HUBUNGAN KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE SERUM DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL DAN SEVERITAS CEDERA KEPALA

LYDIA, SUSANTI (2015) HUBUNGAN KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE SERUM DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL DAN SEVERITAS CEDERA KEPALA. Masters thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
265.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas di dunia dengan angka kematian lebih dari 100.000 jiwa setiap tahunnya di Amerika Serikat, dan dua juta individu mengalami disabilitas permanen setiap tahunnya. Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak pada usia produktif dibanding stroke dan penyakit jantung dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian terbanyak di tahun 2020 (Schouthen&Maas, 2011; Begaz, 2013). Saat ini, evaluasi awal pasien cedera kepala bergantung kepada pemeriksaan neurologis dan diagnosis cedera kepala akut berdasarkan kepada pemeriksaan neurologis dan pencitraan. Penilaian neurologis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) memberikan informasi yang cepat mengenai gangguan neurologis fungsional yang terdiri dari fungsi motorik, verbal dan respon mata. Disamping itu GCS juga bisa diperiksa oleh paramedik dan memiliki nilai reliabilitas interobserver sedang (Blumberg, 2011; Sharma&Laskowitz, 2011). Secara umum, pasien dengan skor GCS 13-15 dimasukan ke dalam kriteria cedera kepala ringan, skor GCS 9-12 cedera kepala sedang, dan GCS di bawah 9 cedera kepala berat (Perdossi, 2006 ; Berger, 2011). Penggunaan skor GCS sebagai alat diagnostik ini memiliki beberapa keterbatasan. Marion dan Carlier melaporkan bahwa pada kondisi tertentu, seperti pasien yang diintubasi sulit untuk dilakukan pemeriksaan ini. Sharma melaporkan bahwa pemeriksaan GCS mempunyai validitas rendah pada pasien yang menggunakan sedasi, mengalami intoksikasi alkohol, dan pasien yang 17 pernah mengalami gangguan neurologis sebelumnya, sedangkan sebuah penelitian mendapatkan sebanyak 74 pasien cedera kepala yang dirawat didapatkan hasil tes darah positif mengkonsumsi obat-obatan (Sharma& Laskowitz, 2011 ; Mondello et al., 2011). Pemeriksaan GCS juga sangat buruk sebagai prediktor sekuele neuropsikiatri pada pasien cedera kepala ringan. Di sebuah Trauma senter di Amerika Serikat teknik pencitraan otak seperti Computed Tomography scan (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mendapatkan informasi yang objektif dalam menentukan lokasi cedera kepala dan sebagai acuan dalam penatalaksanaan. Walaupun CT scan bisa digunakan untuk menentukan terdapatnya perdarahan yang berguna dalam membuat keputusan apakah pasien akan menjalani tindakan operatif, namun dalam beberapa kasus akan sulit melakukan pemeriksaan CT Scan, karena pasien harus dalam keadaan tenang dan memerlukan mobilisasi yang bisa memperburuk keadaan pasien (Berger, 2011; Sharma&Laskowitz, 2011, Xiong et al., 2013). Pemeriksaan CT scan otak juga kurang sensitif dalam menilai perdarahan dengan diameter kecil (punctate hemorrhagic), konkusio, kontusio atau diffuse axonal injury (DAI) sehingga banyak kasus cedera kepala yang diabaikan penatalaksanaannya karena tidak terlihat kelainan pada CT scan, dan akan memberi dampak dalam beberapa tahun ke depan, baik berupa gangguan kognitif sementara maupun permanen, serta disfungsi psikis dan psikologis (Berger, 2011; Sharma&Laskowitz, 2011). Pemeriksaan radiologis yang dapat mendeteksi adanya DAI adalah dengan menggunakan MRI, tapi biaya pemeriksaan MRI sendiri sangat mahal, 18 membutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dan bukanlah pilihan pemeriksaan pada cedera kepala akut (Mass et al., 2008). Untuk mengatasi keterbatasan penggunaan GCS dan pencitraan otak dalam mendiagnosis dan menilai tingkat keparahan dan outcome