DHITA, DWI HANDAYANI (2015) PENERAPAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang). Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.
Text
201505220901nd_skripsi dhita dwi handayani.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (2MB) |
Abstract
Latar Belakang Seorang penulis, orator, filsuf, sekaligus politikus Romawi yang terkenal, Marcus Tullius Cicero, menyatakan, “Ubi Societas Ibi Ius”, di mana ada masyarakat di situ ada hukum.1 Adagium Cicero yang lebih kurang 19 abad silam ini, kini telah melintasi zaman dan menjadi adagium yang digunakan ahli hukum dan masih berlaku sampai sekarang. Adagium ini menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Masyarakat memerlukan aturan hukum agar kehidupannya tertib dan tidak ada seorang pun yang diperlakukan tidak adil dan yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hakikatnya hukum diadakan bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya akan bermuara kepada kesejahteraan (welfare). Sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.2 Tetapi pada kenyataannya pengertian keadilan masih dalam perdebatan dan sampai saat ini tidak ada jawaban yang dapat memuaskan. Filsuf Yunani, Socrates, mengatakan: “.....justice if only we knew what it was” , dan banyak ahli-ahli hukum yang 1 Radisman F. S. Sumbayak, 1985, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pemantapan Penegakan Hukum, Ind-Hill, Jakarta, hal 35. 2 Soeroso, 2009,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 58. 2 berpendapat : “Juctice means different things to different people.”3 Dengan adanya pemikiran tersebut, maka sulit bagi praktisi hukum seperti Hakim untuk memberikan keadilan seperti yang dibayangkan para filsuf. Keadaan seperti ini juga terjadi di Indonesia khususnya dalam tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi sampai dengan saat ini masih menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia pada bidang hukum. Kenyataan ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus korupsi yang terungkap ke hadapan publik dan hampir sebagian besar pelakunya adalah mereka yang berpendidikan, berpangkat serta menduduki jabatan yang berpengaruh di negeri ini. Tingginya angka korupsi yang terjadi di Indonesia didukung dengan adanya hasil kajian yang memposisikan Indonesia pada peringkat 114 dari 177 negara sebagai negara terkorup di dunia berdasarkan riset Transparancy International yang disampaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2013, yang dibuat oleh badan pengawas korupsi Transparency International.4 Realitas ini memang menyakitkan rasa kebangsaan, namun dalam kenyataan di lapangan, fakta tersebut tidak dapat dielakan. Dalam point (a) pertimbangan Undang-Undang ( UU ) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang ( UU ) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa, korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana yang sifatnya sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Bahkan, pada bagian pertimbangan umum UU No.31 Tahun 1999 jo. UU 3 Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2003, Jakarta,hal 13-14. 4 http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/12/04/peringkat-korupsi-indonesia-di-dunia-tahun-2013-615559.html Diakses pada hari Sabtu tanggal 16 Agustus 2014, pk 20.17 WIB. 3 No.20 Tahun 2001 tersebut, korupsi juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Melihat peningkatan dan pekembangan yang terjadi dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, mau tidak mau laju pertumbuhan dan pembangunan nasional menjadi terhambat. Akibatnya, sasaran pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan bangsa Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia seluruhnya tidak berjalan pada jalur yang telah ditentukan dan diharapkan. Kenyataan yang menunjukkan bahwa perkembangan tindak pidana korupsi berlangsung secara cepat dan meluas memberikan cukup alasan yang rasional untuk mengategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).5 Sebagai konsekuensinya, terdapat beberapa penyimpangan dari sisi ketentuan hukum pidana yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam proses peradilannya jika dibandingkan dengan ketentuan yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bentuk penyimpangan dalam ketentuan Hukum Pidana yang diberlakukan ini diantaranya berupa: 1. Nilai nominal pidana denda yang lebih tinggi, 2. Adanya ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, dan 3. Penjatuhan pidana pokok bersifat komulatif. 4. Adanya ketentuan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus, 5 Elwi Danil, 2011, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 76. 4 Tindak pidana korupsi dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Dimana masing- masing Pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda. Lahirnya ketentuan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus ini karena ancaman pidana penjara minimum umum yang diatur dalam KUHP adalah penjara paling singkat satu hari dan maksimumnya adalah 15 tahun dan maksimum tersebut dapat menjadi 20 tahun dengan kondisi tertentu.6 Sehingga dengan adanya ancaman pidana minimum khusus ini Hakim tindak pidana korupsi tidak dapat menjatuhkan putusan pidana di bawah dari batas pidana yang telah ditentukan dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan dari Hakim Tindak Pidana Korupsi Fahmiron, yang menyatakan bahwa adanya batas minimum khusus ini bertujuan untuk memberikan perbedaan antara tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan batasan kepada Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Karena jika tidak ada batas minimum khusus, Hakim dalam penjatuhan pidana penjara akan berpatokan kepada KUHP yaitu paling singkat 1 (satu) hari penjara. Dengan kata lain, Hakim tidak diperkenankan 6 Tolib Setiady, 2009, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal 97. 