ULFA, RUDIASMAN (2014) KEDUDUKAN HUKUMAKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN DAN PELAKSANAANYA DI KOTA BATAM. Masters thesis, Universitas Andalas.
Text
01.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (753kB) |
Abstract
Lembaga Notariat merupakan lembaga masyarakat yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang mengkehendaki suatu alat bukti diantara mereka. Menurut sejarah, Lembaga Notariat tersebut dikenal sejak abad ke-11 atau ke-12 di Italia Utara.1 Pejabat Notaris bermula sejak masuknya pemerintah Belanda ke Indonesia pada permula abad ke-17 dan hanya diatur dalam Instucie Voor Notarissen In Indinesia ( Stbt.1822-11 ), kemudian pada tahun 1625 dan tahun 1765 dibuatlah 2 buah reglement yang sering mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat saat itu.2 Pada tahun 1860 pemerintah Belanda melakukan penyempurnaan terhadap reglement – reglement yang mengatur mengenai pejabat Notaris tersebut guna menyesuaikan peraturan- peraturan mengenai jabatan Notaris di Indonesia dengan peraturan-peraturan yang berlaku di negara Belanda, sehingga diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris ( Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, stb.1860:3 ) pada tanggal 26 Januari 1860 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860.3 Saat ini di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam Undang- Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Undang Undang Jabatan Notaris ). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainya sebagiamana diatur dalam undang – undang ini . Kedudukan Notaris dalam masyarakat masih 1 Distriani Latifah,”Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang mempunya kekuatan Pembuktian Hukum Sempurna”http:/staff.blog.ui.ac.id/distriani.latifah/2009/01/10/akta notaris sebagai-alat-bukti-tertulisyang- mempunyai-kekuatan-pembuktian-yang-sempurna/tanggal akses 20 Maret 2013 2 G.H.S.Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga,Jakarta,1983,hal.18 3 Ibid,hal 20 disegani, masyarakat membutuhkan seorang (figur) yang keterangan-keteranganya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachhable ), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya dari hari yang akan datang4, dan berdasarkan Pasal l5 Undang Undang Jabatan Notaris No .30 Tahun 2004 ayat 1, dinyatakan bahwa:. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan5. Notaris adalah pejabat umun yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan atau yang dikendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Tujuannya adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau gugatan secara perdata maupun pidana dari pihak lain. Jika sampai terjadi gugatan dari salah satu pihak maka tidak menutup kemungkinan bahwa Notaris akan ikut tersangkut dalam persoalan para pihak yang berkenan dengan akta yang telah dibuat di Notaris tersebut. 4 Tan Thong Kie,Studi Notariat Serba Serbi Partek Notaris, PT.Ictiar Baru Van Hoeve,Jakarta,2000.hal 162. 5 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris Dalam praktik Notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta Notaris dipersalahkan oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya 6, maka Notaris terkadang dipanggil sebagai saksi bahkan tidak jarang Notaris dijadikan tersangka sebagai pihak yang ikut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindakan membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Surat biasa ini dibuat tidak dimasudkan untuk dijadikan alat bukti, tetapi apabila dikemudian hari, dijadikan alat bukti dalam penyidikan dan di persidangan maka hal ini bersifat insidental ( kebetulan saja ). Berbeda dengan akta otentik, kata otentik merupakan akta yang dibuat dengan bentuk sebagaimana ditentukan oleh Undang- undang “oleh”dan atau “dihadapan” seorang pejabat umum ( Notaris ) yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta tersebut dibuat dan merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak. Jadi akta otentik dibuat untuk digunakan dalam pembuktian. Sedangkan akta dibawah tangan merupakan akta yang sengaja digunakan untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat umum7 . Akta Notaris dibuat sesuai dengan kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta Notaris pada hakikatnya memuat kebenaran yang sesuai dangan apa yang diberitahukan oleh para pihak kepada pejabat umum ( Notaris ). Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukan dalam akta tentang apa yang sungguhsungguh telah dimengerti sesuai dengan para pihak dan membacakannya ke para pihak sehingga menjadi jelas isi dari akta tersebut. 6 Habib Adjie,Hukum Notaris di Indonesia – Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,PT.Refika Aditama,Bandung,2008.hal.22 7 Habib Adjie,op cit ,hal.120 Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris8. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta dibawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang – undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum ( Notaris ) berdasarkan Pasal 1874 KHUPerdata. Akta Notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempuna, Karena akta Notaris mempunyai 3 ( tiga ) kekuatan pembuktian,yaitu 9 : 1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. 