PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PENGOBATAN PASIEN GANGGUAN JIWA

FEBBY, FHITRISHIA (2008) PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PENGOBATAN PASIEN GANGGUAN JIWA. Diploma thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
022.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (680kB)

Abstract

Latar Belakang Masalah kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia, dan di Sumatera Barat khususnya mempunyai ciri tersendiri dan spesifik, ini dapat dilihat dari berbagai macam dikotomi dan aspek dalam hal penanganan dan penyebab masalah-masalah yang berkaitan erat dengan kesehatan seperti keterkaitannya dengan pranata sosial lainnya dalam masyarakat, misalnya kemampuan ekonomi, taraf pendidikan, serta keterkaitannya dengan aspek pengetahuan budaya (cultural knowledge) seperti nilai budaya, dan norma-norma yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya, kebutuhan akan kesehatan sangat terkait dengan kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari kebutuhan: A. Primer yang bersumber pada aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia yang mencakup kebutuhan akan: makan dan minum, buang air, berkeringat, perlindungan dari cuaca, suhu, istirahat, tidur, pelepasan dorongan seksual dan reproduksi, kesehatan yang baik. B. Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder yang terwujud sebagai hasil akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tergolong sebagai kebutuhan yang primer, yang harus dipenuhi dengan cara melibatkan orang/sejumlah orang yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan : berkomunikasi dengan sesama, kegiatan-kegiatan bersama, kepuasan akan benda-benda material, kekayaan, sistemsistem pendidikan, keteraturan sosial dan kontrol sosial, kerjasama, persaingan dan bahkan konflik antar kelompok sosial. C. Kebutuhan integratif, yang muncul dan terpencar dari hakekat manusia sebagai mahluk pemikir dan bermoral (yang berbeda dari jenis-jenis mahluk lainnya), yang fungsinya adalah mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan menjadi suatu satuan sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi para pendukung kebudayaan tersebut, yakni mencakup kebutuhan-kebutuhan akan adanya perasaan bersalah, adil, tidak adil, mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen kolektif/kebersamaan, perasaan keyakinan diri (consistence ) dan keberadaannya (existence ) ungkapan-ungkapan estetika, keindahan dan moral, rekreasi dan hiburan (Suparlan, 2004). Kesemua kebutuhan tersebut tentunya dapat dipenuhi apabila dalam kondisi sehat, sehingga kesehatan dapat merupakan sebuah pranata sosial tersendiri yang mengatur dan menjaga secara keseluruhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik secara biologi, maupun psikologi dan sosial. Sehingga dengan demikian kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping pangan, pemukiman, dan pendidikan, serta lainnya, karena hanya dalam keadaan sehat manusia dapat hidup, tumbuh dan berkarya lebih baik. Dalam Undang-Undang No 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan RI menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan (Arief, 1994;1). Konsep sehat yang sering terdengar dari mulut masyarakat suatu kondisi atau keadaan dimana tubuh tidak sakit, konsep sehat masa kini berbeda dengan gambaran di atas kini konsep sehat lebih menyeluruh meliputi sehat fisik, mental dan sehat sosial yang merupakan modal hidup sejahtera kondisi sehat seperti ini disebut dengan total fitnes (Dr. Sumaryati Arjoto dalam Intisari,1995 ;II). Secara umum kesehatan tersebut dapat dibagi atas dua kelompok besar yakni : kesehatan jasmani dan kesehatan mental atau kejiwaan. Kesehatan jasmani merupakan (keserasian) bekerjasamanya semua fungsi-fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan, di samping secara positif merasa gesit, kuat, dan bersemangat. Sedangkan kesehatan jiwa merupakan keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi goncangan-goncangan jiwa yang dengan biasa terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan (Azis, Abdul, 1974;36-38). Dari