PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN PASAMAN BARAT DALAMMEWUJUDKAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA BARAT

HARRY, KURNIAWAN (2013) PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN PASAMAN BARAT DALAMMEWUJUDKAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA BARAT. Masters thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
148.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (705kB)

Abstract

Latar BelakangMasalah Hutan merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hutan merupakan tempat manusia mendapatkan pemenuhan kehidupan sehari-hari. Bahkan jauh sebelum manusia berkembang secara ilmu pengetahuan, nenek moyang manusia sudah menggantungkan kehidupan mereka kepada hutan. Di sana mereka membuat perkampungan serta komunitasnya dan hutan juga menjadi sarana spiritual bagi mereka. Dengan luasan hutan yang dahulunya sangat melimpah membuka peluang bagi manusia mengembangkan pengetahuan serta keterampilan mereka, manusia hidup berdampingan dengan makhluk lainnya yang juga hidup di dalam hutan. Begitu pentingnya hutan bagi kehidupan manusia membuat hubungan yang sangat erat antara manusia dengan hutan, kekayaan alam yang berada di hutan menjadi perebutan bagi manusia yang semakin bertambah. Sehingga lama kelamaan hutan yang dahulunya banyak menjadi terbatas keberadaannya, manusia terus mencari hutan yang masih bagus dan kemudian memanfaatkan hutan tersebut demi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia tersebut. Pola hubungan ini mengisyaratkan bahwa suatu saat hutan akan sedikit sedangkan manusia dengan rakusnya mengekpoitasi hutan tanpa memperhatikan keberlanjutan hutan tersebut. Karena nilai hutan yang besar bagi kehidupan manusia sering kali menimbulkan berbagai konflik kepentingan (conflict of interrest), terutama yang berhubungan dengan konflik masyarakat lokal vis a vis kelompok pemilik modal yang difasilitasi negara untuk 3 mengeksploitasi hutan (Hak Pengelolaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri). Berbagai konflik tersebut marak terjadi karena minimnya akses masyarakat lokal terhadap hutan, walaupun secara sosial, ekonomi dan budaya mereka mempunyai hubungan erat dengan hutan. Namun, Negara sering kali menfasilitasi pemilik modal untuk mengakses dan menfasilitasi sumber daya hutan secara berlebihan sehingga meminggirkan masyarakat lokal dari hutannya. Kondisi tersebut melahirkan kerugian-kerugian sosial-ekonomi yang besar bagi masyarakat lokal dan kerugian ekologis akibat eksploitasi hutan tersebut. Angka-angka status dan luas fungsi kawasan hutan negara diperoleh dari isi Peraturan Menteri Kehutanan No. 49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 tanggal 28 Juni 2011 (Tabel 1). Disamping itu disajikan pula data luas dan perkiraan potensi hutan rakyat (Tabel 2) serta data pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya hutan (Tabel 3). Berbagai data tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut1: a. Keberadaan hutan adat di dalam semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) belum diadministrasikan dan di lapangan keberadaan hutan adat tersebut tidak dipastikan batas-batasnya dengan alokasi hutan negara lainnya. Kondisi demikian itu menjadi penyebab terjadinya konflik dengan posisi hutan adat lebih lemah daripada posisi para pemegang ijin ( di hutan produksi) maupun pengelola hutan (lindung dan konservasi); Tabel 1. Status dan Luas Fungsi Hutan berdasarkan P 49/Menhut-II/2011 Fungsi Hutan Hutan Negara, 2011 Hutan Hak Hutan 1 Hariadi Kartodihardjo. Hutan Negara Di Dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta dan Implikasinya bagi Kelestarian Hutan. 2012. Hlm 4 4 Bukan Hutan Adat Hutan Adat (Juta Ha) (Juta Ha) (Juta Ha) (Juta Ha) 1. HutanKonservasi 26,82 Ada Ada 26,82 2. Hutan Lindung 28,86 Ada Ada 27,67 3. Hutan Produksi 57,06 Ada Ada 57,84 a. Hutan Produksi Terbatas 24,46 Ada Ada 19,68 b. Hutan Produksi Tetap 32,60 Ada Ada 38,16 4. Hutan Produksi Konversi 17,94 Ada Ada 5. Perubahan Luas Kawasan Hutan Negara 130,68 - - 112,33 6. Hutan Negara yang Telah Ditetapkan (Juta Ha) 14,24 (10,9 %) Tidak ada program penetapan hutan adat - Alokasi bagi non kehutanan= 18,35 jt Ha 7. Kondisi Saat ini dan PerkiraanMendatang Kondisi saat ini adalah implikasi penunjukkan = penetapan kws hutan (batal, Putusan MK No.45/PUUIX/ 2012 Kondisi saat ini masy adat/lokal bersaing bebas dengan perusahaan besar Hutan hak berkembang (ada kepastian hak): Indonesia 3,59 jt Ha (Tabel 3. Dirjen BPDASPS, 2010) Dari 112,3 juta Ha, 5,6 juta Ha (2030) dialokasikan untuk HTR, HKm, HD. 5 Sumber: PermenHut No. 49/2011 Tabel 2. Luas dan Perkiraan Potensi Hutan Rakyat, 2010 Wilayah Luas (HA) Potensi (M3) Standing Stock Siap Panen Sumatera 220.404 7.714.143 1.285.690 Jawa-Madura 2.799.181 97.971.335 16.328.556 Bali-Nusra 191.189 6.691.612 1.115.269 Kalimantan 