pasien cedera kepala, Beberapa penelitian belakangan ini lebih berfokus kepada penggunaan biomarker pada cedera kepala. Biomarker lebih mudah diperiksa karena sampel yang mudah diambil (darah, serum) dibanding dengan MRI atau CT scan (Berger, 2011). Analisis terhadap serum biomarker untuk memonitor kerusakan jaringan sistem saraf pusat di tingkat subklinik sangat dibutuhkan. Biomarker juga dapat mengidentifikasi proses di otak yang tidak terlihat pada pencitraan, seperti diffuse axonal injury (DAI). Monitor dilakukan terhadap protein-protein spesifik yang berasal dari neuron maupun sel astroglia dalam darah tepi. Hal ini juga dapat dijadikan patokan tingkatan dari cedera kepala, infark serebri, hemoragik intrakranial, tumor otak yang progresif, kerusakan otak setelah dilakukan cardiopulmonary bypass dan trauma tulang belakang (Loy et al., 2005). Sampai saat ini belum ada biomarker cedera kepala yang telah mendapat persetujuan dari FDA untuk identifikasi atau memprediksi severitas cedera kepala (Mondello et al., 2011 ; Sharma&Laskowitz, 2011; Borg et al., 2013). Terdapat beberapa marker yang digunakan sebagai penanda tingkat keparahan cedera kepala (Berger, 2011). Marker yang sering menjadi bahan penelitian belakangan ini adalah protein neuronal seperti Neuron-spesific enolase (NSE), neurofilament polypeptides dan tau, serta protein astroglial seperti S-100B dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) yang diketahui sebagai indikator kerusakan otak (Woertgen, 1997; Siman, 2009). Pada beberapa studi ditemukan 19 perubahan kadar biomarker di atas pada cairan serebrospinal maupun serum berhubungan dengan prognosis (Siman, 2009). Protein S-100B telah banyak diteliti pada pasien cedera kepala. Protein S- 100B merupakan protein yang berikatan dengan kalsium di astrosit yang dapat dijadikan marker kerusakan dan kematian astrosit. Beberapa studi melaporkan S- 100B serum secara konsisten berhubungan dengan skor GCS saat masuk rumah sakit (Mondello, 2011). Glial fibrilary acidic protein (GFAP) adalah protein yang berasal dari astrosit, filament intermediet yang terdapat pada proses astrogliosis. Terdapat peningkatan kadar GFAP pada pasien cedera kepala sedang dengan gambaran CT abnormal. Marker ini menjanjikan untuk menilai outcome fungsional, namun sensitifitasnya hanya 18% (Sharma, 2012). Neuron-specific enolase merupakan marker untuk cedera otak akut, suatu enzim glikolitik yang beperan dalam proses glikolisis di otak. Neuron-specific enolase terdapat terutama di sitoplasma sel-sel neuron. Enzim ini tidak disekresi ke cairan ekstraseluler oleh neuron yang utuh (Berger et al., 2002; Meric, 2010; Berger, 2011). Pada keadaan terjadinya kerusakan neuronal, seperti pada stroke dan cedera kepala, banyak enzim enolase yang tidak terpakai karena penurunan proses glikolisis aerob, sehingga dalam sirkulasi kadarnya meningkat. Kerusakan neuronal serta gangguan membran sel, akan menyebabkan sawar darah otak terganggu dan terjadi disintegrasi sel-sel astroglial, sehingga NSE akan dengan mudah berdifusi ke dalam ekstraselular dan cairan serebrospinal (Wardiyani, 2010). Penelitian pada hewan coba mendapatkan kadar NSE meningkat 2 jam setelah infark pada otak dan bertahan hingga 2,5 hari (Hartfield et al., 1992 ; 20 Barone et al., 1993). Pada kondisi dimana kematian neuron terus berlangsung, kadar NSE akan tetap tinggi di cairan serebrospinal dan serum (Pelinka, 2004). Bila dibandingkan dengan penanda kerusakan otak yang lain, NSE memiliki sensitivitas yang tinggi, stabil (tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin dan suhu) dan NSE cepat meningkat setelah terjadinya cedera kepala (Marangos, 1988 ; Meric, 2010). Neuron specific enolase merupakan suatu enzim yang diproduksi oleh sel neuron bukan oleh glial yang berarti bila ada jejas yang terjadi pada sel