KEDUDUKAN QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG BENDERA DAN LAMBANG ACEH DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

HAIKAL, ARISY (2014) KEDUDUKAN QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG BENDERA DAN LAMBANG ACEH DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Diploma thesis, UNIVERSITAS ANDALAS.

[img] Text (SKRIPSI)
CRV0164.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

Ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasi situasi Negara ini menimbulkan kritik dari tokoh-tokoh politik, yang menilai pemerintah pusat lambat mengambil langkah-langkah tegas dan terobosan baru untuk mengatasi berbagai persoalan negri ini hingga berkembang isu Negara Indonesia menuju sebuah Negara gagal (failed state) seperti Somalia dan Sudan. Aceh menjadi sorotan, sejak dimulainya dari pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1953, hingga lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1974. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan perdamaian di Aceh, hingga momentum pasca gempa dan stunami pada 26 Desember 2004 di Aceh. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif, menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan peraturan perundang-undangan terkait, serta pendekatan sejarah. Melalui proses perundingan Momerandum Of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 menunjukkan kemajuan dalam upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Dari perundingan tersebut menimbulkan terobosan baru bagi masyarakat Aceh, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan hasil implementasi dari MoU tersebut. Untuk menjalankan Undang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut dibentuk peraturan Perundang- Undangan yang disebut “Qanun”. Dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, ditentukan bahwa “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh”. Berdasarkan MoU Helsinski 15 Agustus 2005 dan UUPA dibentuk Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang memberikan hak pada Aceh untuk memiliki simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan hymne, sebagai bentuk keistimewaan dan kekhususan Aceh. Namun, Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya Qanun tersebut menimbulkan pro-kontra bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh serta masyarakat Aceh, yang mengakibatkan dilema baru bagi masyarakat Aceh.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Yth Vebi Dwi Putra
Date Deposited: 13 Aug 2016 04:43
Last Modified: 13 Aug 2016 04:43
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/14808

Actions (login required)

View Item View Item