HARA, SAPTA SUDANA (2015) PENGATURAN DESA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMERINTAH NAGARI DI SUMATERA BARAT. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.
Text
201505281246th_skripsi hara 1.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (455kB) |
Abstract
Latar Belakang Desa merupakan istilah dan sebutan bagi pemerintahan terkecil di Indonesia, di dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa desa atau di sebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penyebutanya, desa ataupun bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia tersebut berbeda pada setiap daerah, hal tersebut terjadi karena di berlakukannya sistem otonomi daerah yang memungkinkan pengelolaan dilakukan berdasarkan kearifan lokal masyarakat dan kemudian juga di perkuat oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kalimat “atau yang disebut dengan nama lain” dalam Pasal 1 Angka 12 ini mengindikasikan bahwa daerah dapat menentukan nama bagi pemerintahan terkecil dalam negara kesatuan Republik Indonesia tersebut, misalnya penyebutan Gampong untuk desa di aceh, Banjar untuk sebutan desa di Bali dan lain-lain. Di Sumatera Barat sebutan bagi pemerintahan desa ini adalah Nagari dimana dalam Pasal 1 Angka 7 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat menjelaskan bahwa Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Sebagai sebuah wilayah administrasi terkecil dalam negara kesatuan Republik Indonesia maka tentu desa juga memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk pada sistem yang di terapkan oleh pemerintah/negara. Dalam sejarahnya pemerintahan desa Ketika awal kemerdekaan Pemerintahan Desa/Marga diatur dalam Pasal II penjelasan UUD 1945, yang menerangkan bahwa : “Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerahdaerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut” Kemudian pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam UU No. 19 tahun 1965 tentang Pembentukan Desa Praja atau daerah otonom adat yang setingkat di seluruh Indonesia. Undang-undang ini tidak sesuai dengan isi dan jiwa dari pasal 18 penjelasan II dalam UUD 1945, karena dalam Undang- Undang No. 19 Tahun 1965 ini mulai muncul keinginan untuk menyeragamkan istilah Desa. Selanjutnya Pemerintah Orde Baru mengatur Pemerintahan Desa/Marga melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Undang-undang ini mengatur Desa dari segi pemerintahannya yang berbeda dengan Pemerintahan Desa/Marga pada awal masa kolonial yang mengatur pemerintahan serta adat-istiadat. Pada era reformasi barulah timbul gagasan untuk memberdayakan desa melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah diperbarui menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang di rubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah. Undangundang ini berusaha mengembalikan konsep, dan bentuk Desa seperti asalusulnya yang tidak diakui dalam undang-undang sebelumnya yaitu Undang- Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya perkembangan pemerintahan desa berkembang seiring perkembangan penerapan Sistem Otonomi Daerah di Indonesia.Hal ini di karenakan prinsipprinsip pada otonomi daerah tersebut sangat cocok dalam pengembangan pemerintahan desa. Otonomi daerah itu sendiri merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan dasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah juga menjelaskan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan otonomi daerah juga menyangkut tentang kewenangan daerah untuk membentuk aturan perundang-undangan yang akan mengatur daerahnya dan adat istiadat serta kearifan lokal masyarakat menjadi substansi yang penting untuk diadopsi didalam aturan-aturan tersebut. karena salah tujuan pelaksanaan Otonomi daerah adalah pembinaan dan pemberdayaan lembagalembaga dan nilai-nilai lokal yang kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial sebagai suatu bangsa1 dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Namun dalam menjalankan pemerintahan desa banyak hal yangt perlu di perhatikan, di ataranya adalah :3 1. Sumber Pendapatan Asli Desa (keuangan desa); 2. Penduduk, keahlian dan ketrampilan yang tidak seimbang (sumber daya manusia desa yang masih rendah) yang berakibat terhadap lembagalembaga Desa lainnya selain Pemerintahan Desa seperti halnya Badan Perwakilan Desa (BPD), lembaga musyawarah Desa dan beberapa lembaga adat lainnya; 3. Potensi desa seperti halnya potensi pertambangan, potensi perikanan, wisata, industi kerajinan, hutan larangan atau suaka alam, hutan lindung, hutan industri, perkebunan, hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan tujuan khusus. Beberapa pihak berpandangan bahwa hal di atas akan maksimal apabila di tangani oleh pihak terdekat yaitu memaksimalkan pemerintahan desa. Oleh sebab itu maka Lahirlah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 1 H. Syaukani, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 177. 2 Di dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 3 HAW Widjaya, Titik Berat Otonomi : Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 43 Tentang Desa, Pada Pasal 4 Undang-Undang tersebut di jelaskan bahwa pengaturan tentang desa bertujuan untuk : 1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; 5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; 6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; 7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; 8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; 9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Yang menarik adalah bahwa Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tersebut mencapai tujuan di atas dengan merubahs beberapa pola pemerintahan desa yang telah di terapkan di desa sejak awal reformasi, perubahan itu terletak pada pengakuan atas eksistensi desa, kepala desa dan perubahan peran camat di dalam Pemerintahan desa tersebut. Dengan perubahan tersebut maka perlu diperhatikan dan pemantauan terhadap proses transisi dari sistem yang lama kepada sistem yang baru dalam pengelolaan desa di Indonesia. Oleh sebab itu maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimanakah proses transisi perubahan sistem pemerintahan yang terjadi tersebut.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Lyse Nofriadi |
Date Deposited: | 27 Jan 2016 08:26 |
Last Modified: | 27 Jan 2016 08:26 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/162 |
Actions (login required)
View Item |