M, Nurul Fajri (2016) HAK PREROGATIF PRESIDEN DALAM PENGANGKATAN MENTERI PADA ERA PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG DI INDONESIA. Masters thesis, Universitas Andalas.
|
Text (Cover dan Abstrak)
Cover.pdf - Published Version Download (53kB) | Preview |
|
|
Text (Pendahuluan)
BAB 1.pdf - Published Version Download (569kB) | Preview |
|
|
Text (Penutup)
BAB 5.pdf - Published Version Download (101kB) | Preview |
|
|
Text (Daftar Pustaka)
Daftar Pustaka.pdf - Published Version Download (152kB) | Preview |
|
Text (Tesis Full Text)
Tesis Full.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (3MB) |
Abstract
ABSTRAK Dalam sistem presidensial dan Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, kebadaraan menteri merupakan pembantu Presiden di mana dalam pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogatif Presiden. Dalam faktanya, sistem presidensial multipartai di Indonesia seakan membuat hak prerogatif presiden dalam mengangkat menteri tereduksi oleh praktik dan dinamika koalisi partai politik pendukung pemerintahan. Mulai dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, komposisi menteri di kabinet selalu merepresentasikan koalisi. Penelitian ini hendak meneliti bagaimanakah dinamika hak prerogatif presiden dalam pengangkatan menteri dalam sistem presidensial multipartai pada era pemilihan presiden secara langsung di Indonesia serta bagaimana konsepsi hak prerogatif presiden pada pengangkatan menteri kedepannya dengan metode yuridis normatif. Praktik koalisi selama ini telah mereduksi hak prerogatif presiden dalam mengangkat menteri dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia. Sehingga sulit untuk menilai apakah keputusan presiden dalam mengangkat atau memberhentikan menteri merupakan keputusan mutlak presiden atau adalah sebuah realitas politik yang tidak dapat dihindari oleh presiden. Sementera itu, Pasal 17 UUD 1945 setelah perubahan serta Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara lebih umum mengatur tentang kelembagaan kementerian negara. Akan tetapi tidak memperkuat hak prerogatif presiden dalam mengangkat menteri serta sistem presidensial. Sementera presiden harus menghadapi risiko loyalitas ganda menteri yang berlatar belakang politik. Sehingga sangat rentan menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan. Presiden seharusnya menyadari bahwa dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, praktik koalisi partai bukanlah sebuah keharusan. Mengangkat menteri dari kalangan profesional independen (ahli) justrus merupakan hal yang sangat penting untuk mempermudah tercapainya visi dan misi pemerintahan. Selain itu juga diperlukan aturan yang memperkuat hal tersebut. Aturan tersebut mengatur bahwa orang-orang yang menjadi menteri harus mengundurkan diri keanggotaan partai politik bahkan jabatan-jabatan lain yang dipandang akan menciptakan loyalitas ganda para menteri. Selain itu memperkuat sistem presidensial mutlak dibutuhkan, khususnya dalam pembenahan sistem pemilu legislatif dan mereformasi partai politik. Kata kunci: presiden, menteri, sistem presidensial
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) K Law > KZ Law of Nations |
Divisions: | Pascasarjana (Tesis) |
Depositing User: | s2 ilmu hukum |
Date Deposited: | 18 Jan 2017 03:54 |
Last Modified: | 18 Jan 2017 03:54 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/20246 |
Actions (login required)
View Item |