PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR RAYA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KOTA PADANG YANG BERSIH, INDAH, TERTIB DAN AMAN

PUTRI, AYU SARI (2015) PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR RAYA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KOTA PADANG YANG BERSIH, INDAH, TERTIB DAN AMAN. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.

[img] Text
201512101326th_skripsi putri.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah memiliki andil dalam pelaksanaan tujuan negara tersebut melalui kebijakan sosial dan peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang perekonomian yang dimaksudkan untuk mengusahakan adanya kesetaraan di antara masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya. Menurut Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya dalam Ayat (4) dinyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Kemudian Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Menurut Jum Anggriani: “Konstitusi Negara Indonesia menganut prinsip “negara hukum yang dinamis” atau welfare state, karenanya tugas pemerintah Indonesia menjadi sangat luas. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat, baik di bidang politik, maupun di bidang sosial budaya-ekonomi. Karenanya untuk menjalankan tugasnya, pemerintah melakukan freies ermessen, yaitu kewenangan untuk turut serta (campur tangan/kebebasan dalam bertindak) dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan (kehidupan rakyat) untuk mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan sosial”.1 Konsep negara kesejahteraan merupakan perwujudan dari negara hukum yang mempunyai ciri antara lain: asas legalitas, asas persamaan dalam hukum, peradilan bebas.2 Selanjutnya, unsur-unsur negara hukum pada umumnya dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:3 1. adanya pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM); 2. adanya pemisahan kekuasaan; 3. pemerintahan harus berdasar undang-undang; 4. adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam UUD 1945 seperti yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Segala hal yang berkaitan dengan kewenangan, tanggung jawab, kewajiban, dan hak serta sanksi semuanya diatur oleh hukum. Termasuk di dalamnya mengatur tentang keberadaan pedagang kaki lima (selanjutnya disingkat PKL) sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat lemah yang menjadi fenomena saat ini. 1 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 40. 2 Ibid., hlm. 41. 3 Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1995, hlm. 84. Menurut Herman Malano: “Terdapat sebanyak 45 persen atau 22 juta orang Indonesia bekerja sebagai pedagang pasar tradisional. Diantara pedagang pasar adalah PKL yang membuka usaha di tepi-tepi pasar, di pinggir jalan raya, di atas trotoar, di sekitar sarana umum, atau di dekat supermarket. Dengan demikian, bisa dilihat betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang menghidupi keluarganya dari profesi PKL”.4 Definisi PKL sendiri dapat dilihat pada Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disebut sebagai Perpres Penataan dan Pemberdayaan PKL) yang menjelaskan bahwa: “Pedagang kaki lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap”. Menurut Herman Malano: “PKL memang seperti benalu dalam dunia perdagangan, khususnya pasar tradisional. Mereka dicap sebagai biang kerok masalah kemacetan jalan, penyebab pasar menjadi semakin kotor, sesak, sumpek. Bahkan lebih jauh dituding sebagai penyebab sembrawutnya tata kota sehingga gagal meraih penghargaan adipura. PKL seolah penyakit yang harus disingkirkan jauh-jauh agar tidak merongrong kewibawaan pemerintah. Komunitas PKL lebih sering dicap sebagai „biang kerok‟, ketimbang dianggap sebagai salah satu penggerak ekonomi kerakyatan, penyerap tenaga kerja, tanggul saat krisis moneter lalu, dan sumber retribusi bagi pemerintah”.5 Selanjutnya Herman Malano juga mengungkapkan bahwa: “Peningkatan jumlah PKL mulanya adalah sebagai batu loncatan. Krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 lalu memang telah banyak menciptakan tenaga-tenaga kerja instan. 4 Herman Malano, Selamatkan Pasar Tradisional:Potret Ekonomi Rakyat Kecil, Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 238. 5Ibid., hlm. 238. Pilihan diambil hanya daripada menganggur. PKL bermunculan dan menjamur memadati pinggir-pinggir pasar tradisional, di sekitar lokasi supermarket, bahkan hingga ke jalan raya. Para pedagang dadakan itu menjual apa saja yang kira-kira diminati pembeli, seperti pakaian anak-anak, pakaian tidur, pakaian dalam, aneka kue, dan buah-buahan”.6 Di satu sisi kemunculan PKL tersebut mempermudah para konsumen. Akan tetapi, peningkatan jumlah PKL tersebut telah berdampak pada estetika, yang mana prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencangkup penikmatan rasa senang terhadap keindahan.7 Selain itu, peningkatan jumlah PKL juga berdampak terhadap kebersihan dan fungsi sarana dan prasarana kawasan perkotaan serta terganggunya kelancaran lalu lintas dan lokasi parkir yang menjadi sembraut sehingga perlu dilakukan pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya dan dilakukakan penataan agar tidak mengganggu kelancaran lalu lintas dan sebagainya. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat Permendagri tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL) dijelaskan mengenai pengertian penataan dan pemberdayaan itu sendiri. Pengertian penataan tertuang dalam Pasal 1 Angka 2 sebagai berikut: “Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL 6Ibid., hlm. 20. 7 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 37. dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya Pasal 1 Angka 3 Permendagri dimaksud menjelaskan pengertian tentang pemberdayaan, yaitu sebagai berikut: “Pemberdayaan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas maupun kuantitas usahanya”. Secara mendetail, penataan PKL yang berlaku di tingkat Kabupaten/Kota menurut Pasal 6 Ayat (2) Perpres Penataan dan Pemberdayaan PKL meliputi: a.penetapan kebijakan penataan PKL; b.penetapan lokasi dan/atau kawasan tempat berusaha PKL di dalam Rencana Detil Tata Ruang; c.penataan PKL melalui kerja sama antar Pemerintah Daerah; d.pengembangan kemitraan dengan dunia usaha; dan e.penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Terkait dengan definisi lokasi dan/atau tempat berusaha PKL, Pasal 1 Angka 10 Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 03 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat Perda Kota Padang tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL) memberikan definisi sebagai berikut, “Lokasi PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang berada di lahan dan atau bangunan milik pemerintah daerah dan/atau swasta”. Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan penataan PKL sebagaimana dimaksud pada bagian sebelumnya. Tujuan itu telah dirumuskan dalam Pasal 5 Permendagri tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL, yaitu: a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan c. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Pada dasarnya, PKL sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat lemah membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dalam hal penyelenggaraan iklim yang kondusif bagi berkembangnya usaha mereka. Penyelenggaraan iklim yang kondusif bagi berkembangnya usaha mereka akan mengefektifkan penataan dan pemberdayaan agar meningkat dan berkembang skala usahanya tanpa mengabaikan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pasar Raya Kota Padang merupakan pasar tradisional terbesar di Kota Padang yang menjadi lahan pencaharian bagi para PKL.8 Hal ini terjadi karena para pedagang kehilangan lahan untuk menjual barang dagangannya akibat gempa besar pada 30 September 2009 lalu sehingga 8 https://www.lalidi.com/pasar-tradisional-di-kota-padang/ diakses pada 26 Mei 2015. para pedagang yang kiosnya hancur pasca gempa menggunakan badan jalan dan trotoar untuk melanjutkan usahanya. Banyaknya PKL yang berjualan di sepanjang jalan dan trotoar di Kota Padang tentu saja membuat kondisi Kota Padang tak teratur. Selain itu, sembrawutnya pasar sementara di sepanjang jalan Pasar Raya menyebabkan banyak sekali sampah berserakan dan jalanan penuh dengan pedagang dimana pemandangan seperti ini, dulu tidak pernah kita jumpai.9 Melihat kondisi tersebut sehingga perlu dilakukan penataan terhadap aktivitas PKL yang berjajar di lokasi atau jalan yang dilarang untuk usaha PKL seperti yang dimaksud dalam Keputusan Walikota Padang Nomor 109 Tahun 2014 tentang Lokasi dan Jadwal Usaha Pedagang Kaki Lima. Dalam Keputusan Walikota Padang Nomor 109 Tahun 2014 tentang Lokasi dan Jadwal Usaha Pedagang Kaki Lima tersebut disebutkan bahwa lokasi usaha PKL adalah Jalan Pasar Raya, Jalan Permindo, Jalan Sandang Pangan, Jalan Pasar Raya I, Gang Rajawali, Gang Berita, Gang / Selasar bagian tengah Pertokoan Fase VII, dan Gang antara Fase VII dan Fase VII tambahan, sedangkan lokasi atau jalan yang dilarang untuk usaha bagi PKL di antaranya adalah Jalan Pasar Baru, Jalan M. Yamin, Bundaran Air Mancur, Jalan Hiligoo, Jalan Bundo Kanduang dan Jalan Pasar Raya II. 9 Walneg dan Windo Wibowo, Padang di Persimpangan jalan? Potretnya Dahulu, Kini dan Visi Masa Depan, PT Visi Media Nusantara, Jakarta, 2012, hlm. 76. Agar tercapainya tujuan dari penataan PKL untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dapat tercapai dengan baik, tentunya terdapat kendala yang akan ditemui dalam penataan PKL di Lapangan baik dilihat dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat atau PKL itu sendiri. Melihat permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul: “PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR RAYA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KOTA PADANG YANG BERSIH, INDAH, TERTIB DAN AMAN”.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: J Political Science > JS Local government Municipal government
K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Randa Erdianti
Date Deposited: 12 Feb 2016 07:48
Last Modified: 12 Feb 2016 07:48
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1539

Actions (login required)

View Item View Item