Raymond, Septian Laoli (2015) PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBERI BANTUAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM. Diploma thesis, Universitas Andalas.
Text
518.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
Abstract
Indonesia sebagai Negara Hukum1 yang secara jelas ditegaskan dalam konstitusi, berkewajiban memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).2 Perlindungan terhadap HAM dalam Konstitusi salah satunya tergambar dari jaminan yang ada dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Prinsip yang sama juga ditemukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana 1Dalam sebuah Negara Hukum menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, secara umum terdapat beberapa unsur, diantaranya: 1.) Pengakuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial dan pendidikan. 2.) Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuasaan lain apapun 3.) Legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuk. Lihat Darmawan Triwibowo, 2007, Analisa Terhadap Perkembangan & Prospek Bantuan Hukum Struktural di Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta, hlm. 27. 2Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Lihat dalam Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3886. 2 diamanatkan konstitusi dan nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi. Bantuan hukum sudah berjalan jauh sebelum pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum). Pelaksanaan bantuan hukum pada dasarnya bersumber dari asas kesamaan perlakuan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law), dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang sebelumnya sudah diakui dalam peraturan dan kebijakan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam melihat kerangka hukum tentang bantuan hukum tidak bisa dilepaskan dari masa waktu sebelum UU Bantuan Hukum diberlakukan. Bantuan hukum adalah media bagi warga negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah hak warga negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu menghadapi kekuatan negara secara struktural. Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan dan penyadaran hak-hak warga negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam 3 semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU Bantuan Hukum memberi peluang terhadap perlindungan hak warga negara yang sedang menjalani proses hukum. Ada 2 (dua) latar belakang yang menjadi dasar pembentukan UU Bantuan Hukum, yaitu: (1) jaminan negara terhadap hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan HAM; (2) negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Bantuan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Dalam Pasal 3 UU Bantuan Hukum menegaskan bahwa, Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: a. Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses terhadap keadilan; b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata diseluruh wilayah Indonesia; dan d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya UU Bantuan Hukum hanya mengatur lembaga dan organisasi yang berwenang memberikan layanan bantuan hukum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UU Bantuan Hukum bahwa, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan undang-undang ini. Pemberian bantuan hukum berupa jasa hukum yang diberikan oleh Advokat sebagai kewajiban pro 4 bono publico3 terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, kemudian lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Adapun bantuan hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi. Standar kerja profesional seorang Advokat sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam kewajibannya terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi dan para kliennya. Dalam pembukaan KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia, 2002) dikatakan bahwa advokat adalah suatu jabatan terhormat (nobile officium) karena itu padanya terdapat kewajiban berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertanggungjawab (responsible), sebagaimana dapat disimpulkan dari ungkapan “noblesse oblige” (kedudukan terhormat membawa kewajiban).4 Melalui program bantuan hukum, Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemayarakatan (selanjutnya disebut LBH atau Ormas) merupakan mitra kerja pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Artinya, gerakan bantuan hukum mendasarkan kepada peningkatan kesadaran dan pemajuan kondisi kehidupan masyarakat. Pemberian layanan bantuan hukum di dalam UU Bantuan Hukum tidak dilakukan langsung oleh pemerintah sebagai pihak yang berperan dalam regulator. Namun, bantuan hukum tersebut diberikan oleh LBH atau Ormas atau 3Yakni perwakilan profesional secara gratis yang dilakukan oleh pengacara tunjukan pengadilan–dianggap sebagai koreksi terhadap distribusi sumber daya hukum yang timpang antara orang yang berada dan orang yang tidak berpunya. Lihat Daniel S Lev, 2013, Hukum dan politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 439. 4Mardjono Reksodiputro, 2013, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, hlm. 92. 5 yang oleh UU Bantuan Hukum disebut dengan Pemberi Bantuan Hukum (selanjutnya disebut PBH). Agar dapat disebut PBH, suatu LBH atau Ormas harus mengikuti proses verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Kemenkumham). Apabila LBH atau Ormas tersebut berhasil memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan selama proses verifikasi, maka pemerintah akan menyatakan LBH atau Ormas tersebut lulus verifikasi dan ditentukan nilai akreditasinya. LBH atau Ormas yang sudah terakreditasi dapat dianggap sebagai PBH dan dapat memberikan layanan bantuan hukum sesuai dengan UU Bantuan Hukum. Mengenai penentuan standar dan persyaratan yang harus dipenuhi LBH atau Ormas dalam proses verifikasi, Panitia Verifikasi memang tidak memiliki peran besar. Sebab standar tersebut sudah dicantumkan dalam UU Bantuan Hukum dan peraturan pelaksananya. Syarat umum bagi pemberi bantuan hukum, sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (2) UU Bantuan Hukum adalah berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap, memiliki pengurus dan program bantuan hukum. Seiring dengan meningkatnya kesadaran warga dan menguatnya kebutuhan warga untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya di depan hukum, telah memicu tumbuhnya organisasi-organisasi penyedia layanan bantuan hukum oleh masyarakat sipil dan negara dengan fungsi yang serupa. Perkembangan yang signifikan terjadi pada awal tahun tahun 1970-an dengan didirikannya organisasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) oleh Persatuan Advokat Indonesia. LBH jauh melampaui pembelaan hukum semata-mata dan menjangkau perombakan hukum 6 dan sosial, para mahasiswa fakultas hukum disaring berdasarkan tanggung jawab dan kesadaran sosial mereka di samping juga berdasar keterampilan mereka. Pada tahun 1978, LBH membuka cabang di beberapa daerah. Pada tahun yang sama didirikan 14 kantor cabang di daerah.5 Di Sumatera Barat, gerakan bantuan hukum struktural6 dimotori oleh LBH Padang.7 Selama 32 tahun LBH Padang berkontribusi memperjuangkan penegakan hukum, hak asasi manusia , dan demokrasi. Aktifitas gerakan LBH Padang tidak lepas dalam mewujudkan visi terwujudnya sistem hukum yang adil dan demokratis berbasiskan gerakan masyarakat sipil khususnya di Sumatera Barat.8 Sebagai alat dasar pemenuhan akses keadilan bagi masyarakat miskin, LBH Padang turut berkiprah dalam melakukan perjuangan mewujudkan keadilan secara merata serta penegakan HAM di Sumatera Barat. Kurun dalam catatan LBH Padang, sepanjang tahun 2009 ada 182 kasus, tahun 2010 meningkat menjadi 271 kasus dan pada tahun 2011 mencapai 276 kasus yang meminta bantuan hukum.9 Kondisi ini jelas memperlihatkan bahwa peningkatan kebutuhan akses bantuan hukum meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga menandakan posisi LBH Padang memiliki posisi sentral dalam konstelasi hukum dan politik di daerah. Sebagai sarana access to 5Empat belas kantor cabang LBH itu terdiri dari Aceh, Medan, Padang, Palembang, Pekanbaru, Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makasar, dan Manado. Lihat Frans Hendra Winarta, 2009, Probono Publico, Konstitusional Untuk Memperoleh, Gramedia, Jakarta, hlm. 61. 