defenisi di atas, kesehatan merupakan suatu syarat yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang, namun keadaan sehat dan kualitas sehat masih relatif dan mempunyai berbagai arti dan interprestasi bagi setiap orang, dan ini sangat terkait dengan bentuk kebudayaan yang dijadikan pedoman oleh orang tersebut serta kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Terlepas dari pengaruh budaya dan kondisi lingkungan, menurut data yang bersumber dari kesehatan modern terutama pada masalah kesehatan jiwa, diperkirakan satu dari empat orang Indonesia menderita gangguan jiwa yang diungkapkan oleh Direktur Jendral Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH (Neraca, 10 April 2001). Dalam bidang kesehatan jiwa, batas jiwa yang sakit adalah derajat tingkah laku menjadi subtantif dan simbolis dengan cara yang tidak dapat dikehendaki dan derajat cara menghadapi masalah dengan cara neorotis dan rasional, dan tidak dengan cara yang rasional adanya fiksasi watak dengan keterbatasan-keterbatasannya terhadap aktualisasi diri yang menimbulkan gejala kehilangan atau kerusakan fungsi-fungsi yang sebelumnya ada berulang-ulang tingkah laku regresif dan distoris efek-efek memberi bukti adanya penyakit pada psikologi seseorang atau gangguan jiwa (Tan Pariaman, 1984 dalam Hidayat, 2006;1). Orang-orang yang memiliki predisposisi psikis yang lemah dan labil ditambah pengalaman-pengalaman trumatis dan cara pemaksaan yang keliru bias memunculkan gejala dekompensasi psikosis dan neurosa kontitusi jasmaniah dan rohaniah yang tidak efektif juga penyakit tertentu yang tidak bias disembuhkan dan merusak system saraf otak akan mengakibatkan munculnya perubahan karakter dan macam-macam gangguan psikis( Kartono, 1997;31-32). Survey Epidemiologis Catchment Areas (ECA) di Amerika Serikat, suatu studi Epidemiologi Psikiatri yang terkenal dan terpercaya di dunia, menunjukan sekitar 20% orang dewasa mengalami gangguan jiwa yang terdiagnosis setiap tahun di Indonesia, hasil survey kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) yang dilakukan oleh jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia (Bahar, dkk, 1995) menemukan, 185 dari 1.000 penduduk menunjukan gejala-gejala gangguan jiwa. Artinya, dalam setiap rumah tangga di Indonesia setidaknya terdapat satu orang yang mengalami gangguan jiwa (Siswono,2001 dalam Kostiani,2007;1). Di Kota Padang sendiri terdapat lebih kurang 20% dari penduduk yang mengalami ganguan jiwa, kenyataan ini menyebabkan pemerintah daerah dan instansi yang terkait seperti RSJ Prof.H.B.Sa’anin (Ulu Gadut) tiap tahunnya mengalami apa yang diistilahkan dengan BAR (Bad Akuvasi Rate) atau rata-rata penghunian tempat tidur rumah sakit jiwa diramaikan lebih dari 250 pasien, sedangkan tempat tidur yang dimiliki hanya 200 (Tisnawati, 1997;2). Hal ini juga terjadi sampai dengan tahun 2007 dimana pasien gangguan jiwa semakin meningkat, sementara sarana dan prasarana untuk menampung jumlah pasien yang meningkat sama seperti pada tahun 1997. Menurut hasil Pendataan Dinas Kota Padang tahun 2005 jumlah masyarakat yang mengalami gangguan jiwa yaitu 9.878 orang dari jumlah tersebut yang melakukan pengobatan dirumah sakit jiwa Ulu Gadut berjumlah 829 orang yang terdiri dari berbagai tingkatan umur, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin dan rata-rata yang berobat di rumah sakit Ulu Gadut ini mayoritas berasal dari etnis Minangkabau. Dalam penanganan terhadap pasien gangguan jiwa obat bukanlah segala-galanya, namun perlu dilakukan konseling, psikoterapi serta rehalibitasi, disini peran keluarga sangat diharapkan terhadap penyembuhan pasien gangguan jiwa. Tidak dapat disangkal perilaku kesehatan seseorang sedikit banyak terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma-norma dalam lingkungan sosialnya berkenaan dengan etiologi terapi pencegahan penyakit (penyakit-penyakit fisik, psikis, dan sosial) perwujudan perilaku kesehatan adalah kegiatan-kegiatan perawatan kesehatan yang dilakukan dalam satu atau banyak sistem sosial (organisasi) pelayanan kesehatan (Kalangi, 1994;3). Artinya bahwa untuk menanggulangi