WAHYUNI, SYAH JOHAN (2014) PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR DI KABUPATEN SOLOK SELATAN. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.
Text
201503181114th_wahyuni syah johan.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (458kB) |
Abstract
Latar Belakang Masalah Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan tergantung kepada organisme lain dan semua komponen lain dan semua komponen lingkungan yang dapat dipandang sebagai sumber daya alam. Sehingga antar organisme yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan timbal balik baik secara langsung maupun tidak.1 Hubungan antara organisme yang satu dengan yang lainnya dan dengan semua komponen lingkungannya sangat kompleks (rumit) dan bersifat timbalbalik.Hubungan tersebut adalah alamiah, artinya hubungan yang terjadi secara otomatis pada sistem alam atau sistem ekologi yang dikenal dengan istilah ekosistem.2 Ekosistem merupakan suatu pola interaksi antara komponen abiotik dan biotik di dalamnya yang saling terkait satu sama lainnya. Ada beragam jenis ekosistem ini yang jika disatukan maka akan membentuk biosfer. Salah satu jenis ekosistem yang sangat penting keberadaannya adalah ekosistem hutan.3 Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem, mengingat hutan dibentuk atau disusun oleh banyak komponen, dimana komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tidak dapat dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung.4 Hutan merupakan kelompok organisme yang mencakup berbagai spesies tumbuhan dan spesies hewan serta mikro organisme yang menempati suatu habitat, sehingga terjadi hubungan timbal-balik yang bersifat alamiah.5 Walaupun demikian, sifat alamiah itu tidak serta merta dapat dipergunakan secara semenamena,karena Negara Republik Indonesia telah membuat aturan tentang sifat alamiah itu, salah satunya dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam Undang-Undang tersebut pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Sebagai kekayaan alam milik bangsa dan negara, maka hak-hak bangsa dan negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan supaya hutan tersebut dapat memenuhi fungsinya bagi kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakekatnya merupakan modal alam (natural capital) yang harus di transformasikan menjadi modal riil (riil capital) bangsa indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu:6 1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional, dan global; 2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah, dan pendapatan masyarakat; 3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa negara bagi penumpukan modal pembangunan. Hutan sebagai sumber kekayaan alam milik bangsa Indonesia merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Bumi, Air, dan Kekayaan alam yang ada didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Bappenas pembangunan hutan merupakan salah satu sasaran pembangunan nasional yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Pembangunan hutan sebagaimana yang diharapkan dapat terwujud nyata sekarang hanyalah sesuatu yang sulit terjadi. Hal ini disebabkan karena maraknya praktek pembalakan liar yang terjadi di Indonesia. Pembalakan liar sekarang ini menjadi permasalahan yang sangat serius di Indonesia karena dapat menimbulkan masalah multi dimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang didalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi sosial.7 Pembalakan liar juga membawa dampak musnahnya berbagai flora dan fauna, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu temuan oleh pihak terkait.8 Studi Indonesia Corruption Watch(ICW) selama kurun waktu 2004-2010, kerugian negara akibat pembalakan hutan di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. Nilai sebesar itu diperoleh dari perhitungan kekurangan penerimaan negara dari sektor pajak bumi dan bangunan serta perijinan dan royalti.9 Hilangnya hutan di Indonesia telah meningkat tajam selama 12 Tahun terakhir, demikian laporan sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Jurnal Science. Penelitian yang di pimpin oleh Matt Hensen dari University of Maryland, menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara Tahun 2000 dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Kanada dalam hilangnya hutan. Adapun sekitar 7 juta hektar hutan ditanam selama periode tersebut. Namun, dari lima negara hutan diatas, berdasarkan persentase, maka Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Sebagai perbandingan Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut.10 Kontribusi manusia terhadap kerusakan hutan sangatlah besar, salah satunya adalah kerusakan hutan (deforestasi).11 Kerusakan hutan tropis di negaranegara berkembang sangat mengkhawatirkan. Sebab hutan tropis di anggap sebagai paru-paru bumi yang mampu mensirkulasi dan mentransformasi karbondioksida menjadi oksigen.12 Ada tiga faktor utama yang mempercepat laju kerusakan hutan, yaitu penebangan berlebihan dan tak terkendali (resmi maupun liar), kebakaran hutan serta perubahan fungsi hutan (kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertambangan).13 Ditengah carut marutnya ekonomi Indonesia, hutan menjadi korban yang mengerikan, penebangan liar, penyelundupan kayu, kebakaran dan perusakan hutan semakin menjadi-jadi.14 Tekanan dan ancaman terhadap hutan telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan sebagai akibat perbuatan manusia.15 Dari penjelasan diatas sangat besar dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh manusia terhadap perusakan hutan. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Setiap tingkah laku dan perbuatan warga negara harus berdasarkan hukum yang berlaku. Kepolisian Republik Indonesia selaku alat negara penegak hukum sesuai dengan Pasal 13 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 bertugas melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hukum dan perundang-undangan yang menjadi porsi tugas Polri untuk ditegakkan adalah semua hukum pidana baik yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun diluar KUHP. Dalam bidang kehutanan telah dibentuk produk hukum yaitu Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam Undang- Undang tersebut telah diatur tentang tata cara dan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan. Mengenai penegakan hukum tindak pidana kehutanan, dimana dalam hal ini ada 2 (dua) Penyidik, Penyidik tersebut ialah Penyidik Polri dan PPNS yang ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang No.18 Tahun 2013 bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Banyak permasalahan yang dihadapi Penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana pembalakan liar ini, salah satu nya yaitu masalah operasional. Selain itu permasalahan yang dihadapi antaranya :16 a. Kurangnya pengalaman Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dalam tugas-tugas penyidikan tindak pidana. b. Kurangnya koordinasi dengan Penyidik Polri dan aparat penegak hukum lainnya dalam proses penyidikan perkara pidana. Kurangnya koordinasi antara penegak hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga rawan menimbulkan konflik kepentingan. c. Kurangnya penguasaan prosedur dan materi hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. d. Persepsi yang kurang tepat dari aparat penegak hukum lainnya terhadap kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Apabila melihat contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan, pelaku pembalakan liar (illegal logging) benar-benar memanfaatkan lemahnya penegakan hukum terhadap perambah hutan. Buktinya, pada Mei 2013 yang lalu 16Direktorat Perlindungan Hutan, Ditjen PHKA, Buku Panduan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jakarta. 2004, hlm. 1. 7 ratusan kubik kayu siap olah kembali ditemukan di Padang Air Dingin, Kecamatan Sangir Jujuan, Kabupaten Solok Selatan. Anehnya, Polisi Kehutanan terkesan cuek dan aparat pun terkecoh.17Kasus pembalakan liar ini semakin terkuak dengan adanya bukti rekaman yang dimiliki LSM ICS. Dalam rekaman itu, oknum masyarakat yang mendatangi kantor ICS mengaku telah melakukan pembukaan jalan. Namun, ada kekhawatiran dari LSM tersebut mengenai keberanian Polres Solok Selatan dalam mengungkap kasus ini. Kekhawatiran ICS tentang keseriusan polisi di daerah itu untuk mengungkap temuan pembalakan liar karena adanya laporan temuan pihak polisi yang jauh berbeda dengan pihak lain. Dinas Kehutanan dan Perkebunan saja menemukan 20 kubik kayu. Namun, berbeda dengan polisi yang hanya melaporkan ke atasannya, bahwa temuan hanya 2 kubik saja.18 Kepolisian Resort Solok Selatan pada tahun 2013 telah melakukan berbagai tindakan untuk menangkap pelaku pembalakan liar di Solok Selatan. Pada tanggal 13 Juni 2013 Kepolisian Resort Solok Selatan menyita 11 Kubik kayu olahan dari jenis banio dan campuran berbagai ukuran di dua lokasi berbeda. Kayu olahan tersebut ditangkap di Jorong Batikan Nagari Bidar Alam pukul 22.30 WIB sebanyak 5 kubik dan sebanyak 6,5 kubik lagi disita di Nagari Padang Air Dingin sekitar pukul 23.30 WIB.19 Penyitaan yang dilakukan seringkali hanya melibatkan Supir truk yang membawa kayu, pemilik kayu sangat jarang ditangkap oleh Kepolisian, sehingga pembalakan liar yang terjadi di Solok Selatan tetap berlanjut. Menurut Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Rico Fernanda, pembalakan liar yang marak terjadi di Solok Selatan sangat sulit untuk di buktikan karena status hutan di Solok Selatan tidak jelas. Namun, para pelaku mengantongi surat-surat. Sedangkan kawasan hutan di daerah Solok selatan belum melalui penetapan. Jika belum ada penetapan, maka belum dianggap kawasan hutan.20 Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana pembalakan liar dan menuliskan dalam laporan dalam bentuk skripsi yang berjudul: ’’PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR DI KABUPATEN SOLOK SELATAN”
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Ikmal Fitriyani Alfiah |
Date Deposited: | 26 Jan 2016 02:57 |
Last Modified: | 26 Jan 2016 02:57 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/14 |
Actions (login required)
View Item |