147.344 5.157.023 859.504 Sulawesi 208.511 7.297.892 1.216.315 Maluku 8.550 299.250 49.875 Papua 14.165 495.765 82.627 JUMLAH 3.589.343 125.627.018 20.937.836 Sumber: Ditjen BPDASPS, Kemenhut, 2010 b. Data 2011 kawasan hutan negara seluas 14,24 juta Ha (sudah ditetapkan) dan 126,44 juta Ha (belum ditetapkan). Skenario luas kawasan hutan pada 2030 menjadi seluas 112,3 juta Ha, 5,6 juta Ha (5%) diantaranya dialokasikan untuk Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Desa. Dalam skenario 2030 ini tidak terdapat luas hutan adat yang diharapkan ada; c. Perkembangan hutan rakyat yang berada di luar hutan negara, dengan relatif lebih jelasnya status hak atas tanah serta lebih terbebas dari aturan dan birokrasi pemerintah, lebih cepat berkembang (Tabel 2). 6 d. Pemanfaatan hutan oleh usaha besar (pengusahaan hutan pada hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem), usaha besar perkebunan dan tambang, serta untuk program transmigrasi seluas 41,01 juta Ha atau 99,49% sedangkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal/adat (hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan) seluas 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan hutan seluruhnya (Tabel 3). Ketidak-adilan alokasi pemanfaatan hutan ini berkontribusi terhadap terjadinya konflik maupun pelemahan modal sosial masyarakat adat. Tabel 3. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan (juta ha) 1. Usaha Besar & Kepentingan Umum Jenis Pemanfaatan dan Penggunaan Juta Ha % a. IUPHHK-HA 24,88 b. IUPHHK-HT 9,39 c. IUPHHK-RE 0,19 d. Pelepasan kebun & trans 5,93 e. IPPKH-Tambang, dll 0,62 Jumlah 1 41,01 99,49 2. Usaha Kecil danMasy Lokal/Adat Jenis Pemanfaatan Juta Ha % a. IUPHHK HTR 0,16 b. Hutan Desa 0,003 c. Hutan Kemasyarakatan 0,04 Jumlah 2 0,21 0,51 Jumlah 1 dan 2 41,69 100,00 Sumber: PermenHut No. 49/2011 7 e. Dengan kondisi bahwa wilayah masyarakat hukum adat tidak kunjung ditetapkan, sebaliknya dipersaingkan secara bebas dengan para pemegang ijin di Hutan Produksi serta pengelola Hutan Lindung maupun Hutan Konservasi, juga berkontribusi terhadap kerusakan hutan negara non hutan adat. Pemegang ijin di hutan alam (HPH /IUPHHK-HA), pada tahun 1994 terdapat sebanyak 555 unit seluas 64,29 juta Ha (PDBI, 1995)2, tahun 2011 menjadi 304 unit seluas 24,88 juta Ha (Kemenhut, 2011a)3. Demikian pula dari 50 kawasan konservasi (Taman Nasional) yang diidentifikasi, 27 lokasi diantaranya terdapat konflik penggunaan kawasan hutan yang merusak hutan konservasi (Kemenhut, 2011b)4. Diskursus demikian itu digunakan dan sejalan dengan politik pada masa kolonial maupun sistem pemerintahan yang cenderung menggunakan pendekatan represif dan/atau tidak berkeadilan sosial. Dalam perjalanannya, diskursus itu masih terbawa ke dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang antara lain ditunjukkan oleh pemaknaan atas definisi hutan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominanasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1, (2)). Definisi ini mengarahkan pengertian bahwa hutan tidak terkait apalagi dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan Undang-undang No 41/1999 tersebut, semua hutan termasuk kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 4 (1)). Berdasarkan statusnya, hutan diklasifikasikan menjadi hutan negara dan 2 Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), 1995. Forestry Indonesia. Jakarta. 3 Kemenhut, 2011. Roadmap Pembangunan Kehutanan berbasis Hutan Tanaman. Jakarta 4 Kemenhut, 2011. Roadmap Pembangunan Kehutanan berbasis Taman Nasional. Jakarta 8 hutan hak (Pasal 5, (1)), adapun wilayah masyarakat hukum adat yang berupa hutan diklasifikasikan sebagai hutan negara (Pasal 1, butir 6). Dengan kata lain, hutan negara dapat berupa hutan adat (Pasal 5, (2)) sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya (Pasal 5, (3)) dan apabila dalam pekembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (Pasal 5, (4)). Dalam penjelasan Pasal 5 (1) disebutkan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4 (1)). Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengetian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Disamping itu, Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus (Pasal 8), untuk kepentingan umum seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta 9 religi dan budaya. Secara ringkas, status, alokasi dan penguasaan hutan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Ringkasan Status, Alokasi dan Penguasaan Hutan Status dan Alokasi Hutan Pengelolaan Hutan Dikuasai Negara 1. HUTAN NEGARA Semua hutan dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Note: Dalam penjelasan Pasal 4 (1), pengertian “dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2). a. Hutan negara, hutan adat Dikelola sesuai hak masyarakat hukum adat b. Hutan negara, hutan desa Untuk kesejahteraan desa