dunia usaha perasuransian yang sehat tidak hanya dengan mambuat undang-undang tentang usaha perasurasuransian namun juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahan-perusahaan asuransi di Indonesia sehingga perusahaan asuransi dapat diselenggarakan secara sehat guna untuk menanggulangi berbagai risiko yang dihadapi anggota masyarakat,sehingga perasuransian memiliki kedudukan strategis dalam pembangungan dan kehidupan perekionomian,dalam upaya memajukan kesejahteraan umum. “Pemerintahmengemban peranan penting dalam mengawasi tingkat kesehatan industri asuransi nasional. Untuk memperoleh tingkat kesehatan 14 usaha yang baik, setiap perusahaan perasuransian haruslah didukung antara lain oleh kekuatan yang kokoh, sumber daya yang memiliki kemampuan teknis yang baik, infrastruktur operasi usaha yang mendukung, strategi bisnis yang tepat, praktik bisnis dan persaingan sehat dan tidak kalah pentingnya adalah iklim usaha dan pertumbuhan perekonomian nasional yang berkelanjutan yang akan membuka kesempatan berkembang pada pelaku usaha perasuransian dan pengawasan yang efektif.”5 Perasuransian merupakan dunia usaha yang juga rentan terjadinya sengketa,jika dibandingkan dengan dunia usaha lainnya, perasuransian mempunyai potensi terjadinya sengketa lebih tinggi.Kontrak asuransi yang dituangkan dalam bentuk polis, merupakan perjanjian yang sangat spesifik karena banyak menggunakan istilah-istilah atau terminologi yang hanya dipahami oleh kalangan industri saja.Pengguna jasa asuransi kerugian di Indonesia saat ini juga terus meningkat dikarenakan semakin kompleksnya aktifitas kehidupan yang dilaksanakan serta bertambahnya pertumbuhan ekonomi sehingga masyarakat memiliki kemampuan finansial untuk membayarkan premi asuransi hal ini dilakukan guna menghindari risiko yang akan terjadi pada diri atau harta kekayaan mereka yang belum dapat dipastikan dimasa yang akan datang. Masyrakat pada umumnya berpendapat, bilamana mereka membeli polis dan membayar premi, maka segala risiko akan ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian. Pemahaman yang terlalu sederhana inilah yang seringkali menjadi pemicu munculnya terjadi sengketa dalam klaim asuransi kerugian.Faktanya adalah bahwa di dalam polis berisi ketentuan-ketentuan lain memuat resiko yang dipertanggungkan.Masalah tersebut sebenarnya sangat sederhana, tetapi karena pemegang polis tidak memahami kontrak dari asuransi yang dimilikinya, maka hal ini menjadi suatu masalah yang pelik.Fenomena di atas merupakan persoalan yang sering menjadi pemicu 5 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.306. 15 terlanggarnya hak pemegang polis dan untuk itu harus adanya upaya pemerintah untuk menjamin terselenggaranya perlindungan terhadap hak pemegang polis asuransi kerugian. Fungsi pengawasan terhadap perusahaan asuransi yang merupakan lembaga keuangan non bank awalnya dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dimana Badan Pengawas pasar modal lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor KMK606/KMK.01/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, organisasi unit eselon I Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan unit eselon I Direktorat Jendral Lembaga Keuangan (DJLK) digabungkan menjadi satu unit organisasi eselon I, yaitu menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan Lembaga Keuangan) dimana lingkup pembinaan dan pengawasan meliputi aspek pasar modal, dana pensiun, perasuransian, perbankan dan usaha jasa pembiayaan serta modal ventura. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan disektor keuangan nonbank dengan baik, namun model pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga ini masih terdapat kelemahan,misalnya manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik,model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk melakukan moral hazard. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu tercermin dari kasus kegagalan Bank Century, dimana adanya keterkaitan kegiatan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar kedua lembaga pengawas. Untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi disektor jasa 16 keuangan maka muncul gagasan untuk mendirikan suatu lembaga pengawasan yang mandiri.Lembaga pengawasan ini dinamai dengan otoritas jasa keuangan.Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan pada tanggal 22 November 2011 pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang semula dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal sekarang dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.6Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga keuangan independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan diketahui bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Kewenangan pengawasan terhadap perusahaan asuransi yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dimana dalam undang-undang tersebut, menyatakan bahwa Pengaturan dan Pengawasan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 6Hendra Rudy Pakpahan, Legislasi Indonesia,“Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI”,Jurnal, Jakarta, 2012, hlm.416. 17 Lembaga Otoritas dengan sifatnya yang independen dalam menjalankan tugas dan kedudukannya bebas dari intervensi pihak manapun dan berada diluar pemerintah yang memiliki kewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsi dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan. Berdasarkan pasal Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan, lembaga Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan b. Kegiatan jasa keungan di sektor Pasar Modal c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainya. Untuk perlindungan konsumen (pemegang polis asuransi) dalam kegiatan perasuransian, Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada perusahaan asuransi untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh perusahaan asuransi.Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menetapkan untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meelakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat,yang meliputi: a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas kerakteristik sektor jasa keuangan, layanan dan produknya b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 18 Disamping itu, Otoritas Jasa Keuangan juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang meliputi: a. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan b. Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan; dan c. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan Untuk melaksanakan ketentuan diatas maka Otoritas Jasa Keuangan juga telah menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, peraturan ini ditetapkan guna terselenggaranya perlindungan terhadap pemegang polis asuransi kerugian dan dapat memberikan kepastian hukum terhadap pemegang polis asuransi kerugian. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “PENGAWASAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSIDALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN (PEMEGANG POLIS)” A. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 19 1. Bagaimanakah bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Perusahaan Asuransidalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen (pemegang polis)? 2. Bagaimankah kewenangan pengawasan terhadap perusahaan asuransi yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan atas dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian? 3. Bagaimanakah bentukpenegakan hukum oleh Otoritas Jasa Keuangan atas pelanggaran terhadap perlindungan konsumen (pemegang polis) asuransi ? B. Tujuan Peneliatian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Perusahaan Asuransi dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen (pemegang polis). 2. Untuk mengetahui kewenangan pengawasan terhadap perusahaan asuransiyang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan atas dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Untuk menegtahui bentuk penegakan hukum oleh Otoritas Jasa Keuangan atas pelanggaran terhadap perlindungan konsumen (pemegang polis) asuransi. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan suatu sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum, khususnya rujukan tentang pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan asuransiberdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi 20 perkembangan informasi dan keilmuan hukum pada umumnya dan hukum perdata khusunya. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian yang dilakukan penulis juga mampu memberikan sumbangan praktis yaitu: a. Memberikan manfaat bagi para pihak yang terlibat dalam kegiatan perasuransian. b. Memberikan manfaat bagi Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakanfungsi pengawasannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. c. Memberikan manfaat bagi pembaca untuk bahan penelitian lanjutan atau memberikan manfaat bagi yang membutuhkan. D. Metode Penelitian Untuk memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan judul yang telah ditetapkan maka diusahakan memperoleh data yang relevan. Adapun metode yang akan penulis lakukan adalah: 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif (normative legal research) yaitu pendekatan masalah melalui penelitian dengan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu cara penelitian yang berusaha menggambarkan suatu keadaan dengan secermat mungkin mengenai Undamg-Undang Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan. 3. Jenis dan Sumber Data Di dalam melakukan penelitian ini,jenis data yang diperlukan adalah: 21 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer ini pada dasarnya berkaitan dengan bahanbahan pokok penelitian dan biasanya berbentuk himpunan peraturan perundang-undangan seperti: a) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian f) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain : hasil penelitian, karya tulis dari kalangan praktisi hukum dan teori serta pendapat para sarjana. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum. Adapun sumber data dalam penelitian ini: Penelitian Kepustakaan (library Research) merupakan penelitian yang dilakukan terhadap buku-buku karya ilmiah, undang-undang dan peraturanperaturan terkait lainnya. Bahan penelitian kepustakaan ini diperoleh penulis dari: 22 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas 2) Perpustakaan Pusat Universitas Andalas 3) Buku-buku serta bahan kuliah yang penulis miliki 4. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penulisan nantinya adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan tahap awal dalam menganalisa pokok penelitian, yaitu dengan meneliti dan mempelajari bukubuku, peraturan perundang-undangan tepatnya terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 5. Analisis Data Hasil penelitian nantinya akan dianalisis dengan secara : a. Editing Baik data sekunder baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier terkadang tidak semua dibutuhkan sehingga perlu dilakukan pengeditan khusus untuk data yang dicatat maupun data dalambentuk tulisan lainnya. b. Kualitatif Yaitu dengan memperhatikan fakta dan data hukum yang dianalisis dengan uraian untuk mengetahui aspek hukum asuransi kerugian dan pengawasan terhadap Perusahaan Asuransi Kerugian ditinjau dari Undang- Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: H Social Sciences > HJ Public Finance
K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Randa Erdianti
Date Deposited: 29 Feb 2016 04:00
Last Modified: 29 Feb 2016 04:00
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2248

Actions (login required)

View Item View Item