5 untuk memberikan putusan pidana di bawah dari batas minimum khusus. Jika hal ini terjadi maka Hakim tersebut dianggap sudah melanggar kode etik.7 Kemudian dari segi pemidanaan yang dilaksanakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, Hakim yang menerima, memeriksa, dan memutus sebuah kasus korupsi dapat mengkomulasikan pidana pokok yang ada. Komulasi pidana yang dilakukan tersebut dapat bersifat imperatif.8 Selain dibekali dengan ancaman pidana pokok, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 juga dibekali dengan pidana tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa, selain dapat dijatuhi pidana pokok, terdakwa tindak pidana korupsi, juga dapat dijatuhi pidana tambahan yang salah satu bentuknya adalah berupa pidana pembayaran uang pengganti. Tindak pidana korupsi di Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Indonesia Coruption Watch (ICW) dalam hasil kajiannya pada semester I tahun 2014 masih banyak terdakwa tindak pidana korupsi diberikan vonis ringan. Menurut ICW dari Januari hingga Juni 2014 ada 261 terdakwa tindak pidana korupsi, tetapi hanya ada 4 terdakwa yang divonis berat lebih dari 10 tahun. Termasuk di dalamnya Akil Mochtar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dipidana seumur hidup. Sedangkan vonis sedang yakni 4 hingga 10 tahun penjara berjumlah 43 orang dan ada 195 terdakwa yang dipidana dalam rentang 1 hingga 4 tahun penjara. Selain vonis ringan besaran uang pengganti juga masih sangat 7 Prapenelitian, Wawancara dengan Bapak Fahmiron,S.H.,M.H.,Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Hari Kamis tanggal 16 September 2014. 8 Elwi Danil dan Nelwitis, 2002, Diktat Hukum Penitensier, Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hal 103. 6 kecil apabila dibandingkan dengan kerugian negara yang diakibatkan para koruptor. Dari 261 perkara yang ada 210 di antaranya negara mengalami kerugian sebesar Rp 3,863 Triliun dan USD 49 juta. Sedangkan jumlah denda yang dijatuhkan saat vonis dibacakan sampai saat ini baru berjumlah Rp 25 Milyar. Begitu pula dengan uang pengganti baru menyentuh Rp 87,2 Milyar dan USD 5,5 juta. Jumlah itu snagat minim karena terdakwa yang didenda lebih dari Rp 150 juta hanya 59 orang sedangkan 139 terdakwa membayar denda sekitar Rp 25 juta sampai Rp 50 juta. Sisanya dari 18 terdakwa, dipidana bebas oleh Mahkamah Agung saat diketuai oleh Hakim agung Timur Manurung sebanyak 5 (lima) terdakwa ditambah dengan pembebasan 13 (tiga belas) lainnya oleh beberapa Pengadilan Negeri Tipikor di antaranya Ambon sebanyak 2 (dua) orang, Tanjung Karang Bandar Lampung 1 (satu) orang, Pekanbaru 1 (satu) orang, Surabaya 1 (satu) orang, Maluku 2 (dua) orang, dan Palu 2 (dua) orang bebas.9 Fakta lainnya dapat kita lihat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Klas IA Padang bahwa perkara tindak pidana korupsi banyak yang diputus dengan pidana yang ringan atau mendekti batas minimum khusus. Ada bebarapa perkara tindak pidana korupsi yang telah diputus oleh Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Klas IA Padang di tahun 2014, antara lain : 10 1. Beni Vival selaku Wali Nagari Sungai Jambu, yang dipidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), subsider 3 (tiga) bulan kurungan serta uang pengganti Rp 70.136.000 (tujuh puluh juta seratus 9 Padang Ekspres, Tanggal 4 Agustus 2014, hal 1 dan 7. 10 Pra Penelitian Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Kamis 16 September Tahun 2014. 7 tiga puluh enam ribu rupiah) subsider 1 (satu) tahun penjara. Terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 3 UU No 20/2001 jo. UU No 31/1999 adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun sedangkan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Ir. M. Nazli, Mt selaku Pejabat Pengguna Anggaran Barang pada Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat, yang dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) subsider pidana pidana kurungan 3 (tiga) bulan. Terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 2 UU No 20/2001 jo. UU No 31/1999 adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidaan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 3. Zul Aparis selaku PNS yaitu Wali Nagari Andaleh dan Ketua Poka Andaleh, yang dipidana 1 tahun dan denda Rp 50.000.000 subsider pidana kurungan 1 bulan serta uang pengganti sebesar Rp 10.560.000 subsider pidana penjara 1 bulan. Terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 3 UU No 20/2001 jo. UU No 31/1999 adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun sedangkan pidana denda paling sedikit Rp 8 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 4. Reynold Oktavianto selaku Direktur CV Sinar Kasih Indah, yang dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200.000.000,00 subsider 3 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 64.252.815,73 subsider pidana penjara 2 tahun 6 bulan. Terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 2 UU No 20/2001 jo. UU No 31/1999 adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidaan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa, Hakim cenderung menjatuhkan putusan pemidanaan dengan pidana penjara dan pidana denda yang mendekati batas minimum khusus atau bahkan tepat dibatas minimum khusus dalam tindak pidana korupsi. Terlihat dengan jelas bahwa putusan pidana penjara dan pidana denda yang dijatuhkan oleh Hakim memiliki jarak yang relatif jauh dari batas pidana penjara dan denda maksimum khusus yang di atur dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tentu saja kita sebagai warga negara ingin melihat Hakim bertindak adil dan benar (properly) menurut undang-undang serta mengetahui apa saja alasan atau dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan putusan pidana sebagaimana yang dijelaskan di atas yaitu cenderung menjatuhkan putusan pemidanaan dengan 9 pidana yang mendekati batas minimum khusus terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan sebelumnya, penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian yaitu; PENERAPAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Pengadilan Negeri Klas IA Padang).
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | H Social Sciences > HN Social history and conditions. Social problems. Social reform K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Lyse Nofriadi |
Date Deposited: | 27 Jan 2016 08:09 |
Last Modified: | 27 Jan 2016 08:09 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/134 |
Actions (login required)
View Item |