c. Hutan negara, hutan kemasyarakatan Untuk pemberdayaan masyarakat d. Hutan negara untuk tujuan khusus Untuk litbang, diklat, religi dan budaya e. Hutan negara selain hutan adat, hutan desa, hutan kemasyara-katan dan tujuan khusus Ekonomi, sosial, lingkungan 2 HUTAN HAK Sesuai tujuan yang ditetapkan pemiliknya Sumber: UU No. 41/1999 Menetapkan hutan adat sebagai hutan negara di dalam wilayah masyarakat hukum adat, dengan demikian, dapat diinterpretasikan sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara (penjelasan Pasal 5, ayat 1), namun substansi hak menguasai itu dimaknai sejalan dengan doktrin scientific forestry sebagaimana diuraikan di atas. Pengaturan tentang Pengelolaan Hutan berbasis masyarakat atau social forestry terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana Undang-Undang ini merupakan satu-satunya yang mengatur sektor Kehutanan di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur mengenai5: 1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; 2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan 5 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 10 3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Kemudian untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan, maka dalam Pasal 68 Bab Peran serta Masyarakat ayat (2) huruf a menyebutkan “ masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku “, maksud dari Pasal 68 ayat (2) huruf a tersebut memandatkan lahirnya suatu konsep hukum yang mengakomodir peran strategis masyarakat dalam memanfaatkan hutan dan hasil hutan. Kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta untuk pemanfaatan hutan maka lahirlah Permenhut Nomor P.37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Tahun 2010, sebanyak 5 (Lima) Kelompok Tani di 5 (Lima) Nagari di Pasaman Barat mengajukan Permohonan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM), yaitu : Nagari Kinali, Nagari Koto Baru, Nagari Kajai, Nagari Sinuruik dan Nagari Desa Baru.6 Saat ini, dokumen Permohonan Izin Hutan Kemasyarakatan di 5 (Lima) Nagari tersebut sudah di Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, tinggal menunggu Izin Pencadangan Kawasan Hutan Kemasyarakatan dari Menteri Kehutanan dengan total luasan kawasan hutan yang diusulkan 4.882 Ha. Setelah Izin Pencadangan dari Menteri Kehutanan terbit, Bupati wajib mengeluarkan Surat Keputusan tentang Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) sebagaimana yang di perintahkan dalam Permenhut Nomor P.37 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Rencana Pemanfaatan Hutan melalui Hutan Kemasyarakat ini tentu saja perlu di perhatikan oleh semua pihak, baik Masyarakat 6 Data Dinas Kehutanan Kabupaten Pasaman Barat, Tahun 2010 11 maupun Pemerintah Daerah agar setelah Izin HKm tersebut keluar maka sudah ada prosedur yang jelas di daerah terkait Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan tersebut. Doktrin Social Forestry atau Hutan Kemasyarakatan sudah menjadi agenda Kehutanan Di Indonesia, hal ini dapat dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan serta diperkuat dengan lahirnya Permenhut Nomor 37 Tahun 2007 Jo P.18 Tahun 2009 Jo P.13 Tahun 2010 Jo P.52 Tahun 2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Di dalam Permenhut Nomor P.52 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Permenhut Nomor P.37 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan misalnya, dalam Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan: UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial melakukan Koordinasi antar dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja Hutan Kemasyarakatan dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk membuat permohonan izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada Bupati/Walikota. Dari penjelasan di atas, tampak bahwa dalam permohonan calon izin Hutan Kemasyarakatan tersebut melibatkan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan juga Pemerintah Pusat, namun kenyataannya masyarakat yang mengajukan permohonan izin Hutan Kemasyarakatan masih bingung dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Permenhut Nomor P.37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan serta tidak adanya regulasi lain terkait dengan Hutan Kemasyarakatan ini. Tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Proses Pengajuan Izin sampai dengan Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan ini memperlihatkan pembagian urusan pemerintahan dalam bidang Kehutanan yang kurang berjalan dan berpotensi akan menimbulkan masalah nantinya di Kabupaten Pasaman Barat.

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Pascasarjana Tesis
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 26 Feb 2016 04:40
Last Modified: 26 Feb 2016 04:40
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2094

Actions (login required)

View Item View Item