PELAKSANAAN NATURALISASI BAGI ETNIS TIONGHOA DI KOTA BUKITTINGGI

RAHMADINA, PUTRI ZULKARNAEN (2013) PELAKSANAAN NATURALISASI BAGI ETNIS TIONGHOA DI KOTA BUKITTINGGI. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
51.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (479kB)

Abstract

Latar BelakangMasalah Bergulirnya globalisasi di seluruh sektor kehidupan masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi dan komunikasi yang mampu menembus batas wilayah kenegaraan. Aspek hubungan kemanusiaan yang selama ini hanya bersifat “kedaerahan” atau Nasional mampu berkembang menjadi bersifat internasional, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat kesetaraan dengan aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal. Bersamaan dengan perkembangan di dunia Internasional, Indonesia turut serta berbenah diri dengan pembangunan dan perubahan pada paradigma di berbagai aspek ketatanegaraan seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang. Pembangunan berarti mengerjakan proses perubahan dari suatu keadaan tertentu menuju keadaan yang lebih baik1 yang pada hakikatnya adalah mutlak dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pembangunan dan perubahan itu telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara Indonesia, sebagai bagian dari hak asasi manusia. Perlu ditekankan bahwa 1Suherman Toha, Pelayanan Kantor Imigrasi Bandara Internasional Soekarnohatta Contoh Sukses Penerapan GOOD GOVERNANCE Dalam Unit Kerja Keimigrasian, 1996, h. 1. 3 negara merupakan suatu organisasi kekuasaan (gezagsorganisatie)2 yang merupakan integrasi kekuasaan secara politik3, terbentuk atas unsur-unsur tertentu. Negara sebagai subjek Hukum Internasional harus memenuhi kualifikasi (1) mempunyai penduduk tertentu/a permanent population; (2) sebuah wilayah tertentu /a defined territory; (3) suatu pemerintahan/ a government; (4) suatu kemampuan untuk memasuki hubungan dengan negara-negara lain atau secara hukum cakap untuk mengadakan hubungan mandiri dengan negara lain /a capacity to enter into relation with other states4. A Permanent Population (=warga negara) merupakan elemen inti dari bangunan negara. karena itu masalah “kewarga dalam negara” menyangkut elemen yang paling sentral. Perumusan “negara” dalam berbagai aliran pemikiran dari para ahli mulai dari pemikiran kuno sampai pemikiran paling modern selalu menempatkan keberadaan warga negara sebagai unsur pokok5. Indonesia yang diidentikkan beragamannya suku bangsa dan kebudayaan, warga negara merupakan tiang penyangga utama atau sokoguru6 eksistensi bangunan negara. Konsepsi kewarganegaraan Indonesia, baik yang tersurat dalam Pembukaan 2Konsepsi “negara” sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi politik dapat dipahami dari pemikiran Logemann. Lihat dalam Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992, h. 13.; Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V Sinar Bakti, Jakarta, 1983, h. 25. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, h. 38. 4J.G. Starke, Introduction to international law,8th edition, Butterworth, London, 1977, h. 107. 5Arif Budiman, Teori Negara; Negara, kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, h. 27-32. 6Istilah “Sokoguru” dikemukakan oleh para perancang Undang-undang dasar di depan sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1971, h. 313 4 maupun batang tubuh UUD 1945, belum terindentifikasi dengan baik perspektif dan karakteristk hukumnya. Unsur warga negara erat kaitannya dengan tujuan pembentukan suatu negara, karena pada dasarnya negara didirikan untuk melindungi kepentingan warga negaranya. Pembukaan Undang - Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hak bangsa Indonesia dan merupakan pintu gerbang yang menghantarkan rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Frase “bangsa Indonesia”, “rakyat Indonesia”, dan “segenap bangsa Indonesia” adalah senafas dengan kata rakyat, bangsa, masyarakat, dan warga negara yang tersebar dalam pasal-pasal batang tubuh, sejajar dengan a permanent population yang dapat diterjemahkan dengan “warga” dari negara7 Indonesia. Indonesia yang diidentikkan dengan keberanekaragaman suku bangsa dan budaya, sikap saling bertoleransi sangatlah diperlukan. Selain penduduk asli Indonesia, Indonesia juga memiliki penduduk keturunan asing meskipun jumlahnya didominasi oleh penduduk yang beretnis China yang saat ini disebut dengan etnis