penyakit yang menghinggapi orang dalam satu lingkungan sosial tertentu sangat terkait dengan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Disini, tampak bahwa kepercayaan, pengetahuan, nilai dan norma-norma dalam lingkungan sosial dipahami sebagai kebudayaan. Penjelasan perilaku kesehatan di atas sama dengan konsep yang dinyatakan oleh Goodenough, menurutnya kebudayaan adalah sistem kognitif yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang berada dalam fikiran anggota-anggota individu dalam masyarakat. Menurut pandangan ini kebudayaan berada dalam lingkup kenyataan yang ideasional atau kebudayaan merupakan pelengkap mental dari anggota-anggota masyarakat yang digunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran pelaku sosial nyata dalam suatu masyarakat (Kalangi 1994;1). Penjelasan Goodenough yang dikutip oleh Kalangi tersebut mengisyaratkan bahwa kebudayaan tampak nyata melalui tingkah laku individu sebagai anggota masyarakat, sehingga kebudayaan disini menjadi suatu bentuk yang ideasonis. Berpedoman pada pengertian kebudayaan itu terlihat jelas bahwa ada keterkaitan perilaku seseorang terhadap kesehatan yang ditentukan oleh faktor berfikir manusia terhadap hidup sehat, perilaku sehat seseorang terkait oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma dalam lingkungan sosial masyarakat, sejalan dengan penjelasan diatas Parsudi Suparlan (dalam Waridah), menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamanya serta menjadi landasan bagi terwujudnya perilaku dan tingkah laku manusia, kebudayaan dalam hal ini sebagai mekanisme kontrol dalam bagi kelakuan dan tindakan manusia sebagai pola bagi perilaku manusia (Waridah, 1994;12). Jadi kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi perilaku individu terhadap kesehatan, persepsi seseorang terhadap kesehatan tidak hanya dilakukan oleh individu yang bersangkutan saja, tapi berlangsung dalam jaringan sosial dan unsur-unsur pengelompokan seperti jaringan kekerabatan dan keluarga. Keluarga merupakan satuan dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, yang merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dan menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami, istri, ayah, ibu, putra-putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan yang merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama (Khairudin,1985;14). Keluarga pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family), keluarga inti adalah suatu keluarga yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak yang belum menikah sedangkan keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti yang merupakan satu kesatuan yang luas dan erat yang tinggal pada satu tempat (Koentjaraningrat, 1985;100-120). Keluarga juga merupakan sebuah institusi atau lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan manusiawi terutama kebutuhan untuk perkembangan kepribadi individu itu sendiri dan pengembangan ras manusia, keluarga juga merupakan suatu jaringan sosial yang terdiri dari orang-orang yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, dan adobsi yang berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain, keluarga terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi proteksi yaitu keluarga memberikan perlindungan dan perawatan baik fisik maupun sosial kepada para anggota, namun sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan diambil alih oleh badan sosial. Keluarga merupakan suatu jaringan interaksi antar pribadi. Keluarga berperan menciptakan persahabatan kecintaan, rasa aman hubungan antar pribadi yang bersifat kontinyu yang keseluruhanya merupakan dasardasar bagi perkembangan kepribadian anak (Vebrianto, dalam Tisnawati,1997;6). Salah satu perlindungan yang dilakukan oleh keluarga dalam kehidupan anggota-anggotanya adalah kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. Kebutuhan akan kesehatan bukanlah merupakan kebutuhan individu saja, tetapi juga merupakan kebutuhan kolektif. Bahaya ancaman suatu penyakit yang menimpa seseorang individu akan berakibat atau ancaman eksistensi kehidupan kelompok atau masyarakat dimana