RIO, SAPUTRA (2015) PELAKSANAAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM PADA TAHAP PENYIDIKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI DI POLRESTA PADANG). Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.
Text
485.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (684kB) |
Abstract
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dalam Pasal 1 Angka 3 Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber harapan generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.1 1 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.1 2 Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat sekarang ini dapat menimbulkan dampak positif dan negatif terutama bagi anak. Bila tumbuh dan berkembangnya anak tidak diawasi oleh keluarga atau orang terdekat dan mereka juga berada dalam lingkungan yang tidak baik maka tidak tertutup kemungkinan bila mereka lebih banyak mendapatkan dampak negatifnya. Salah satu dampak negatifnya yaitu dapat meningkatkan krisis moral di masyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk dan berbagai alasan, hal ini yang sangat mempengaruhi kehidupan anak.2 Latar belakang dari tindakan mereka kebanyakan adalah karena faktor ekonomi, keluarga, dan rasa ingin tahu yang besar. Dewasa ini banyak anak-anak di Sumatera Barat yang bermasalah dengan hukum, tercatat pada tahun 2012 di Polresta Padang tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdapat 19 (sembilan belas) orang, dan sampai pada April 2013 terdapat 6 (enam) orang.3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri 2 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Medan, 2009, P1 3 Syaiful Munandar, Pelaksanaan Hak Anak Sebagai Tersangka Tindak Pidana Dalam Proses Penyidikan di Wilayah Hukum Polresta Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2013, hal 42 3 sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, menuntut penyelesaian tindak pidana anak itu lebih memperhatikan perlindungan khusus terhadap anak. Antara lainnya diatur mengenai hak-hak anak selama mengikuti proses peradilan pidana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu : 4 Pasal 3 Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h.memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan p.memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama yaitu : 1. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. 2. Hak untuk mendapat perlindugan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya). 5 3. Hak untuk mendapat pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo. 4. Hak untuk mendapat fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya ( transportasi, penyuluhan dr yang berwajib).4 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Salah satu caranya pendekatan keadilan restoratif yaitu melakukan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan agar diversi dilaksanakan pada setiap tahap dalam proses Sistem Peradilan Pidana, mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan negeri. Didalam proses peradilan pidana anak, penanganan anak yang berkonflik dengan hukum harus dibedakan dengan proses peradilan pidana orang dewasa. Karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah makhluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai 4 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo : Jakarta, 1993 Hal 10-13 6 individu yang belum dapat secara penuh bertanggungjawab atas perbuatanya.5 Oleh sebab itu dalam proses hukum anak harus mendapatkan perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa. Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak. Di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, menjelaskan beberapa mengenai kewajiban penyidik untuk memperhatikan hak-hak bagi anak yang berkonflik dengan hukum pada proses penangkapan dan penahanan. Dalam Pasal 37 Huruf e Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menjelaskan bahwa dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan. Lebih lanjut mengenai hal ini diatur dalam Pasal 38 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu : Dalam hal penangkapan terhadap anak, penyidik wajib memperhatikan hakhak bagi setiap anak yang ditangkap, meliputi : a. Hak didampingi oleh orang tua atau wali; b. Hak mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak; c. Hak privasi untuk tidak dipublikasikan idntitasnya; 5 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl112/hukum-bagi-anak-bawah-umur.diakses 19 September 2014 pukul 20.18 WIB 7 d. Ditempatkan di ruang pelayanan khusus; dan e. Penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak. Sesudah penyidik melakukan penangkapan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum maka selanjutnya akan dilakukan penahanan terhadap anak tersebut untuk proses penyidikan lebih lanjut. Pada tahap penahanan itu penyidik juga wajib untuk memperhatikan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 54 Angka 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu : Perlakuan terhadap tahanan anak-anak, meliputi : a. Berhak mendapat pendampingan dari orang tua atau wali; b. Berhak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak; c. Berhak mendapatkan privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya; d. Ditempatkan di ruang tahanan khusus anak; e. Dipisahkan penempatannya dari ruang tahanan laki-laki dan perempuan dewasa;dan f. Penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak. Kenyataannya dalam sistem peradilan pidana anak khususnya dalam tahap penyidikan, diamana proses penyidikan ini adalah proses awal dari sistem peradilan pidana, masih banyak yang belum sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang–undang. Seperti yang terjadi dalam proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Padang pada tahun 2013 yang masih menggunakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, antara lain seperti : 8 1. Penasehat hukum tersangka anak sering tidak mendampingi kliennya, disaat polisi membuat BAP. 2. Pada saat penahanan dalam sel selama penyidikan, ada beberapa anggota polisi yang bukan penyidik PPA, yaitu anggota polisi penjaga piket malam yg menghardik tersangka, melecehkan korban, bahkan memukuli korban. 3. Pada saat penahanan dalam sel Polresta Padang terkadang tersangka anak ini disatukan dengan tahanan orang dewasa, sehingga tersangka anak ini sering mendapat perlakuan kasar dari tahanan dewasa. 4. Saat penyidikan terkadang pihak BAPAS tidak selalu hadir untuk mendampingi tersangka tindak pidana. 5. Pada saat penyidikan berlangsung, ruangan tempat melakukan penyidikan di Polresta Padang sangat kecil, sehingga pada saat pemeriksaan itu pihak-pihak lain disekitar tempat pemeriksaaan bisa mendengarkan keterangan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.6 Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh terdakwa sebagai manusia.7 Maka dari itu sangat diperlukannya perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Karena Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on 6 Syaiful Munandar, Op.cit., 2013, hal 54-55 7 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 1995, hal 33 9 the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pelaksanaan Hak-Hak Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pada Tahap Penyidikan Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Padang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirasa perlu untuk membuat susunan permasalahan yang nantinya akan dicari jawabannya pada penelitian yang akan dilakukan, agar hasil yang diperoleh sesuai pada koridor yang ditetapkan. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan di Polresta Padang ? 2. Apa yang menjadi kendala dalam proses pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan di Polresta Padang tersebut ? 