RINDU, AYUNDA DWI YETMI (2015) POSISI KEMENAKAN DALAM SISTEM MATRILINEAL DI MINANGKABAU DIKAITKAN DENGAN PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ISLAM. Diploma thesis, UPT. Perpustakaan Unand.
Text
201505201134th_skripsi rindu ayunda dwi yetmi 1010112142.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
Abstract
Latar Belakang Masalah Di Indonesia ada 3 sistem pewarisan yaitu sistem pewarisan menurut hukum perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), hukum waris Islam dan hukum waris adat. Pewarisan berdasarkan hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan ilmu faraidh tentunya digunakan oleh masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam dalam melakukan pewarisan harta kekayaan. Sedangkan dalam masyarakat adat terdapat perbedaan mengenai sistem pewarisan antara masyarakat patrilineal dengan masyarakat matrilineal. 1. Hukum Waris Perdata Hukum waris Perdata yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.1 Ahli waris menurut peraturan perundang-undangan atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat 4(empat) golongan yaitu: 1 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 81 2 a. Golongan Pertama Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunannya serta suami dan/atau istri yang ditinggalkan/yang hidup paling lama. b. Golongan Kedua Golongan kedua adalah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunannya. c. Golongan Ketiga Golongan ketiga adalah ahli waris meliputi kakek,nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. d. Golongan Keempat Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis pihak ibu. 2. Hukum Waris Islam Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, posisi bagian masing3 masing ahli waris menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.2 Menurut Surat An-Nissa‟ ayat 11-12, dilihat dari segi faktor mewarisi, maka penyebab seseorang menjadi ahli waris adalah : a. Faktor Kekerabatan Faktor kekerabatan dari pihak laki-laki terdiri atas:1) anak; 2) cucu; 3) ayah; 4) kakek dari pihak ayah; 5) saudara se-ayah atau se-ibu; 6) anak saudara kandung atau se-ayah; 7) paman kandung atau se-ayah; 8) anak paman kandung atau se-ayah. Dari kelompok pihak perempuang terdiri atas: 1) anak; 2) cucu dari anak laki-laki; 3) ibu; 4) nenek dari pihak ibu atau ayah; 5) saudara kandung, se-ayah atau se-ibu. b. Faktor Perkawinan Faktor yang dimaksud adalah hubungan perkawinan adalah suami dan istri secara timbal balik (QS an-Nissa/4:12). Sesuai dengan konsep keluarga inti dalam Islam (ayah dan ibu serta anak-anak), maka konsekuensinya jika salah seorang dari mereka meninggal, keluarga suami dan istri tidak tergolong ahli waris.3 2 Ibid, hlm.33 3 Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 235 4 3. Hukum Waris Adat Hukum waris adat adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke generasi lain, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan (materi dan nonmateri).4 Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu: a) Garis Pokok Keutamaan Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutanurutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan lain. Dengan garis pokok keutamaan ini, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut; 1. Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris 2. Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris 3. Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris, dan keturunannya , 4. Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris. 5. Dan seterusnya. b) Garis Pokok Penggantian Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris ialah; 1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris 2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.5 Salah satu masyarakat adat yang terdapat di Indonesia adalah masyarakat adat Minangkabau. Masyarakat adat Minangkabau juga tak lepas 4 Zainuddin Ali, op. cit, hlm. 2 5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 261 5 dari agama yaitu agama Islam. Orang Islam yang lahir dan hidup di lingkungan adat Minangkabau dilingkungi oleh dua kekuatan secara simultan, yaitu agama dan adat. Kedua