individu itu berada. Dalam penanggulangan bahaya atau ancaman penyakit anggota kelompok dimana individu yang sakit dapat sembuh dan mampu menjalankan peranannya seperti biasa dalam kelompoknya. Sesederhana apapun berbagai pengalaman yang telah dikembangkan, kepercayaan, dan pengetahuan, dan praktek dikombinasikan menjadi suatu komplek aktifitas guna memelihara kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit baik jasmani maupun rohani (Kalangi, dalam Berita Antropologi 1976;15). Dalam sistem perawatan atau pengobatan, kesehatan merupakan suatu pranata sosial yang melibatkan berbagai interaksi dalam masyarakat seperti pada penyembuhan pasien serta antara keluarga dengan lingkungan dimana ia berada untuk diikut sertakan dalam mengatasi penyakit yang diderita pasien. Peranan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses pengobatan pasien gangguan jiwa, kondisi ini yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga, karena keluarga merupakan kelompok kecil yang dapat berinteraksi dengan pasien, secara pribadi keluarga merupakan faktor utama dalam penyembuhan pasien. Dalam upaya pengobatan penyakit jiwa ini, keluarga berperan penting, karena keluarga mempunyai keterampilan khusus dalam menangani penderita gangguan jiwa, karena pada penderita penyakit jiwa ini penderita mengalami suatu kelemahan mental yang mana suatu keadaan terhenti atau tidak lengkapnya perkembangan pikiran yang mencakup gangguan makna intelegensia dan fungsi sosial disertai dengan pikiran tak bertanggung jawab serius atau agresif abnormal (Roan. W.M, 1979 dalam Hamdani. 2005;4-5). Dalam melihat kesehatan dan penanganan kesehatan tentunya akan tergantung pada kebudayaan dari masing-masing masyarakat dengan pola hidupnya yang khas. Seperti yang diutarakan oleh Rudito (2007) pada dasarnya, manusia dalam melaksanakan kehidupannya akan selalu beraktivitas, dan kegiatan manusia tersebut tentunya sangat terikat dengan bentuk lingkungan yang dihadapinya, apakah lingkungan perkotaan dengan model jasa, ataukah lingkungan pedesaan dengan penciptaan barang ataukah lingkungan pedalaman dengan mengumpulkan bahan-bahan mentah. Kesemua ini akan menggambarkan sebuah rentetan pola hidup yang mestinya berbeda-beda. Keterikatan pola hidup dengan kebudayaan sangatlah erat dan ini menjadikan sebuah ciri sebagai jati diri sebuah kelompok sosial. Bagi masyarakat di daerah pedalaman dan mungkin sebagian pedesaan, kelompok sosial ini masih dapat dibatasi sebagai sebuah sukubangsa tertentu, akan tetapi untuk kehidupan perkotaan tampaknya kesukubangsaan menjadi sesuatu yang kabur karena batasan kesukubangsaan tidak akan mungkin dapat dikategorisasikan dalam kehidupan perkotaan dengan model jasa sebagai pola hidupnya. Bahkan sekarangpun kehidupan di daerah pedesaan tidak bisa lagi dikategorisasikan identik dengan satu sukubangsa tertentu. Misalnya saja dalam suatu lingkungan perkotaan, kehidupan sebuah korporasi/perusahaan akan mempunyai sebuah ciri sendiri yang membedakannya dengan korporasi lainnya walaupun mempunyai orientasi bidang kegiatan yang digelutinya sama. Ini digambarkan dengan adanya berbagai kesukubangsaan sebagai yang melatar-belakangi kaum pekerja disebuah korporasi dan tinggal bersama-sama serta beraktivitas bersama sehingga mempunyai sebuah kebudayaan yang sama serta pola hidup yang sama sebagai sebuah masyarakat atau komuniti jasa di perkotaan. Korporat dapat dikatakan sebagai sebuah komuniti dengan kebudayaannya sendiri yang spesifik sebagai budaya korporasi atau budaya organisasi dengan anggota-anggotanya yang berasal dari berbagai sukubangsa dan bahkan juga bangsa atau nasion. Sama halnya dengan kehidupan sebuah masyarakat perkotaan di Indonesia, sebut misalnya masyarakat yang tinggal di kota Medan, Jakarta, dan Semarang. Dalam kehidupan sehari-hari tampak bahwa masyarakat tersebut mempunyai sebuah pola kehidupan yang sama dengan model dan gaya yang mirip satu dengan lainnya apabila melakukan aktivitas dan berinteraksi, sehingga dapat dikatakan mempunyai kebudayaan yang sama. Akan tetapi apabila dilihat lebih mendalam lagi kenyataannya anggota masyarakat