TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE OF ENDANGERED SPECIES OF WILD FLORA AND FAUNA(CITES) DALAM PENANGGULANGAN PENYELUDUPAN ORANGUTAN INDONESIA KE THAILAND

FEBRIDE, FEBRIDE (2015) TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE OF ENDANGERED SPECIES OF WILD FLORA AND FAUNA(CITES) DALAM PENANGGULANGAN PENYELUDUPAN ORANGUTAN INDONESIA KE THAILAND. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan.

[img] Text
Skripsi FEBRIDE iii.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (423kB)

Abstract

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keberagaman hayati. Keunikan tersendiri yang dimiliki Indonesia menjadikan Indonesia berperan penting dalam perdagangan flora dan fauna di dunia. Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati demi meningkatkan pendapatan ekonomi termasuk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat tumbuhan dan satwa.1 Satwa liar di Indonesia merupakan sumber daya alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perdagangan baik di dalam negeri, import maupun eksport. Pemanfaatan satwa liar dapat bersumber pada penangkaran dari habitat alam dan hasil penangkaran berupa hasil pengembangbiakan satwa liar, pembesaran satwa liar, perbanyakan tumbuhan secara buatan. Indonesia merupakan negara 1http://www.wwf.or.id/?4201/Pelaksanaan-CITES-di-Indonesia. Di akses pada tanggal 10 Juni 2015, Pukul 22.10 WIB yangmemiliki kekayaan flora dan fauna yang cukup besar, yang disebut sebagai Negara Megabiodiversity2 Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ± 11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas ± 3,7 juta ha).3 Konservasi dilakukan untuk pelestarian spesies diluar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman safari, 3 taman burung, 4 rehabiliitasi lokasi orang utan.4 Namun dalam hal pemanfaatan Indonesia harus memperhatikan kondisi populasi, agar di peroleh manfaat secara berkelanjutan salah satunya seperti perdagangan tumbuhan dan satwa yang legal. Perdagangan satwa liar di Indonesia menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar karena lebih dari 95% satwa yang diperdagangkan adalah hasil tangkapan dari alam. Beberapa fakta tentang perdagangan satwa liar : 5 a) Sekitar 100.000 burung paruh bengkok setiap tahunnya ditangkap dari alam papua, termasuk jenis yang langka seperti kakatua raja (Probosciger atterimus), Nuri kepala hitam (Lorius lorry) dan kakatua jambul kuning (cacatua galerita). 2 Megabiodiversity merupakan sebutan untuk sumber daya hayati dan keanekaragaman hayati yang amat banyak jumlahnya, Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang kaya akan sumber alamnya, dengan lebih dari 17.000 pulau dan luas lautnya yang terkandung didalamnya memiliki bermacam keanekaragaman flora dan fauna baik laut maupun darat. 3http://www.menlh.go.id/i/art/bab7%20keanaekaragaaman%20hayati.pdf. “konservasi yang dimiliki indonesia” tanggal 30 Desember 2014, pukul 21.00 WIB 4Ibid. 5http://www.profauna.org/content/id/kampanye/kampanye_perdagangan_satwa_liar.html diakses pada tanggal 10 Januari 2015,pukul 20.00 WIB b) Sedikitnya 15.000 ekor burung paruh bengkok ditangkap setiap tahunnya dari Maluku Utara, termasuk kakatua putih (Cacatua alba) yang telah hilang dibeberapa desa di Pulau Halmahera. c) Pada tahun 1999,sekitar 27.000 ekor penyu dibunuh setiap tahunnya di Bali untuk dibuat sate dan diambil karapasnya. Meski kini perdagangannya telah menurun 80%, namun pengiriman penyu ke Bali secara ilegal masih saja berlangsung. d) Setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orangutan Kalimantan yang diselundupkan ke jawa dan luar negeri. e) Untuk menangkap bayi orangutan, pemburu harus membunuh induknya terlebih dahulu. Sedikitnya seekor orangutan mati untuk mendapatkan bayinya. f) Sekitar 2500 lutung jawa setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan dan diambil dagingnya. g) Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. h) 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. i) 70% primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan prilaku. Perdagangan satwa liar itu marak terjadi akibat lemahnya penegakan hukum di bidang pelestarian satwa liar, juga adanya hobi sebagian masyarakat dalam memelihara satwa liar secara pribadi untuk kesenangan.6 Survey ProFauna7 menunjukan bahwa hampir 100% satwa liar yang dipelihara secara pribadi dalam sangkar dan makanan yang tidak memadai. Berdasarkan hal tersebut Indonesia memiliki daftar panjang tentang satwa yang terancam punah. Suatu jenis satwa dikatakan terancam punah jika mereka dalam waktu yang tidak lama lagi akan punah jika tidak ada tindakan untuk penyelamatan. 