Tionghoa. Secara Kuantitatif penduduk keturunan asing tersebut merupakan minoritas dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Penduduk keturunan etnis Tionghoa dalam hidup bermasyarakat tidak jarang dijadikan sasaran dan “kambing hitam” dari berbagai masalah yang timbul 7 J.S. Badudu dan Sutan Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, h. 1619 5 di dalam kehidupan sehari-hari. Sikap rasis, diskriminasi, dan anti Tionghoa timbul8 sebagai akibat adanya penggolongan penduduk Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berdasarkan pada Indische Staatsregeling tahun 1927 Pasal 163 ayat (1) dibagi atas tiga golongan, yaitu (1) Golongan Eropa, (2) Golongan Timur Asing, dan (3) Golongan Bumi Putera. Dan Penduduk Keturunan Tionghoa termasuk dalam Golongan Timur Asing. Penggolongan tersebut membawa konsekuensi yang luas bagi penduduk asli yang merasa diperlakukan tidak adil dan sangat diskriminatif serta memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk asing keturunan asing. Sedangkan bagi penduduk asing merasa dirinya memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa dibentuk oleh perkembangan sejarah sejak dahulu hingga sekarang. Mereka memiliki peranan penting dalam bidang ekonomi, industri, usaha-usaha keuangan, dan perbankan. Sampai saat ini, penduduk keturunan Tionghoa dapat dikatakan mendominasi kehidupan ekonomi di Indonesia. Perasaan rasis atau anti Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, tidak terlalu kentara terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya saja sikap rasis ini masih terlihat apabila mereka yang keturunan Tionghoa ingin melaksanakan Naturalisasi di Indonesia, khususnya di Kota Bukittinggi. Salah satu bentuk politik diskriminasi yang nyata dilakukan secara institutional di Indonesia adalah pernerapan institutional ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang utamanya ditujukan 8 Wahyu efendi, Jalan panjang menjadi WNI, kumpulan tulisan catatan pengalaman dan tinjauan kritis, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, h. 9 6 kepada warga negara Indonesia etnis Tionghoa beserta keturunannyaketurunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administrasif, secara esensi penerapan SBKRI ini sama artinya dengan upaya yang menempatkan warga negara Indonesia Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang masih “dipertanyakan” (status quo) Sebagai contoh umum, banyaknya penduduk etnis Tionghoa ini menoreh prestasi atas nama Indonesia. Susi Susanti, Ivana Lie, Hendrawan, dan lain lainnya. Mereka merupakan contoh sebagian kecil dari etnis Tionghoa yang menunjukkan kesetiaannya terhadap bangsa Indonesia tetapi mereka juga tetap melewati sikap diskriminasi birokrasi yang dilaksanakan secara nyata di lapangan. Kesulitan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia ini sebenarnya tidak ada lagi dan telah teratasi dengan adanya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Repulik Indonesia. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan adanya Undang-Undang tersebut dapat menjamin kemudahan bagi warga negara asing khususnya mereka yang beretnis Tionghoa ini mudah memperoleh statusnya sebagai Warga Negara Indonesia sedangkan Surat Bukti Kewarganeraan Indonesia (SKBRI) ini masih sering diminta oleh para petugas pelayanan publik, khususnya petugas Dinas Catatan Kependudukan Sipil dan petugas Keimigrasian. Meskipun telah ada beberapa instrumen ataupun peraturan pemerintah Republik Indonesia yang telah menghapus kewajiban adanya SKBRI tersebut? Selain itu, kita juga harus meninjau dan memprediksi untuk masa yang akan datang. Sama-sama yang telah kita ketahui bahwa, tahun 2015 merupakan 7 kesempatan emas bagi ASEAN khususnya Indonesia karena jalur untuk ASEAN COMMUNITY9 secara resmi telah dibuka. Sehingga hal ini memungkinkan bahwa arus lalu lintas manusia (dibaca:kependudukan) warga negara asing di Indonesia semakin membludak. Dan hal ini tidak akan menutup kemungkinan akan terjadinya peningkatan permintaan untuk melaksanakan Naturalisasi yang sangat signifikan. Berdasarkan hal inilah alasan bagi penulis untuk memilih judul “PELAKSANAAN NATURALISASI BAGI ETNIS TIONGHOA DI KOTA BUKITTINGGI”

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 24 Feb 2016 08:55
Last Modified: 24 Feb 2016 08:55
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1809

Actions (login required)

View Item View Item