tersebut mempunyai latar belakang sukubangsa yang berbeda-beda, sehingga walaupun mempunyai kebudayaan yang sama tetapi pada dasarnya berasal dari sukubangsa yang berbeda. Masing-masing kelompok sukubangsa pada dasarnya menggambarkan bentuk-bentuk pola hidup tertentu yang membedakannya dengan kelompok sosial lainnya dan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka tinggal dan meneruskan kehidupannya. Konteks lingkungan menjadi suatu bentuk yang sangat memberi warna pada pola kehidupan suatu kelompok sosial, dan hal ini bisa membedakannya dengan kelompok lainnya walaupun secara kesukubangsaan mereka diikat oleh satu identitas sukubangsa yang sama. Manusia mempunyai berbagai macam pola hidup dan ini menggambarkan keterkaitan dalam fungsi-fungsi dari masing-masing pranata yang berlaku di komuniti yang bersangkutan. Bentuk-bentuk komuniti dan masyarakat yang ada di Indonesia dapat ditengarai dan diklasifikasikan secara umum dalam berbagai pola kehidupan yang berbedabeda satu sama lain sesuai dengan aturan adat istiadatnya masing-masing. Pola-pola kehidupan tersebut terbagi dalam bentuk pedesaan yang melaksanakan mata pencaharian dengan menghasilkan bahan mentah atau barang, perkotaan yang melaksanakan kegiatan mata pencaharian dengan cara jasa, dan daerah pedalaman yang melaksanakan kegiatannya dari menangkap hewan dan mengumpulkan barang-barang mentah. Dari ketiga bentuk masyarakat tersebut akan terbagi lagi ke dalam beberapa kegiatan spesifik dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan makanan, seperti: 1. Komuniti yang mempunyai mata pencaharian berburu binatang di dalam hutan sebagai makanan kebutuhan protein dan mengumpulkan serta meramu tumbuhtumbuhan hutan dibarengi dengan bentuk dari sistem kekerabatan serta keyakinan dan teknologi yang sederhana, artinya bahwa bentuk sistem kekerabatannya hanya mendasar pada pembagian jenis kelamin dalam aktivitas keseharian dan sistem pewarisan yang mengikuti bentuk-bentuk dari mata pencaharian, seperti untuk alatalat perburuan diturunkan pada laki-laki sedangkan alat-alat peramuan diturunkan pada perempuan. 2. Komuniti yang berladang dengan sistem ladang berpindah mengikuti perkembangan kesuburan tanah dengan sistem penguasaan wilayah sudah mulai tampak dengan pengukuran wilayah memakai bentuk-bentuk alamiah seperti pohon dan sungai, dan dikuatkan oleh adanya sistem kekerabatan dan keyakinan. 3. Komuniti nelayan dengan tempat tinggal yang menetap sehingga terlihat jelas penguasaan wilayah tempat tinggal serta teritorial areal penangkapan ikan, segala pranata sosial lainnya seperti keyakinan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya aka terkait dengan model dari pola mata pencaharian nelayan seperti keyakinankeyakinan akan mahluk supranatural yang berkaitan dengan laut, teknologi laut dan sebagainya. 4. Komuniti berladang menetap biasanya ditambah dengan adanya sistem pemeliharaan ternak sebagai kebutuhan protein, di bentuk komuniti ini jelas adanya penguasaan wilayah permukiman dan wilayah pengolahan sumber daya dikuatkan oleh sistem kekerabatan dan keyakinan. 5. Masyarakat dengan sistem mata pencaharian bertani dengan irigasi, disini jelas tampak adanya penguasaan wilayah permukiman, pengaturan sumber daya secara sosial yaitu dengan adanya jenjang sosial masyarakat dan sistem kekerabatan untuk penguasaan wilayah permukiman dan wilayah mata pencaharian ditambah dengan adanya sistem ekonomi pasar. 6. Masyarakat industri jasa dan masyarakat pasca industri dimana dalam bentuk masyarakat ini segala kebutuhan pencaharian untuk hidup dipenuhi dengan jasa, mengandalkan ketrampilan. Masing-masing pola kehidupan ini diikuti oleh pola-pola bertindak yang sangat berbeda satu dengan lainnya, atau dalam arti mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda sebagai pola pengetahuan, nilai aturan dan norma yang dipakai untuk memahami lingkungan dan dipakai untuk mewujudkan tingkah laku (Suparlan, 1982). Masing-masing pola kehidupan ini bisa terwakili juga dalam satu sukubangsa atau dengan kata lain satu sukubangsa bisa terdapat beberapa pola kehidupan, seperti misalnya