6Ibid. 7 ProFauna dahulu bernama KSBK (Konservasi Satwa Bagi Kehidupan)adalah sebuah lembaga independen non profit berjaringan internasional yang bergerak dibidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya. Kegiatan ProFauna bersifat non politis dan non kekerasan. Setiap dua tahun sekali badan konservasi dunia atau International Union for Conservation of Nature and Nutural Resources (IUCN), menerbitkan buku data merah yang berisikan tentang daftar spesies yang terancam punah di seluruh dunia. Menurut IUCN (2003), jumlah jenis satwa Indonesia yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91 jenis ikan, dan 28 jenis invertebrata (hewan tak bertulang belakang.)8 Termasuk didalamnya keberadaan orang utan Indonesia yang memang sudah terancam punah. Orang utanadalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau cokelat, yang hidup di hutan tropikaIndonesia, khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan.9Pongo Pygmaeus merupakan spesies orang utan yang hanya ada di pulau Kalimantan dan sampai sekarang masih dalamkategori Appendiks I CITES berdasarkan Konferensi Para Pihak ke 16 di Bangkok, Thailand pada tahun 2013. Di pulau Kalimantan sedang maraknya terjadi kasus penyelundupan satwa liar melewati lintas batas negara khususnya orang utan. Saat ini jumlah orang utan Kalimantan yang masih tersisa kurang lebih sekitar 23.000 ekor10. Adapun beberapa penyebab terjadinya penyelundupan orang utan di Kalimantan adalahKebakaran hutan di Kalimantan menyebabkan orang utan dan satwa liar langka menjadi korban. Hal ini menjadi kesempatan bagi oknum tertentu untuk menyelundupkan satwa 8https://balivetman.wordpress.com/2008/05/02/mega-biodiversity-yang-terancam/. Diakses tanggal 25 Januari 2015 pukul 10.45 WIB. 9http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_utan . Diakses tanggal 7 Mei 2015 pukul 12.30 WIB 10Ibid. langka tersebut ke luar Indonesia. Apalagi staf lapangan yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) yang bertugas memadamkan api dan menyelamatkan satwa dikawasanhutan gambut Mawas, Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimatan Tengah menemukan sejumlah orangutan dan satwa liar lainnya berusaha menyelamatkan diri dan keluar dari hutan. Beberapa di antaranya terkulai lemas karena menghirup asap. Sebagian satwa liar atau langka yang menjadi korban langsung ditranslokasikan ke hutan terdekat yang masih aman. Tapi apabila ada orang yang tidak bertanggung jawab menemukan orang utan dan memang berniat memburu satwa liar tersebut, maka dengan mudah satwa liar ini dapat ditangkap. Musim kebakaran hutan juga membuat orangutan liar keluar dari hutan dalam kondisi yang lemah. Biasanya hal seperti ini dimanfaatkan oleh orang yang memang sengaja menunggu momen ini, untuk mendapatkan anak orangutan. Jika ingin mendapatkan anak orang utan maka oknum tersebut harus membunuh induknya terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini aparat terkait diharapkan bisa memperketat pengawasan terutama di area-area pelabuhan yang selama ini jauh dari pantauan. Pelabuhan-pelabuhan kecil atau alur-alur sungai kecil memang sulit dari jangkauan pengawasan aparat berwenang.11 Selain masalah kebakaran hutan , ancaman besar lainnya yang kini dihadapi orangutan dan satwa langka lainnya adalah masalah perluasan kebun sawit yang makin marak terjadi di bumi Kalimantan. Banyak perkebunan kelapa sawit ditanam 11http://orangutan.or.id/berita.php?frame=detail&id=315117365324, “Yayasan BOS : Tenggarai kuat maraknya penyelundupan orang utan setelah kebakaran hutan”, tanggal 30 Desember 2014, pukul 22.56 WIB. pada lahan yang tidak sesuai untuk produksi kelapa sawit yang tinggi,bahkan mendekati atau ditanam dihutan primer yang statusnya berubah menjadi hutan konversi. Di Kalimantan, itu bisa dipastikan mendekati habitat hidup