ERPI, J. SAMUDRA DALIMUNTHE (2013) EFEKTIFITASMEDIASI OLEHMEDIATOR HAKIMDALAMPERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN PADA PENGADILAN NEGERI PADANGSIDIMPUAN. Masters thesis, Universitas Andalas.
Text
8.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (549kB) |
Abstract
Latar Belakang Satu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan negara yang memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas.1 Sudah menjadi rahasia umum, penumpukan perkara di lembaga peradilan kita masih terus terjadi. Hal ini, terjadi diantaranya karena semua perkara masuk ke pengadilan, sementara tekad untuk menyelesaikan perkara secara win-win solution (sama-sama menang) belum membudaya.2 Berbagai usaha dan pemikiran yang bertujuan mendesain peradilan yang lebih efektif dan efisien telah dikemukakan, tetapi belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, kritik global yang ditujukan kepada pengadilan semakin menderu. Semua kritik itu bernada tidak puas atas kinerja dan keberadaan peradilan. Beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan antara lain:3 1Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Adat Fakultas Hukum Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal. 2. 2Abdul Rahman Saleh, Sebuah Pengantar dalam Yoshiro Kusano, Wakai; Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa, Grafindo, Jakarta, 2008, hal. 7. 3 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata; Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 233 – 235. 3 1. Penyelesaian Sengketa Lambat; Penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia yaitu penyelesaian sangat lambat atau buang waktu (waste of time) yang terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaan yang sangat formalitas dan sangat teknis, sedangkan di sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan. 2. Biaya Perkara Mahal; Pada dasarnya, biaya berperkara mahal dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama penyelesaiannya, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Beperkara di pengadilan bagaikan hilang seekor lembu memperkarakan seekor kucing. 3. Peradilan Tidak Tanggap; Berdasarkan pengamatan, peradilan kurang tanggap dalam membela dan melindungi kepentingan umum, pengadilan atau hakim sering mengabaikan perlindungan kepentingan umum. Tidak peduli terhadap kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat luas. Pengadilan sering berlaku tidak adil atau unfair, di mana pengadilan hanya melayani dan memberikan keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya. 4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah; Kritik yang lain, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang dihadapi, putusan pengadilan tidak memberi penyelesaian yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan kepada yang kalah maupun yang menang. 4 5. Putusan Pengadilan Membingungkan; Selain putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, juga sering membingungkan, terkadang, tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, pengadilan mengabulkan ganti rugi yang luar biasa jumlahnya. Sebaliknya, meskipun dasar alasan hukum dan buktinya kuat, tuntutan ganti rugi ditolak atau yang dikabulkan dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak masuk akal sehat. 6. Putusan Pengadilan Tidak Memberi Kepastian Hukum; Sering ditemukan putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Padahal sesuai dengan doktrin dan yurisprudensi, dalam kasus yang sama harus diberikan perlakuan penerapan hukum yang sama, sehingga dapat dibina legal certainly dan penegakan hukum yang predictable, tetapi yang terjadi, penerapan yang berdisparitas dan fluktuatif dalam kasus yang sama, sehingga terjadi pelanggaran asas diskriminasi, asas equal treatment dan asas equality before the law. 7. Kemampuan Para Hakim Bercorak Generalis Kritik selanjutnya adalah ungkapan yang mengatakan pada umumnya kemampuan dan pengetahuan para hakim menghadapi berbagai kasus, hanya bersifat generalis. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa yang menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Melihat kemampuan para hakim hanya mempunyai kualitas dan kemampuan generalis, sangat 5 diragukan kemampuan dan kecakapan mereka menyelesaikan sengketa secara tepat dan benar. Dengan demikian harus ada lembaga yang dapat diterima sekaligus memiliki kemampuan sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya murah serta sejalan dengan tuntutan yang tengah berkembang di masyarakat. Sehingga selain mengurangi kasus yang masuk yang ke Lembaga Peradilan juga bisa membantu pelembagaan penyelesaian sengketa secara damai. Lembaga peradilan yang berperan menyelesaikan sengketa selama ini, belum mampu menciptakan kepuasan dan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung memuaskan satu pihak dan tidak memuaskan pihak lain. Pihak yang mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki hak atas sesuatu maka pihak tersebut akan dimenangkan oleh pengadilan. Sebaliknya, pihak yang tidak mampu mengajukan bukti bahwa ia memiliki hak terhadap sesuatu, maka pihak tersebut pasti dikalahkan oleh pengadilan, walaupun secara hakiki pihak tersebut memiliki hak.4 Konsekuensi menang kalah, akan menumbuhkan sikap ketidakpuasan salah satu pihak terhadap putusan pengadilan. Pihak kalah akan menggunakan upaya hukum karena ia merasa tidak adil terhadap suatu putusan. Upaya hukum cenderung digunakan pihak kalah, selama ia masih diberikan kesempatan oleh suatu sistem hukum. Akibatnya, penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama. Pada sisi lain, sering ditemukan dalam praktik bahwa biaya yang dikeluarkan pihak 4 Syahrizal Abbas, Mediasi; Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2009, hal. ix – x. 6 bersengketa kadang-kadang melebihi jumlah nilai dari objek harta yang dipersengketakan. Hal ini menandakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan membawa dampak negatif pada renggangnya hubungan silaturahmi antara para pihak yang bersengketa.5 Melihat banyaknya kekurangan dan kelemahan dari penyelesaian sengketa di pengadilan, maka diperlukan suatu penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Yang mampu memberikan solusi yang lebih baik dan memuaskan para pihak yang bersengketa. Lahirnya model penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tidak terlepas dari adanya rasa kecewa dan frustasi atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sebagaimana diutarakan Thomas J. Harron masyarakat tidak puas menyelesaikan sengketa melalui pengadilan oleh karena sistem yang melekat pada pengadilan cenderung merugikan, dalam bentuk, buang-buang waktu (a waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu dan bukan menyelesaikan masa depan, membuat orang bermusuhan dan melumpuhkan para pihak.6 Mas Achmad Santosa sebagaimana dikutip oleh Runtung mengemukakan sekurang-kurangnya ada lima faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia, yaitu:7 1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman modal ke Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis keraguan calon investor; 5Ibid, hal. x. 6Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), Airlangga University Press, 2003, hal. 92. 7 Runtung, Pemberdayaan …, Op. Cit., hal. 2 – 3. 7 2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan; 3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan; 4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat bagi lembaga peradilan, kehadiran lembaga penyelesaian sengketa sebagai pembanding diharapkan mendorong lembaga-lembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat; 5. Sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan. Di Indonesia istilah Alternative Dispute Resolution (selanjutnya disingkat ADR) yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, relatif baru dikenal, tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.8 Hal ini sejalan dengan budaya masyarakat di Indonesia, karena dalam masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat konsensus, cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral mempunyai basis yang sangat kuat, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Bila menyimak sejarah perkembangan ADR di negara tempat pertama kali dikembangkan yaitu Amerika Serikat, pengembangan ADR dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut:9 8Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 311. 9 Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis; Alternatif Dispute Resolutions (ADR), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 29. 8 1. Untuk mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyakya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan; 2. Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; 3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan; 4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh dan memuaskan semua pihak. Mediasi merupakan salah satu upaya menyelesaikan sengketa secara damai. Melalui mediasi, para pihak yang bersengketa merasa lebih luwes dan leluasa mengutarakan keinginannya dan melakukan negosiasi untuk mencapai kata sepakat sehingga dapat diperoleh penyelesaian yang lebih berkeadilan. Berbeda jika sengketa itu diselesaikan melalui litigasi. Betapa pun putusan hakim itu sudah dipertimbangkan sedemikian bagusnya untuk memberikan keadilan yang seadil-adil mungkin, namun karena masingmasing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, maka putusan itu tetap saja menimbulkan ketidakpuasan bagi yang kalah. Oleh sebab itu sungguh sangat indah apabila setiap sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dengan perdamaian, maka kedua belah pihak tidak ada yang merasa kalah dan yang lebih penting lagi keduanya terjaga kehormatannya.10 Upaya menempuh perdamaian sebenarnya telah diamanatkan oleh undang-undang agar hakim dalam memeriksa perkara harus terlebih dahulu mengupayakan terjadinya perdamaian.11 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg bahwa “apabila pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan 10 Firdaus Muhammad Arwan, “Cara Mudah Memahami dan Melaksanakan PerMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan”, hal. 1. 11Ibid. 9 ketua sidang berusaha memperdamaikan mereka”. Akan tetapi, dalam perjalanannya seringkali para hakim tidak sungguh-sungguh dalam mengupayakannya dan cenderung bersifat formalitas, sehingga sangat sedikit sengketa yang diselesaikan secara damai. Ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg mewajibkan semua perkara perdata didahului proses mediasi. Dimana, apabila suatu perkara tidak terlebih dahulu dilakukan mediasi, maka putusan dari perkara tersebut batal demi hukum. Hal ini semakin menunjukkan betapa pentingnya proses mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Ketentuan ini terus diperbaharui dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disingkat Perma No. 1 Tahun 2008), karena dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberi akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.12 Kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat 12Syahrizal Abbas, Mediasi ..., Op. Cit., hal. 310 – 311. 10 dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur beperkara di pengadilan.13 Dalam mediasi yang berperan dalam tercapainya perdamaian selain kesepakatan para pihak adalah keberadaan mediator. Keberadaan mediator sebagai pihak ketiga, sangat tergantung pada kepercayaan yang diberikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kepercayaan ini lahir karena para pihak beranggapan bahwa, seseorang dianggap mampu untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kepercayaan ini penting bagi mediator sebagai modal awal dalam menjalankan kegiatan mediasi. Tetapi, mengandalkan kepercayaan saja tidak cukup. Oleh karena itu, seorang mediator harus mempunyai sejumlah persyaratan dan kemampuan yang akan membantunya menjalankan kegiatan mediasi.14 Adapun persyaratan menjadi mediator dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi internal mediator dan sisi eksternal mediator. Sisi internal mediator berkaitan dengan kemampuan personal mediator dalam menjalankan misinya menjembatani dan mengatur proses mediasi. Persyaratan dari sisi internal yaitu kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi. Kemampuan personal ini erat kaitannya dengan sikap mental seorang mediator. Persyaratan dari sisi internal saja tidak cukup, karena ia harus didukung oleh persyaratan dari sisi eksternal yaitu: keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak, tidak mempunyai hubungan 13Ibid, hal. 311. 14Ibid, hal. 59 – 60. 11 keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; tidak memiliki hubungan kerja denga salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak, tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.15 Meskipun keputusan dalam mediasi tergantung kesepakatan dari para pihak yang bersengketa, peranan mediator hakim dalam mediasi juga sangat berperan penting. Bahwa Pengadilan Negeri Padangsidimpuan yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang saat ini membawahi empat Kabupaten/Kota sebagai hasil pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan. Keempat Kabupaten/Kota tersebut adalah Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai kabupaten induk, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Pada Pengadilan Negeri Padangsidimpuan dapat digambarkan bahwa perkara perdata yang masuk sekitar 40 sampai 45 perkara setiap tahunnya. Dan semua perkara tersebut sebelum masuk ke persidangan terlebih dahulu diadakan proses mediasi oleh mediator hakim. Melihat hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh mengenai pelaksanaan mediasi oleh mediator hakim pada PengadilanNegeri Padangsidimpuan.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Pascasarjana Tesis |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 18 Feb 2016 08:02 |
Last Modified: | 18 Feb 2016 08:02 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1673 |
Actions (login required)
View Item |