2. Kekuatan pembuktian formil ( formele bewijskracht ) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. 3. Kekuatan pembuktian meteriil ( materiele bewijskracht ) yang merupakan kepastian tentang materi suatu akta. Akta otentik mempunyai peranan penting di setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan-kegaiatan di perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, masalah keluarga dan lain-lain. Kebutuhan akan alat bukti tertulis atau surat berupa akta otentik semakin mengikat sejalan dengan berkembangannya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial baik tingkat regional maupun global. Akta otentik dapat menentukan secara jelas hak, kewajiban dan kepastian hukum. Hal ini yang melatar belakangi tingginya kebutuhan masyarakat terhadap akta otentik. 8 Ibid, hal.45 9 Ibid, hal 26-27 Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu : “ suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat“. Dikarnakan Pasal 1868 KUHPerdata belum menjelaskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan pejabat umum dan akta otentik, maka Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 memperjelas secara tegas apa yang dimaksud dengan pejabat umum dan akta otentik. Dalam Undang-undang jabatan Notaris Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa “ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Sedangkan akta otentik dijelaskan pada Pasal 1 angka 7 Undang-undang Jabatan Notaris,yang berbunyi: “Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Dalam perkara perdata, akta otentik merupakan alat yang bersifat mengikat dan memaksa. Artinya Hakim harus menganggap segala peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta otentik adalah benar, kecuali ada alat bukti lain yang dapat menghilangkan kekuatan pembuktian akta ini. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sehingga jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka/pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan atau pernyataan sesuai dengan aturan hukum10. Hal ini berbeda dengan perkara pidana, akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam pembuktian, atau bersifat bebas11. Untuk itu diharapakan adanya suatu persepsi yang sama terutama menyangkut 10 Berdasarkan Ketentuan Pasal 163 HIR/283 Rbg bahwa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau guna menguatkan haknya atau untuk membantah hak orang lain,menujuk kepada suatu peristiwa,diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. 11 Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa keberadaan akta otentik tersebut dalam konteksnya sebagai alat bukti. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tentang benar terjadi suatu tindak pidana dan terdakwa benar-benar melakukannya12. Oleh karna itu, meskipun akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak, namun dalam perkara pidana, akta otentik masih dapat digugurkan dengan alat bukti lain yang lebih kuat, misalnya dengan pernyataan pihak ketiga atau pihak-pihak lain yang terikat dalam pembuatan akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti lain13, sehingga alat bukti surat berupa akta Notaris dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dikesampingkan oleh hakim di pengadilan 14. Dalam konstruksi hukum Kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keiinginan/tindakan penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan memperlihatkan aturan hukum yang berlaku” hal ini sebagaimana tersebut dalam Yurispudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu “..Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah”, M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Di Pengadilan,Banding, Kasasi, dan Penijauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 283 12 Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut,didasarkan beberapa asas , yaitu: 1. asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencarai kebenaran materil atau “kebenaran sejati” ( materiel waarheid ), bukan mencari kebenaran formal. Dengan asas ini hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat. 2. asas keyakinan hakim seperti terdapat dalam jiwa ketentuan Pasal 183 KUHAP 3. asas batas minimum pembuktian,alat bukti surat resmi (otentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah yang bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri.Ibid,hal.310-311 13 Ibid,hal.311 14 Bagiamana sifat kesempurnaan formal yang melekat pada akta Notaris, alat bukti surat berupa akta Notaris tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Alat bukti akta Notaris tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainya, ibid menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut” (Putusan Mahkamah Agung Nomor:702K/sip/1973, 5 Sepetember 1973) Inilah yang sering menjadi kendala utama bila Notaris diminta oleh penyidik sebagai saksi, dikarenakan penyidik