dan kehidupan orangutan dan satwa langka lainnya. Data penelitian yang dibiayai WWF Indonesia, menyebutkan untuk Kalimantan saja perkebunan kelapa sawit memang banyak ditanam diareal yang tidak sesuai misalnya seperti di dataran tinggi, perbukitan kapur, dan dataran rendah hutan gambut atau areal hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi. Padahal kebun sawit hanya bisa tumbuh optimal didataran yang cukup, tersedia untuk pelaksanaan rencana pembangunan kelapa sawit yang direncanakan pemerintah. Terkait permasalahan orang utan dan kelapa sawit ini sendiri Borneo Orang utan Survival (BOS) telah memberikan beberapa alternatif terkait solusi agar dapat tercapainya harmonisasi orang utan dengan kelapa sawit dalam forum Roundtable on Suistanble Palm Oil (RSPO). 12Upaya perlindungan pun giat dilakukan oleh institusi independen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang giat dalam upaya perlindungan satwa hutan, Profauna Indonesia , menuding adanya konspirasi penyelundupan orang utan ke Thailand. Ratusan orang utan Indonesia telah diselundupkan ke Thailand dan diduga terjadi konspirasi menyembunyikan hasil selundupan itu. Salah satu tempat yang diduga menjadi tempat penampungan selundupan orang utan dari Indonesia 12 Ibid. adalah Safari World di Bangkok, Thailand. Selain itu, terdapat 115 orang utan berada di Safari World, dan sebagian besar masih berusia sangat muda, dilatih secara keras, kejam, dan tanpa ampun untuk pertunjukan tinju orang utan.13 Delegasi Indonesia yang dipimpin Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan Adi Susmianto didampingi Kepala Divisi Polisi Kehutanan Thailand Mayor Jenderal Swake Pinshincai masuk ke dalam area Safari World. Didapati 48 ekor orang utan. Saat itu dijelaskan bahwa yang lainnya mati karena sakit.14 Hal itu bertolak belakang dengan pernyataan mereka selama ini yang menyatakan bahwa mereka sangat berhasil didalam penangkaran orangutan. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan pemulangan orangutan kembali ke Indonesia. Tim Indonesia yang terdiri atas Departemen Kehutanan, LIPI, Borneo Orangutan Survival Foundation, Jaringan Pusat Penyelamat Satwa, dan Profauna Indonesia yang datang ke Thailand terpaksa pulang dengan tangan hampa. Pejabat yang berwenang di Negara tersebut tidak kooperatif dalam memulangkan orangutan ke Indonesia. Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan unjuk rasa di depan kedubes Thailand dijalan Imam Bonjol Jakarta Pusat. Untuk mendesak pemerintah Thailand agar bekerjasama didalam upaya memulangkan orangutan Indonesia yang diselundupkan tersebut.15 13http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WgAEVgRVVgwN, “Profauna : Ada konspirasipenyelundupan orangutan” tanggal diakses 30 Desember 2014, pukul 22.12 WIB. 14http://tempo.co.id/hg/iptek/2006/11/30/brk,20061130-88707,id.html “Orang utan menemukan jalan pulang” oleh Wuragil, diakses pada tanggal 25 Januari 2015, pada pukul 12.25 WIB. 15 Ibid. . Ini tentu bertentangan dengan aturan yang ada di Indonesia, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Convention on International in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES).dimana pada prinsip dasar CITES sendiri diatur pada Article II sebagai berikut: 1.Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival and must only be authorized in exceptional circumstances. 2. Appendix II shall include: (a) all species which although not necessarily now threatened with extinction may become so unless trade in specimens of such species is subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b) other species which must be subject to regulation in order that trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph (a) of this paragraph may be brought under effective control. 3. Appendix III shall include all species which any Party identifies as being subject to regulation within its jurisdiction for the purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing the co-operation of other Parties in the control of trade. 4. The Parties shall not allow trade in specimens of species included in Appendices I, II and III except in accordance with the provisions of the present Convention.” Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora(CITES)merupakan suatu perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963, yang bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam punah.16. Dari gagasan ini maka ditandatanganilah Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora yang selanjutnya disebut (CITES), yaitu sebuah perjanjian Internasional (multilateral) yang terkait dengan perlindungan dan perdagangan Internasional spesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah.17 Sebagai negara peserta dalam CITES maka Indonesia terikat langsung dengan aturan yang ada dalam konvensi tersebut setelah meratifikasi CITES melalui Keppres no.43 tahun 1978 tentang pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species Of Wild Flora and Fauna , Namun Pemerintah Indonesia membutuhkan waktu 12 tahun untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES. Peraturan perundangan-undangan tersebut adalah UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemerintah juga membutuhkan waktu sembilan tahun untuk mengesahkan peraturan pelaksana dalam pengaturan satwa liar yang di lindungi. Peraturan pelaksana tersebut adalah PP No.7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No.8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.18 Selain itu Indonesia juga berhak dan berkewajiban untuk ikut serta dalam pertemuan tahunan negara-negara peserta dan membuat daftar 16 Website CITES Internasional (http://www.cites.org/eng/disc/parties/alphabet.php (diakses terakhir tanggal 28 januari 2015) 17 Heru Susanto, Arwana, (Jakarta: PT.Niaga Swadaya, 2004), hlm. 2. 18 Andri Santosa, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, (Jakarta: Pokja Kebijakan Konservasi, 2008), hlm. 35. flora dan fauna yang termasuk langka di Indonesia yang kemudian daftar tersebut diserahkan pada sekretariat konvensi. UU Nomor 5 Tahun 1990 menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan ketentuan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dimana perdagangan tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan pada tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi. Aturan ini Merupakan panjang tangan dari tujuan CITES di Indonesia. Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ini lembaga yang bertanggung jawab adalah departemen kehutanan. Dan lembaga otoritas keilmuan yang berperan dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).19Melalui peraturan ini maka adanya aturan hukum yang mengatur perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang legal, sesuai dengan aturan CITES pada Article IX angka 1 menyatakan sebagai berikut: 1. Each Party shall designate for the purposes of the present Convention: (a) one or more Management Authorities competent to grant permits or certificates on behalf of that Party; an (b) one or more Scientific Authorities.” Permasalahan ini tentu sangat menarik untuk dikaji sebab orang utan adalah satwa langka dilindungi dalam kategori Appendiks I Convention on International 19 Nia Rafiska, 2008, Skripsi: Pengaturan Perdagangan Satwa Langka dalam Hukum Lingkungan Internasional dan Implementasinya di Indonesia, Fakultas Hukum UNAND, hlm 17-20. Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (Konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar). Dan bagaimana penerapan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (Konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar) sebagai hukum internasional yang mengatur tentang perdagangan tumbuhan dan satwa langka dalam mengatasi penyelundupan yang terjadi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah penyelundupan orang utan Kalimantan ke Thailand denganjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE OF IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FLORA AND FAUNA (CITES) DALAM PENANGGULANGAN PENYELUNDUPAN ORANGUTAN INDONESIA KE THAILAND”

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: J Political Science > JX International law
J Political Science > JZ International relations
K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Ms Randa Erdianti
Date Deposited: 10 Feb 2016 06:37
Last Modified: 10 Feb 2016 06:37
URI: http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/1302

Actions (login required)

View Item View Item