kekuatan ini mempunyai tata nilai yang disebut hukum yang menuntut dari warga Minang yang muslim tersebut loyalitas yang tinggi, yaitu patuh kepada agama sebagai muslim dan patuh kepada adat sebagai orang Minangkabau. Dalam hal sistem kewarisan antara adat Minangkabau dengan agama Islam terdapat perbedaan. Pertama, tentang hakikat kewarisan itu sendiri. Secara umum kewarisan itu adalah peralihan dari yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Inilah kewarisan yang berlaku dalam agama Islam. Dalam adat Minangkabau kewarisan itu bukan peralihan pemilikan harta dan pembagian harta dari orang yang meninggal kepada yang hidup, tetapi peralihan fungsi dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan dan pengawasan harta dari generasi yang sudah mati kepada generasi yang masih hidup. Kalau dikatakan :”harta ninik turun ke mamak dan harta mamak turun ke kemenakan” berarti setelah ninik yang berwenang mengatur dan mengawasi harta pusaka itu meninggal, kewenangan ninik tersebut dilanjutkan oleh mamak. Setelah mamak meninggal maka fungsi wewenang tersebut dilanjutkan kemudian oleh kemenakan. Kedua, Kewarisan adat Minangkabau dalam hal pemilikan harta adat Minang menganut asas kolektif atau komunal yang berarti pemilikan bersama. Harta pusaka milik kaum secara bersama-sama dan bukan milik orang secara 6 perorangan. Orang-orang dalam kaum hanya dapat memanfaatkan harta pusaka itu, tetapi sama sekali tidak dapat memilikinya. Sedangkan kewarisan Islam menganut asas individual, artinya setiap orang berhak memilikinya secara perorangan tanpa terikat oleh orang lain. Ketiga, adat Minangkabau dalam hal kekerabatan menganut kekerabatan matrilineal yaitu garis keturunan yang disandarkan kepada perempuan (ibu lurus ke atas, anak perempuan lurus ke bawah).6 Kekerabatan matrilineal di Minangkabau diikat dengan satu kesukuan yang ditarik dari satu garis keturunan perempuan. Bagi yang seketurunan seperti ini disebut satu suku (se-suku). Karena ia diambil dari garis ibu, maka ia bernama matrilineal (matri=keibuan, lineal=garis). Kekerabatan dalam kewarisan Islam adalah kekerabatan parental yang artinya garis kekerabatan itu bukan hanya melalui perempuan saja, tetapi melalui kedua garis tersebut yaitu laki-laki dan perempuan atau ayah dan ibu. Dilihat dari uraian diatas, dalam bidang kewarisan masyarakat Minangkabau tidak bisa hanya memakai sistem kewarisan adat tetapi juga harus memperhatikan sistem kewarisan Islam, karena masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Oleh sebab itu kedua sistem tersebut harus dipakai tanpa merugikan pihak manapun terutama kemenakan. Dalam adat Minangkabau harta terbagi 2 (dua) yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi hanya dapat diwariskan kepada kaum suku 6 Yaswirman, op. cit, hlm. 115 7 yang kepemilikan harta warisan diserahkan kepada perempuan dengan pengelolaan bukan pemilikan tetap oleh pihak laki-laki (mamak). Jika mamak meninggal, penguasaannya beralih kepada kemenakan. Sedangkan harta pusaka rendah dengan kata lain harta pencaharian ini pewarisannya dalam hukum waris Islam bersifat individual dan sudah dibagi menurut bagian masing-masing tetapi kemenakan tidak termasuk ke dalam kelompok ahli waris dari harta yang ditinggalkan oleh mamaknya. Menurut konsep “adat basandi syarak,syarak basandi kitabullah,syarak mangato adat mamakai”, harta ini diwariskan secara faraidh. Namun, keputusan pengadilan sering dualism atau dilematis. Pengadilan hanya memutuskan bahwa harta tertentu adalah harta pusaka rendah dan diwarisi oleh anak. Cara pembagiannya biasanya diselesaikan secara musyawarah keluarga, dengan tetap mempertimbangkan bagian untuk kemenakan.7 Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Posisi Kemenakan Dalam Sistem Matrilineal Di Minangkabau Dikaitkan Dengan Pembagian Warisan Menurut Hukum Waris Islam”.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum |
Depositing User: | Ms Lyse Nofriadi |
Date Deposited: | 27 Jan 2016 07:34 |
Last Modified: | 27 Jan 2016 07:34 |
URI: | http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/102 |
Actions (login required)
View Item |