3. Apa upaya yang dilakukan oleh penyidik untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam melaksanakan hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam proses penyidikan di Polresta Padang? 10 C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan di Polresta Padang. 2. Untuk mengetahui kendala apa yang dihadapi penyidik dalam pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan di Polresta Padang. 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan penyidik dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan di Polresta Padang. D. Manfaat Penelitian Setelah penulis melakukan penelitian ini, penulis berharap menghasilkan beberapa manfaat, diantaranya sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Melatih kemampuan penulis untuk dapat melakukan penelitian ilmiah sekaligus menuangkan hasilnya dalam bentuk tulisan. b. Penelitian ini diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan yang merupakan konsep hukum positif di lapangan. c. Memperluas ilmu pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum, khususnya mengenai pelaksanaan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap penyidikan. 11 2. Manfaat praktis a. Untuk memenuhi prasyarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. b. Diharapkan bermanfaat bagi pihak penegak hukum, khususnya Penyidik, terkait dengan proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Teori yang digunakan penulis dalam kerangka teoritis ini adalah: Teori Penegakan Hukum Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi 12 yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih kongkret.8 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.9 Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusankeputusan hakim.10 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:11 a. Faktor hukumnya sendiri. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undangundang mungkin disebabkan, karena : 8 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010, hal 5. 9 Ibid, hal 7. 10 Ibid. 11 Ibid, hal 8. 13 1. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, 2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, 3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengaktifkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.12 b. Faktor penegak hukum. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapijuga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.13 c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancer. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang 12 Ibid, hal 17-18. 13 Ibid, hal 19. 14 cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 14 d. Faktor masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di dalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan factor-faktor terdahulu, yaitu undang-undang, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas.15 e. Faktor kebudayaan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. 16 14 Ibid, hal 37. 15 Ibid, hal 45. 16 Ibid, hal 59-60 15 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.17 Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada : 18 a. Substansi hukum Substansi hukum adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. b. Struktur hukum Struktur hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. c. Budaya hukum Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat. 2. Kerangka Konseptual Untuk lebih terarahnya penulisan proposal penelitian ini, disamping perlu adanya kerangka teoritis juga diperlukaan kerangka konseptual yang 17 Ibid, hal 9. 18 http://masalahukum.wordpress.com/2013/10/05/teori-penegakan-hukum/. diakses 24 November 2014 pukul 08.00 WIB 16 merumuskan definisi-definisi dari peristilahan yang digunakan sehubungan dengan judul proposal, yaitu: a. Pelaksanaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pelaksanaan berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan.19 b. Hak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hak berarti wewenang menurut hukum.20 c. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak menyatakan bahwa “ Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. d. Penyidikan Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti 19 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989. hal 488. 20 Ibid, hal 292. 17 itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. F. Metode Penelitian Dalam menyusun proposal ini dibutuhkan bahan atau data yang kongkrit, jawaban yang objektif dan ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan yang berasal dari bahan kepustakaan dan penelitian lapangan yang dilakukan dengan cara penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan Masalah Seusai dengan judul proposal penelitian ini, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis sosiologis (empiris) yakni penelitian yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat.21 2. Jenis Data a. Data Primer Dalam kegiatan pengumpulan data ini penulis menggunakan teknik wawancara. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2008. hal 52 18 menggunakan alat yang dinamakan intervivew guide (panduan wawancara).22 Wawancara dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Padang. b. Data Sekunder 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat diperoleh dengan mempelajari semua peraturan meliputi: Peraturan Perundang-undangan, Konvensi, dan peraturan terkait lainnya berhubungan dengan kegiatan penelitian ini.23 Bahan-bahan hukum primer yang digunakan, diantaranya: a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 22 Moh.Nazir, Metode Penelitian, Bogor, Ghalia Indonesia, 2009, hal 193 – 194. 23 Soerjono soekanto, op.cit., hal 52. 19 e) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. f) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak- Hak Anak). g) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan penelitian yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer yang berasal dari:24 a) Buku-buku b) Jurnal c) Hasil penelitian sebelumnya dan seterusnya. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus-kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 24 Ibid 20 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data yang bermanfaat untuk penulisan ini ditempuh dengan cara wawancara dan studi dokumen. a. Wawancara Wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara yang semi terstruktur. Maksudnya, penulis terlebih dahulu menyiapkan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden. Pertanyaan tidak hanya terfokus pada pertanyaan yg sudah disiapkan sebelumnya tetapi bisa jadi timbul pertanyaan baru pada saat melakukan wawancara. Adapun yang akan menjadi respondennya adalah penyidik anak, anak yang berkonflik dengan hukum dan pihak terkait lainnya yang berhubungan dalam proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Padang. b. Studi Dokumen Studi dokumen adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil-dalil, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitan penulis. 21 4. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Sebelum melakukan analisis data, data yang penulis dapatkan diolah dengan melakukan pengoreksian dari semua temuan dan jawaban. Cara pengolahan data tersebut adalah dengan cara editing. Editing adalah kegiatan yang dilakukan penulis yakni memeriksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi, relevansinya bagi penelitian, maupun keseragaman data yang diterima atau didapatkan oleh penulis.25 b. Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.26 Dalam hal ini analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.27
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Randa Erdianti |
Date Deposited: | 29 Feb 2016 02:58 |
Last Modified: | 29 Feb 2016 02:58 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2180 |
Actions (login required)
View Item |