anggota sukubangsa Mentawai, ada sebagian anggotanya yang berpola hidup berladang dengan bahan makanan pokok sagu yang hidup di dalam hutan sebagai wilayah kekuasaan baik sosial, politik, agama dan ekonomi, sebagian anggotanya ada juga yang hidup dalam pola hidup industri dengan jasa sebagai mata pencahariannya tinggal di kota propinsi. Atau orang Dayak yang sebagian hidup di dalam hutan dengan mata pencaharian berladang pindah, dan sebagian lagi hidup di kota sebagai pegawai negeri atau anggota Parlemen. Atau orang Jawa yang sebagian anggotanya hidup di daerah pedesaan dengan mata pencaharian bertani sawah, atau tinggal di pesisir pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan, dan sebagian lagi hidup di kota besar maupun kecil sebagai pegawai atau buruh pabrik dengan pemenuhan kebutuhannya melalui jasa. Di dalam skripsi ini, saya membatasi penanganan kesehatan pada masyarakat di perkotaan saja dengan pola hidup industri jasa, khususnya masyarakat sukubangsa Minangkabau di Kota Padang propinsi Sumatera Barat. Hal ini terkait dengan penyebab dari menurunnya kondisi kesehatan baik fisik maupun jiwa akan berbeda-beda antara satu pola hidup dengan pola hidup yang lainnya. Dalam masyarakat perkotaan, peran serta keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga luas sangat dipentingkan dalam menangani masalah kesehatan. Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan kondisi kesehatan keluarganya sangat berpengaruh besar bagi anggota keluarganya, karena keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perhatian langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga merupakan sisitem pendukung utama yang member perawatan langsung pada setiap keadaan sehat dan sakit pasien keluarga mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah akan dapat menekan perilaku maladaptive (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilku adaptif (pencegahan tertier) sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Ana Keilat,1992;22). Meski bukan penyebab utama kematian gangguan jiwa merupakan penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif yakni antara usia 15 sampai 44 tahun dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan, pengucilan begitu pula dampak ekonomi hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah, menyikapi kondisi ini peranan keluarga sangat diharapkan dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa kesembuhan pasien gangguan jiwa sangat tergantung pada peranan-peranan serta tindakan-tindakan keluarga karena keluarga mampu menciptakan suasana yang harmonis. Keluarga itu terdiri dari pribadi-pribadi yang merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih besar, sebagaimana kita ketahui suku bangsa Minangkabau dengan sistem kekerabatanya menarik garis keturunan ibu dan juga mempunyai bentuk yaitu keluarga batih (nucler family) dan keluarga luas (extended family) dalam sistem kekerabatan Minangkabau peranan keluarga batih menjadi kabur, karena kekuasaan dalam keluarga diserahkan oleh ibu kepada saudara laki-laki, keluarga luas merupakan kesatuan kongkret yang hampir sama eratnya dengan keluarga batih, pada keluarga luas dimana kedua fungsi pokok keluarga yaitu bantuan utama kepada individuindividu dan pengasuhan anak dipegang oleh keluarga luas (Koentjaraningrat, 1985;119). Tapi realitas yang terjadi saat ini fungsi dari keluarga luas tidak berjalan seperti idealnya misalnya dalam proses pengobatan salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa hanya dilakukan oleh keluarga inti saja sedangkan peranan keluarga luas tidak berjalan seperti aturannya, kenyataan ini diperoleh dari observasi awal dalam wawancara dengan pihak RSJ Prof.H.B.Sa’anin Padang (2007).

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: G Geography. Anthropology. Recreation > GN Anthropology
Divisions: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Antropologi
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 19 Feb 2016 08:34
Last Modified: 19 Feb 2016 08:34
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1748

Actions (login required)

View Item View Item