PENYEBAB KETERLAMBATAN FORMULASI KEBIJAKAN PERDA PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) KOTA PARIAMAN

ULYA, FITRI (2012) PENYEBAB KETERLAMBATAN FORMULASI KEBIJAKAN PERDA PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) KOTA PARIAMAN. Masters thesis, Universitas Andalas.

[img] Text
19.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (815kB)

Abstract

Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar teritorialnya merupakan daerah maritim yang dianugerahi begitu banyak kekayaan alam dari sabang sampai merauke. Berbagai bentuk kekayaan alam diantaranya, minyak bumi, gas, batu bara, semen, emas, dan berbagai hasil hutan, lengkap dengan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Keindahan alam juga tidak kalah menariknya, jejeran pulau-pulau dan deretan gunung-gunung semakin menjadi daya tarik, sehingga tidak sedikit tourist asing yang menghabiskan waktu hanya untuk sekedar menikmati indahnya alam Indonesia. Melimpahnya kekayaan alam bumi Indonesia serta keanekaragaman hayatinya, tidak serta merta selalu menguntungkan masyarakat Indonesia, karena sepanjang 1.200 km dari barat sampai timur Indonesia ternyata berbatasan dengan tiga lempengan besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang akan berpotensi memicu berbagai kejadian alam yang cukup besar. Di samping itu, Indonesia juga berada pada pertemuan tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasific, dan Circum Australia, dimana terdapat 452 gunung berapi, lebih kurang 128 di antaranya tergolong aktif. Kenyatan ini membuat Indonesia menjadi negara rawan bencana khususnya gempa, gunung meletus, dan longsor.1 Kerusakan alam akibat ulah manusia semakin menambah besar ancaman bencana di Indonesia seperti banjir dan tanah longsor, di samping bencana lainnya yang terjadi secara alamiah. Gempa bumi merupakan salah satu dari bencana alam yang paling banyak menyita perhatian dunia, hal ini disebabkan karena dampak bencana gempa yang banyak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan materil akibat gempa. Terlebih jika gempa disertai tsunami, dalam hitungan menit daerah bisa tersapu gelombang tsunami. Jenis bencana ini tidak bisa diprediksi dimana, kapan, dan berapa besar kekuatan gempa bumi yang bakal terjadi. Mau atau tidak mau, siap atau tidak siap kondisi ini memaksa kita harus mempersiapkan diri untuk hidup berdampingan dengan bencana. Gambar 1 1 Hadi Purnomo-Ronny Sugiantoro,2010. Manajemen Bencana Respon dan Tindakan terhadap Bencana, Yogyakarta: Media Pressindo hal.31 Peta di atas memberikan gambaran bahwa hampir semua pulau di Indonesia dilalui jalur tektonik yang rawan potensi bencana. Desember 2004, ujung Pulau Sumatera diguncang gempa dahsyat dengan kekuatan hampir delapan skala richter. Tsunami pun menyapu bumi Aceh, dimana gerakan tektonik terus bergerak dengan skala yang berbeda. Satu persatu kota dari ujung Sumatera terus diguncang gempa, mulai dari Kutacane di Aceh Tenggara, lalu turun ke Bahorok di Kabupaten Langkat serta Mandailing Natal di Sumatera Utara. Patahan yang terus bergerak ini telah diprediksi dari awal akan menimbulkan gempa dahsyat di Sumatera Barat.2 Melihat tingginya potensi bencana disekitaran Pulau Sumatra, menuntut semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, sektor swasta, sekolah, dan NGO (Non Government Organisation) untuk bersama-sama mengambil langkah cepat dan tepat berupa langkah antisipasi bencana agar kerugian dan efek bencana tersebut dapat diminimalisir. Semua orang akan berharap untuk hidup terbebas dari bencana, akan tetapi kita menyadari bahwa bencana alam tidak dapat dihilangkan atau dilenyapkan, tapi bisa kita antisipasi dengan siap siaga bencana. Sesuai prediksi ahli sebelumnya ternyata memang benar terjadi gempa dahsyat di Sumatra Barat, tepatnya tanggal 30 September 2009 yang berpusat di 0.72° LS dan 99.94° BT dengan kedalaman 110 km pesisir pantai Pariaman. Jumlah kerugian diperkirakan berupa 249.833 unit rumah rusak, 114.797 unit diantaranya mengalami rusak berat, roboh atau rata dengan tanah. Sementara sebanyak 67.198 unit mengalami rusak sedang dan 67.838 unit rusak ringan. 