belum memahami masalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 702K/sip/1973 tanggal 5 September 1973, Notaris tidak dapat diwajibkan untuk menjamin bahwa apa yag dinyatakan para penghadap adalah benar. Dalam kenyataanya banyak Notaris harus berurusan baik dengan penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam proses peradilan pidana. Di dalam praktik Notaris hal tersebut di atas sering terjadi, yaitu jika sebuah akta Notaris tersangkut dalam sebuah perkara pidana dan akta Notaris tersebut diindikasi sebagai awal atau penunjuk terjadinya perkara pidana. Menurut pedapat Habib Adjie15 : Dalam hal ini pihak penyidik tidak pernah menilai akta Notaris sebagai hal yang “apa adanya “, tetapi akan mencari “ada apa” dibalik “apa adanya” atau dengan kata lain setiap penghadap yang datang ke Notaris telah “ benar berkata” dan dituangkan dalam bentuk akta otentik, dan jika terbukti penghadap tidak “berkata benar” atau “ada yang tidak benar” sehingga menjadi “tidak berkata benar” maka hal tersebut oleh pihak penyidik dapat menggiring Notaris sebagai pihak “menyuruh melakukan” atau “membantu melakukan” atau “turut serta melakukan” dan dapat menjadi tersangka. Akta Notaris dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan. Dalam hukum acara perdata akta Notaris adalah akta otentik mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekat pada akta itu sendiri, sehingga alat pembuktian yang lain tidak diperlukan lagi sedangakan dalam hukum acara pidana pembuktian bersifat materil dimana harus ada 2 alat bukti lainnya dan keyakinan hakim. 15 Ibid, hal.9 Proses dalam pemanggilan Notaris sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat ( 1 ) huruf b Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris berkaitan erat bahkan tidak bisa lepas dari Hukum Acara Pidana. Ketentuan pemanggilan dan pemeriksaan saksi diatur dalam Pasal 112 KUHAP ayat ( 1 )“Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut”. Adapun Pasal 112 ayat ( 2 ) KUHAP mengatur “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawanya”. Memenuhi panggilan adalah Kewajiban Hukum (Legal Obligation), baik itu tersangka, terdakwa, saksi atau ahli wajib datang memenuhi panggilan.16 Keberadaan saksi mutlak diperlukan untuk memenuhi ketentuan dalam hukum acara pidana yakni Pasal 184 tentang alat bukti, yang menyebutkan alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ketentuan dalam Pasal 184 ini merupakan bentuk dari pembuktian dalam mencari kebenaran materiil, yang ditugaskan kepada penyidik untuk mengumpulkan alat bukti. Di dalam perkara pidana, akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam pembuktian, atau bersifat bebas.17 Oleh karena itu, meskipun akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak, namun dalam pengungkapan suatu peristiwa pidana diperlukan alat bukti lain semisal alat bukti saksi. 16 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan ditingkat Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 129. 17 Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah”, M.Yahya harahap, Op. Cit., hal. 283. Terkait saksi Notaris hal ini diatur tersendiri dalam UUJN No.30 Tahun 2004, Pasal 66 UUJN bahwa : 1. untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : 2. pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Peraturan perundangan yang saling terkait diharapkan mampu memberikan kontribusi penyelesaian proses kepastian Hukum dalam penerapannya. Polisi (penyidik) dalam memanggil notaris sebagai saksi atau tersangka terikat dan dibatasi oleh waktu, apalagi jika menyangkut jangka waktu masa penahanan seorang tersangka. Untuk itu dibutuhkan kesadaran hukum seluruh masyarakat, termasuk di dalamnya Notaris, yakni kesadaran, pemahaman dan partisipasinya di dalam penegakan hukum. Apabila ada warga negara yang tidak berkomitmen untuk itu, tentunya akan menghambat perjalanan hukum. Terkait dengan dipanggilnya beberapa Notaris oleh penyidik karena akta yang dibuatnya sudah sering terjadi, terakhir berita dalam berbagai media massa adalah dipanggilnya Notaris Erick Maliangkay, Buntario Tigris Darmawa, dan Merryana Suryana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehubungan dengan kasus pencucian uang yang diduga dilakukan mantan Kepala Korp Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Selain itu ketiga Notaris tersebut, KPK juga memanggil Notaris lainnya, yakni Toto Susmono Hadi, Aryanti Artisari, dan Bernadette Wirastuti Puntaraksma dalam kasus yang sama. Keberadaan, kedudukan dan fungsi akta Notaris adalah berhubungan secara langsung dengan hukum pembuktian, terutama dalam rangka pembuatan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik. Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tesis sebagai berikut : “ Kedudukan Hukum Akta Notaris
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Pascasarjana Tesis |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 18 Feb 2016 07:34 |
Last Modified: | 18 Feb 2016 07:34 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1633 |
Actions (login required)
View Item |