neuron maka akan terjadi peningkatan kadar NSE baik dalam serum maupun dalam CSF (Pelinka, 2004). Pada cedera kepala akan terjadi jejas yang akan menyebabkan hipoksia dan kerusakan sawar darah otak sehingga terjadi iskemia sel neuron sehingga akan terjadi kerusakan sel neuron kemudian kadar NSE serum akan meningkat (Pelinka, 2004). Terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara kadar NSE dengan cedera kepala, baik pada cairan serebrospinal maupun pada serum manusia dengan hasil yang belum konsisten. Penelitian Meric et al yang meneliti nilai prognostik NSE pada 80 orang pasien cedera yang terdiri dari cedera kepala ringan sedang dan berat. Dengan menggunakan uji statistik non parametrik didapatkan perbedaan signifikan kadar NSE pada pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dibanding pasien cedera kepala ringan. Tingginya kadar NSE berbanding terbalik dengan skor GCS (Meric, 2010). Penelitian oleh Hermann terhadap 66 pasien cedera kepala menyimpulkan bahwa konsentrasi serum NSE dan S-100B berhubungan dengan volume kontusio pada cedera kepala sedang dan 21 berat yang dinilai dari gambaran CT scan otak. Pemeriksaan NSE menggunakan metoda immunoluminometric assays (Hermann et al., 2000). Penelitian lain mendapatkan meningkatnya konsentrasi serum NSE dan S- 100B dalam 3 hari setelah Diffuse Axonal Injury berhubungan dengan outcome yang buruk (dinilai dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan dan 2 tahun setelah cedera kepala), walaupun gambaran pada CT scan hanya menunjukan kerusakan otak ringan (Chabok et al., 2012). Guzel et al yang melakukan penelitian terhadap 169 orang pasien cedera kepala mendapatkan korelasi negatif antara kadar NSE yang diperiksa dengan electrochemiluminescence dengan skor GCS (Guzel et al., 2008). Bohmer et al yang melakukan penelitian mengenai hubungan NSE, S100-B dan GFAP terhadap 20 pasien secera kepala berat yang dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini mendapatkan peningkatan kadar NSE dan S100-B pada pasien cedera kepala berat dapat memprediksi kematian otak (Bohmer et al., 2011). Penelitian oleh Ross (1996) terhadap 61 pasien cedera kepala yang dibandingkan dengan kontrol yang berjumlah 26 orang, mendapatkan hubungan antara NSE dengan skor GCS, namun tidak ditemukan hubungan antara NSE dengan GOS (Glasgow Outcome Scale) dan Injury Severity Score (ISS) (Ross, 1996). Beberapa penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda. Seperti penelitian oleh Olivecrona yang meneliti hubungan S-100B dan NSE dengan outcome (GOS 3 bulan, 12 bulan) pada 48 subjek dengan cedera kepala berat, dan tidak didapatkan hubungan yang signifikan (Olivecroma, 2009). Perbandingan kadar S22 100B dan NSE serial setelah cedera kepala berat : 30 pasien cedera kepala berat (GCS <9), yang datang dalam waktu 5 jam setelah kecelakaan, mendapatkan bahwa pengukuran pertama S-100B berhubungan dengan outcome, namun tidak halnya pada NSE (Woertgen,1997). Sebuah penelitian yang men-follow up selama 1 tahun pasien dengan cedera kepala ringan mendapatkan bahwa kadar S-100B merupakan prediktor long term injury, namun tidak pada NSE (Stalnacke, 2005). Di Indonesia sendiri penelitian mengenai NSE pada cedera kepala masih sangat terbatas. Penelitian oleh Wulandari melaporkan bahwa kadar NSE serum dapat dijadkan prediktor prognostik terjadinya kematian pada pasien cedera kepala (Setijorini, 2010).

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: R Medicine > R Medicine (General)
R Medicine > RC Internal medicine > RC0321 Neuroscience. Biological psychiatry. Neuropsychiatry
Divisions: Pascasarjana Tesis
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 26 Feb 2016 02:50
Last Modified: 26 Feb 2016 02:50
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1959

Actions (login required)

View Item View Item