6Gagasan bantuan hukum struktural awalnya diperkenalkan oleh Prof. Paul Mudikdo, yang bertujuan untuk membangun kesadaran hukum masyarakat (diistilahkan dengan “konsientisasi” istilah dari Brazilian Paulo Freire yang mengembangkan konsep-konsep pendidikan orang dewasa “Pedagogy of the Oppressed”, 1970) yang mendasari kemandirian masyarakat agar mampu untuk mempertahankan dan memperjuangkan haknya dan merubah struktur sosial yang penuh dengan ketimpangan (unjust social structure). Lihat Abdul Rachman Saleh, 2006, “Memajukan Akses Keadilan Melalui Bantuan Hukum”, Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal terhadap Keadilan, Jakarta: LBH Jakarta, hlm. 18. 7Rony Syahputra, dkk, 2013, Ketika Kebebasan Beragama, Berkeyakinan, Berekspresi Di Adili, LBH Padang-HIVOS, Padang, hlm.177. 8LBH Padang sendiri resmi berdiri pada tanggal 20 Januari 1982 dan menjadi salah satu kantor dibawah naungan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Ibid. 9Laporan akhir tahun Divisi PKP LBH Padang 2010 dan 2011 7 justice bagi masyarakat miskin, LBH Padang memiliki peranan penting dalam mewujudkan tatanan sistem hukum yang adil, menjunjung tinggi HAM dan demokratisasi di Sumatera Barat. Bantuan hukum memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem peradilan pidana di Indonesia. Bantuan hukum merupakan bagian integral dari profesi advokat (legal profession)10 yang menjadi subsistem dalam sistem peradilan pidana selain polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Hak untuk memperoleh bantuan hukum tidak hanya terdapat dalam UUD 1945 saja namun juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut proses peradilan yang adil (due process of law), hal ini dapat dilihat pada bantuan hukum yang diatur pada Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 Bab VI KUHAP yang mengatur hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum. Bahkan dalam Pasal 56 ditentukan bahwa pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih. Ditentukan pula bahwa setiap penasehat hukum yang ditunjuk oleh pejabat sebagaimana dimaksud diatas memberi bantuannya dengan cuma-cuma. Namun, ketika menjalankan kerja-kerja advokasi dan pemberian layanan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas, PBH juga 10Frans Hendra Winarta, op., cit, hlm. 14-15. 8 tidak luput dari berbagai hinaan, cacian dan stigma berbau negatif dari kelompokkelompok yang kepentingannya terganggu dan dirugikan.11 Sehingga, tindakantindakan seperti ini dapat memicu ancaman, intimidasi, dan bahkan berujung kepada kekerasan psikis maupun fisik, serta pembatasan-pembatasan tertentu seperti pembatasan kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan berorganisasi. Misalkan, kasus penyerangan dan ancaman yang terjadi di LBH Padang12 pada tanggal 26 Februari 2014. Penyerangan dan ancaman ini berasal dari keluarga pihak korban yang tidak menginginkan LBH Padang untuk mendampingi tersangka pencurian yang juga korban penyiksaan aparat kepolisian. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap PBH terkait dengan aktifitas perlindungan, promosi, dan penegakan hak asasi manusia mutlak diperlukan. Pasal 9 huruf g UU Bantuan Hukum mengatur hak-hak PBH salah satunya berhak untuk mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Berdasarkan uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pemberi bantuan hukum menurut UU Bantuan Hukum terutama di wilayah Kota Padang dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Sumatera Barat atas kaitannya dalam mewujudkan tatanan sistem hukum yang adil. Untuk itu, dalam penulisan skripsi ini, peneliti mencoba meneliti dengan rumusan judul : PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBERI 11Rony Syahputra, dkk, op., cit, hlm. iv. 12Lihat : Padang Ekspres, 2014, Kantor LBH Diserang: Keluarga Korban Jambret Minta Pelaku tak Dibela, Padang, 27 Februari 2014; Harian Singgalang, 2014, Gara-gara Membela Pelaku Jambret: Direktur LBH Padang Nyaris Dibakar, Padang, 27 Februari 2014; Pos Metro Padang, 2014, Bela Jambret, LBH Diamuk: Direktur Vinno Octavia Nyaris Dibakar, Padang, 27 februari 2014. 9 BANTUAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (Studi di Kantor LBH Padang dan Kantor PBHI Sumatera Barat).
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Lyse Nofriadi |
Date Deposited: | 26 Feb 2016 04:34 |
Last Modified: | 26 Feb 2016 04:34 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/2081 |
Actions (login required)
View Item |