2 Erwan Agus Purwanto.2006. Memahami Kompleksitas Managemen Bencana, dalam Managemen Bencana:Belajar dari Pengalaman Aceh Fasilitas lain yang mengalami kerusakan yakni, perkantoran sebanyak 442 unit, sarana prasarana pendidikan 4.748, kesehatan 153, jembatan 68, pasar 58 dan tempat ibadah 2.851. Total kerugian materi akibat bencana yang juga merenggut 1.195 jiwa ini ditaksir mencapai Rp21,58 triliun.3 Besarnya potensi bencana di Indonesia khususnya Sumatra Barat menuntut pemerintah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan terkait penanggulangan bencana. Terlebih pada daerah rawan bencana, sebagaimana yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia salah satu bentuknya yaitu perlindungan terhadap bahaya bencana. Beragam bencana yang terjadi di Indonesia mulai dari banjir bandang, angin puting beliung, abrasi, gunung meletus, tanah longsor sampai gempa dan tsunami akhirnya direspon pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Undang-Undang tersebut pasal 83 pada ketentuan penutup disebutkan bahwa enam bulan pasca ditetapkan undang-undang ini harus telah terbentuk Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) di tingkat nasional, dan paling lambat satu tahun telah terbentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Aturan di atas berarti bahwa satu tahun pasca disahkan undang-undang tersebut pemerintah daerah baik itu ditingkat propinsi maupun ditingkat kabupaten/kota harus telah membentuk sebuah Badan Penanggulangan Bencana 3 Disadur dari: www. BNPB.com. Dampak Bencana Gempa Sumatera Barat,2009 Daerah yang berwenang dan fokus dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Realisasi dari undang-undang ini sedikit terkendala karena penjelasan undang-undang berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah tidak ada penjelasan terkait bencana dan proses pembentukan BNPB/BPBD. Selanjutnya (PP) No 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana baru keluar pada 21 0ktober 2008. BPBD merupakan satuan kerja perangkat daerah yang menjadi koordinator dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana di masing-masing daerah. Besarnya potensi bencana, menuntut daerah-daerah khususnya daerah rawan bencana untuk sesegera mungkin membentuk BPBD, tidak terkecuali Kota Pariaman. Pariaman sebagai daerah yang menjadi pusat gempa 30 September 2009 sudah seharusnya merealisasikan tuntutan undang-undang tersebut, hal ini disebabkan karena pengalaman bencana yang pernah terjadi dan besarnya efek bencana yang dirasakan masyarakat ketika terjadi bencana. Di samping itu peristiwa dan ancaman yang terus dirasakan masyarakat hendaklah menjadi pelajaran penting baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri, agar bagaimana ke depannya harus ada sikap siaga bencana sehingga bencana bisa dikenali dan dikelola. Oleh sebab itu pembentukan BPBD dianggap sebagai langkah tepat bagaimana sebuah badan tersebut nantinya bisa berfungsi secara baik dalam mengkoordinir penyelenggaraan penanggulangan bencana khususnya di Kota Pariaman itu sendiri. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemda Provinsi Sumatra Barat bahwa potensi bencana gempa bumi merupakan resiko bencana dengan jumlah korban yang timbul amat besar dan kemungkinan terjadinya bencana tersebut amat tinggi, sehingga bencana gempa bumi tergolong pada tingkat resiko I, dengan kebutuhan mendesak untuk segera ditangani. Sedangkan bencana tanah longsor masuk pada kategori tingkat resiko II dan banjir pada tingkat resiko III.4 Pulau Sumatra dan pulau-pulau sekitarnya khususnya wilayah Kota Pariaman merupakan daerah yang memiliki kerawanan yang cukup tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami karena terletak berdekatan dengan dua lempeng patahan bumi yaitu Australia dan Eurasia. Kota Pariaman merupakan wilayah yang berdekatan dengan lempeng Eurasia yang memiliki dua patahan yaitu patahan Sumatra disepanjang Bukit Barisan, dan patahan Mentawai diantara pesisir barat dengan Kepulauan Mentawai. Berdasarkan penelitian ahli geologi Indonesia bahwa dibahagian barat Kepulauan Mentawai antara batas lempeng Eurasia dan Australia, dimana lempeng Australia bergerak mendorong lempeng Eurasia dengan kecepatan + 7 cm/tahun ke arah timur laut, sehingga sewaktuwaktu akan menimbulkan patahan besar yang menyebabkan gempa5. Melihat kondisi di atas, Pariaman sebagai daerah yang memiliki potensi bencana gempa bumi harus lebih memprioritaskan untuk tanggap bencana dan menyegerakan pembentukan badan penanggulangan bencana di daerah tersebut. Berdasarkan pantauan penulis, sebelumnya yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penanggulagan bencana yang terjadi di Kota Pariaman adalah tim 4 Disadur dari: www,bappenas.go.id/get-file-server/node/8850 5 Pemerintah Daerah Kota Pariaman. Lembaran Daerah dan Berita Daerah Kota Pariaman Tahun 2010. Bagian Hukum dan Organisasi Kota Pariaman.hal.26 Satlak PB (Satuan pelaksana Penanggulangan Bencana) yang diangkat berdasarkan SK Walikota Pariaman. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.83 tahun 2005 tentang Bakornas PB(Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana) pasal 16 disebutkan bahwa untuk melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan di daerah dapat dibentuk Satuan Pelaksana Penanganan Bencana yang selanjutnya disebut dengan Satlak PB di tingkat Kabupaten/Kota yang diketuai oleh Bupati/Walikota. Kota Pariaman telah membentuk tim Satlak PB sejak tahun 2007 yang beranggotakan perwakilan dari masing-masing SKPD dan ormas terkait seperti : Dinas PU, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Satpol PP, Kesbangpol linmas, Pemadam Kebakaran, Dandim, Kapolres, PMI, MUI, LSM dan sebagainya yang di ketuai langsung oleh Walikota. Pada tahun 2007 beranggotakan 39 orang, tahun 2008 berjumlah 41 orang dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 45 orang6. Dengan jumlah personel yang tidak sedikit, tentunya akan berimbas kepada jumlah anggaran yang juga tidak sedikit. Hal itu tidak terlalu menjadi persoalan ketika tim ini benar-benar bekerja sesuai dengan program kerjanya. Akan tetapi berdasarkan pantauan penulis yang dikuatkan dengan hasil wawancara dengan Kasi Linmas (Azwir) pada kantor Kesbangpol linmas disebutkan bahwa7 : “memang kelemahan tim ini adalah tidak adanya program yang jelas, sehingga tiap ada rapat yang hadir hanya sebagian kecil dari anggota, terlebih ketika kemaren sudah hampir masuk akhir tahun anggaran kami 6 Dikutip dari SK Walikota Pariaman terkait pengangkatan anggota Satlak PB Kota Pariaman 7 Wawancara langsung dengan Kasi linmas(Bapak Azwir) di kantor Kesbangpol Linmas Kota Pariaman pada tanggal 12 November 2010 pada pukul:10.00-10.30 WIB belum ada kegiatan, akhirnya ya dari pada anggaran berbalik ke negara, kita bikin rapat-rapat formalitas saja, sehingga gaji anggota bisa dikeluarkan”. Pernyataan di atas menjadi bukti bahwa tidak berjalannya fungsi dan tugas Satlak PB sebagaimana mestinya, sehingga tuntutan bagaimana setiap orang bisa sadar akan bencana masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai tim yang dibentuk berdasarkan SK Walikota, masing-masing anggota hanya diamanahkan tugas selama satu tahun , sehingga dikhawatirkan masing-masing anggota tidak terlalu fokus dengan tugas dan fungsinya. Di samping itu, banyak sekali SKPD yang terlibat berdampak kepada ketidakjelasan tupoksinya masing-masing. Buruknya kondisi tersebut menuntut dibentuknya badan yang lebih fokus dan bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana di daerah. Pembentukan BPBD sebagaimana yang diamanahkan undang-undang menjadi salah satu alternatifnya. Di samping itu, keberadaan badan ini menaruh harapan baru bagaimana ke depannya masyarakat bisa lebih merasa aman dan siaga ketika bahaya tiba-tiba terjadi. Sesuai dengan tuntutan Undang-Undang No.24 tahun 2007 terkait penanggulangan bencana, Pariaman sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi bencana tertinggi di Sumatra barat sudah semestinya membentuk BPBD. Ketika telah dibentuk BPBD di suatu daerah, dengan sendirinya Satkorlak atau Satlak PB harus telah dibubarkan, agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan penanggulangan bencana Berdasarkan pantauan penulis di lapangan, Kota Pariaman tergolong lambat dalam merumuskan perda pembentukan SOTK BPBD. Hal ini dibuktikan dari baru diserahkannya Draft Ranperda Pembentukan SOTK BPBD oleh pihak eksekutif ke legislatif pada desember 2009, dan ditetapkannya perda pembentukan BPBD pada September 2010. Dengan kata lain waktu yang dibutuhkan dari proses input sampai output Perda No.10 Tahun 2010 tentang pembentukan SOTK BPBD Kota Pariaman menghabiskan waktu lebih kurang dua tahun. Sedangkan kalau dirujuk dari waktu keluarnya undang-undang yang mengamanahkan pembentukan BPBD malah menghabiskan waktu lebih dari 3 tahun sampai lahirnya perda sebagai syarat dibentuknya organisasi dan tata kerja BPBD di Kota Pariaman. Sementara itu, Kota Padang yang mempunyai tingkat kerawanan yang hampir sama dengan Kota Pariaman karena lokasi daerahnya yang berdekatan, sudah membentuk BPBD pada Januari 2009 dengan keluarnya Perda No 18 tahun 2008 pada Desember 2008 silam. Pentingnya penelitian ini dilakukan adalah untuk melihat proses dan dinamika yang terjadi dalam pembuatan Perda No.10 Tahun 2010 tentang pembentukan SOTK BPBD di Kota Pariaman, dan penyebab keterlambatan pembentukan perda yang dirasa cukup urgen harus segera terbentuk di Kota Pariaman sebagai daerah rawan bencana.

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: J Political Science > JA Political science (General)
Divisions: Pascasarjana Tesis
Depositing User: Ms Ikmal Fitriyani Alfiah
Date Deposited: 19 Feb 2016 08:30
Last Modified: 19 Feb 2016 08:30
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1736

Actions (login required)

View Item View Item